Kamis, 23 September 2010

KEPADA WOOLF

di sini adalah maut yang sama. mautku akan datang sendiri tanpa aku harus memintanya. mautku akan datang dan aku akan merasa bahagia. aku tak ingin menjadi maut untuk hidup dan diriku sendiri. biarlah kau menjadi maut untuk hidup dan dirimu sendiri. hidupku masih panjang dan aku tak akan menganggap dan mengatakannya selesai....

Woolf, Penulis 'Gila', dan Kreativitas

Banyak studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan kejiwaan.
Jumat, 7 Februari 1941. Virginia Woolf menulis di buku hariannya (belakangan dikumpulkan dalam A Writer's Diary): "Mengapa aku tertekan? Aku tak bisa mengingat...."

Hampir dua bulan sesudahnya, pada 28 Maret, penulis Inggris yang dianggap sebagai sosok terkemuka dalam sastra modern abad ke-20 itu menjejali saku bajunya dengan batu lalu menenggelamkan diri di Sungai Ouse di dekat rumahnya di Rodmell, Inggris.
Tak ada orang lain yang tahu. Ia tak tertolong. Woolf meninggalkan surat buat suaminya, Leonard, tentang keputusan nekatnya di usia 59 tahun itu: "Aku merasa pasti bahwa aku akan gila lagi: Aku merasa kita tak akan bisa melalui masa-masa buruk itu lagi.

Dan aku tak akan pulih lagi kali ini. Aku mulai mendengar suara-suara, dan sulit berkonsentrasi. Jadi aku melakukan apa yang kelihatannya paling baik aku lakukan. Kau telah memberiku kebahagiaan terbesar yang paling mungkin...."

Dua dasawarsa kemudian di belahan bumi lain, persisnya di Ketchum, Idaho, Amerika Serikat, Ernest Hemingway meledakkan pistol di kepalanya. Pagi itu, 2 Juli 1961, di usia 61 tahun, penulis beberapa novel yang kini dianggap klasik dalam kanon kesusastraan Amerika Serikat ini menambah deretan anggota keluarganya yang mengakhiri hidupnya sendiri -- termasuk ayahnya, Clarence Hemingway, dan dua saudara kandungnya, Ursula dan Leicester.

Dalam masa setahun terakhir sebelum kematiannya, Hemingway mengidap paranoia parah. Penerima Nobel bidang Sastra (1954) ini takut agen-agen Biro Penyelidik Federal (FBI) akan memburunya bila Kuba berpaling ke Rusia, bahwa Federal Reserve (bank sentral) akan memeriksa rekeningnya, dan bahwa mereka ingin menahannya karena imoralitas dan membawa- bawa minuman keras.

Dia sempat menjalani ECT (electroconvulsive therapy), satu cara perawatan untuk penderita penyakit mental berat, yang belakangan dia tuding sebagai penyebab paranoia pada dirinya. Woolf dan Hemingway sesungguhnya hanya bagian kecil dari sejarah yang mencatat riwayat penulis-penulis genius yang terus-menerus bergulat dengan gangguan mental.

Masuk dalam daftar panjang yang ada (sebagian berdasarkan dugaan) antara lain Edgar Allan Poe, Charles Dickens, Johann Goethe, dan Leo Tolstoy. Dibandingkan dengan yang lain, perjalanan hidup Woolf dan Hemingway tergolong yang berakhir dramatis -- mereka memilih bunuh diri untuk menghentikan penderitaan selamanya.

Mereka itu adalah orangorang kreatif yang sama-sama menderita bipolar disorder atau yang dikenal sebagai penyakit mania-depresi (manic-depression). Inilah penyakit yang mempengaruhi pikiran, perasaan, persepsi, dan perilaku...
bahkan bagaimana seseorang merasakan secara fisik (dikenal secara klinis sebagai psychosomatic presentation). Diduga penyebabnya adalah unsur-unsur elektrik dan kimia di otak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan biasanya ditemukan pada orang dari keluarga yang punya riwayat penyakit mental.

Paling sering seorang penderita mania-depresi mengalami suasana hati (mood) yang berganti-ganti dari keadaan tinggike keadaan rendah dan kembali lagi, dengan derajat penderitaan yang bervariasi. Dua kutub bipolar disorder adalah mania dan depresi.

Keduanya adalah wujud paling sederhana dari penyakit ini. Woolf boleh dibilang contoh yang alami dan meyakinkan, terutama karena pada masanya perawatan secara khusus belum ada dan kebetulan catatan kondisi kesehatannya didokumentasikan dengan baik.

Ditambah buku hariannya sendiri, orang lalu bisa memperoleh gambaran tentang saat-saat ketika ia benar-benar limbung dan ketika enyakit-penyakit remehnya datang, bunuh dirinya, kepribadiannya, dan riwayat seksual dan keluarganya.

Dari buku hariannya, ia bukan saja mengatakan bahwa ia mengalami depresi, tapi juga akan "gila" lagi, dan mulai mendengar suara-suara. Ia tak bisa berkonsentrasi dan yakin ia tak bisa membaca atau menulis. Ia putus asa, merasa tak akan sembuh, dan berkeras bahwa keputusannya untuk mengakhiri hidupnya sendiri -- sebuah tindakan yang terencana dan dari tekad yang kuat (bukan impulsif) -- sangat beralasan.

Woolf, yang berasal dari keluarga dengan banyak penderita depresi, pertama kali mengalami gangguan kejiwaan parah pada usia 13 tahun. Sesudah itu ia beberapa kali mengalaminya lagi, pada usia 22, 28, 30 tahun. Antara 1913 dan 1915, dari usia 31 hingga 33 tahun, ia kerap sakit dan untuk waktu yang lama sampai ada kekhawatiran kegilaannya permanen.

