Selasa, 08 September 2009

MENJANGKAU NAMAMU

Ah, apa yang sebenarnya terjadi di ruangan ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Perasaan dan pikiranku tak peka lagi menangkap sesuatu yang berada di luar dan dalam diriku. Namun, aku masih sadar kalau aku masih bisa merasakan yang ditangkap oleh semua panca indraku. Memang begitu rumit untuk memaknai semua ini. Mataku hanya melihat. Hidungku hanya mencium. Telingaku hanya mendengar. Tanganku hanya meraba. Mulutku hanya mencecap. Selain itu hanya getir yang terlalu membuatku takut di ruangan ini.

Rasanya aku ingin menerkam ketakutanku ini. Ketakutan yang serupa binatang buas yang ingin aku mangsa hingga mati sensara. Aku sangat benci ketakutan ini. Ketakutan yang berawal dari diriku sendiri yang entah. Apa yang paling berharga dari seorang manusia kalau tak memaknai hidupnya? Aku benar-benar tak berdaya saat ini. Lalu, siapa yang mampu mendengarkan semua ini?

Meski, aku tak sendiri di dunia ini yang mengalami hal yang sama dengan diriku, aku tak yakin ada yang akan mendengarkannya. Manusia dalam hidupnya selalu bertujuan untuk bahagia tetapi sangat jarang yang memahami keberadaannya. Dan apa yang terjadi pada diriku bukanlah kebahagiaan. Ini adalah suasana sadis yang membuat orang bisa bunuh diri.

Jika ada yang tahu apa yang ada dalam kepalaku mungkin yang ada dalam kepalaku itu adalah semacam teror ketakutan bagi orang lain. Mengapa tidak, toh yang ada di kepalaku hanya kepalaku yang terpenggal atau dadaku yang sobek oleh belati yang berada ditanganku sendiri. Atau seluruh tubuhku berwarna biru dan mulutku berbusa oleh segelas racun yang aku minum. Setelah itu, apa yang diketahui? Tak ada. Sungguh tak ada yang berarti. Semuanya akan berlalu begitu saja tanpa bekas kecuali ketakutan.

Banyak orang akan mengatakan semua ini hanya akibat kekosongan diri yang begitu lama dan sangat dalam hingga kesedihan dan ketakutan melampaui makna-maknanya sendiri untuk mengkristal menjadi kebahagiaan dan cinta. Aku tak percaya. Sungguh tak percaya. Aku bahagia bersama orang-orang yang berada di sekelilingku dan aku mencintai mereka. Jika ini sebuah kekosongan, lalu, apa yang harus aku lakukan? Tuhan pun menghindar dari ketakutan ini apalagi manusia. Semuanya hanya datang dan pergi tanpa menyisakan apa-apa.

Mungkinkah kekosongan adalah dunia di mana Tuhan berdiam diri untuk asing pada manusia? Namun, apa bedanya manusia dengan Tuhan? Dia hanya pandai bermain petak umpet dan manusia mencarinya. Dan aku tak akan mencari-Nya. Tuhan terlalu pintar untuk aku temukan. Aku akan biarkan Dia datang kalau memang suka. Kalau tidak, biarlah.

Sudahlah, aku akan berusaha sabar dan jujur dalam menjalani segala yang terjadi ini. Walaupun aku sendiri asing dengan diriku sendiri. Hidup dalam dunia yang penuh dengan horor. Toh dalam hidup aku tak pernah berkeinginan mencari atau malah menjadi Tuhan. Aku manusia yang ingin benar-benar menjadi manusia. Aku yakin sebuah nama akan menjadikanku manusia. Entah itu nama apa dan siapa. Sekarang akan aku katakan nama itu adalah namamu yang entah.

Kekosongan hanya kekasatmataan, ketidakjelasan, ketidaktahuan tentang sesuatu hal. Seperti sekadar namamu yang tak bisa aku jangkau. Aku merasakan kekosongan seperti yang diyakini setiap orang. Namun, aku tak pernah meyakini itu. Aku tak merasakan kekosongan. Hidupku tak pernah kosong. Sebab, aku tahu walau tanganku tak mampu sekadar menjangkau namamu, sesuatu yang disebut misteri selalu hadir dari hati ke mimpi atau dari getar ke bunyi.

Aku dan dunia seperti salah satu penggalan sajak Dorothea:

Dunia menuju sekarat
Nurani mengabur dalam segala tanda
Menggumpal dalam rahasia
Tak dapat dibaca lewat segala bahasa


Ah, tetapi kuyakin suatu saat semuanya akan pasti!


Yogyakarta, 06-09-2009