Serangan-serangan ini membutuhkan perawatan medis berminggu-minggu, mengharuskannya istirahat total. Sepanjang sisa masa hidupnya ia mengalami perubahan suasana hati yang tak sampai ekstrem. Masa kanak-kanak Woolf memang tidak bahagia. Tapi para ahli berpendapat, kecil kemungkinan ada hubungan antara masa itu dan penyakit mania-depresinya.

Mereka lebih menduga riwayat keluarganya dan faktor genetis yang berperan. Apa pun, Woolf, Hemingway, Tolstoy, Poe, Dickens, dan lainlain adalah contoh gamblang betapa penyakit mania-depresi atau bipolar disorder lazim di kalangan penulis. Soal ini banyak terdapat dalam berbagai studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan psikiatris.
Malah kreativitas ini tak selalu berarti sastra. Lewat studi selama 10 tahuh, Arnold M. Ludwig, peneliti Pusat Medis di University of Kentucky, menemukan antara 59-77 persen artis, penulis, dan musisi menderita penyakit mental (khususnya gangguan suasana hati) dibandingkan dengan hanya 18- 29 persen di kalangan profesional nonartis.

Dalam studi-studi yang ada sesudahnya, Woolf, seperti halnya para penulis lain yang dijadikan contoh, diketahui menghasilkan hanya sedikit karya atau malah nihil sama sekali sewaktu sakit, tapi justru produktif ketika mengalami serangan. Analisis Woolf sendiri mengenai kreativitasnya memperlihatkan bahwa penyakitnya -- periode-periode mania atau hipomania sesudahnya -- adalah sumber bahan untuk novel-novelnya.

Meski begitu, sebagaimana dikemukakan Kay Redfield Jamison, profesor psikiatri Sekolah Kedokteran di Johns Hopkins University, tidak berarti bisa disimpulkan bahwa orangorang kreatif ditakdirkan menjadi penderita depresi atau bahwa penyakit mental membuat orang lebih kreatif.

Dalam buku berjudul Touched With Fire: Manic Depressive Illness and the Artistic Temperament, Jamison menegaskan betapa mayoritas penderita depresi dan bipolar disorder sama sekali tak punya daya imajinasi yang luar biasa.

"Menganggap penyakit seperti itu biasanya menimbulkan bakat artistik secara keliru memperkuat pandangan serampangan tentang 'genius gila'," katanya. Jadi, mengapa persentase orang-orang kreatif yang menderita depresi dan bipolar disorder begitu tinggi? Apakah penyakit ini meningkatkan kreativitas pada orang-orang tertentu atau apakah karakteristik pikiran kreatif menambah kerentanan terhadap penyakit ini?

Tidak ada jawaban yang pasti. Teorinyalah yang banyak. Faktor dominan yang dikemukakan dalam teori-teori itu adalah emosi dan perilaku yang paralel dengan proses kreatif. Baik pada tahap mania maupun tahap depresi, keduanya -- antara lain berpikir orisinal, produktivitas yang meningkat, fokus, kemampuan bekerja keras dengan waktu tidur terbatas, introspeksi, dan penderitaan yang mendalam -- berperan meningkatkan kreativitas, dan memberinya kedalaman dan makna.

Barangkali karena itulah bahkan Woolf pun mengapresiasinya. Dalam surat kepada seorang temannya, ia menulis: "Sebagai pengalaman, kegilaan itu sangat menyenangkan, saya bisa jamin, dan bukan untuk dicibir."

----------dari Koran Tempo

SUARA-SUARA YANG MENGANCAM

Semua terjadi secara tiba-tiba dan aku tak mampu lagi mengingat keseluruhan atas peristiwa yang terjadi tersebut. Kejadian itu sangat mengerikan. Sungguh mengerikan. Namun, akan aku ceritakan peristiwa itu walau tak mampu aku ceritakan semuanya dan nantinya mungkin ada yang akan menyebutku gila. Apa yang akan aku ceritakan ini adalah kenyataan yang benar-benar nyata pada waktu itu. Di mana aku sendiri adalah aku yang akan bercerita ini. Sendiri dalam diriku.

Pada malam itu aku sangat gelisah karena beberapa bulan tak mampu menulis apa yang ingin aku tulis. Sebelumnya aku membiasakan diri menulis semua yang melintas dalam pikiran dan perasaanku ke dalam bentuk puisi dan cerpen. Namun entah mengapa suara-suara itu datang mengancam ketika aku menulis puisi. Setelah itu malam dan hari-hariku begitu mencekam. Penuh serangan yang mirip peperangan. Kepalaku mulai ramai dengan ledakan.

Entah suara siapa itu aku tak mengenalnya. Pertama kali suara itu datang memulainya dengan sebuah perdebatan. Aku tak cukup referensi untuk melawannya tetapi setiap statemennya selalu aku bantah dan aku selalu menang. Semakin hari suara itu semakin bertambah banyak dan aku menghindar karena aku tak ingin mengganggu siapapun. Aku mulai tak betah lagi di kamarku sendiri. Aku pindah dari satu kamar temanku ke kamar temanku yang lain. Suara itu masih mengikuti ke manapun aku pergi dan malah mengancam akan merusak hubunnganku dengan orang yang aku kenal, teman-teman, dan sahabat-sahabatku. Dan lebih-lebih akan merusak isi kepala mereka. Aku ceritakan semua apa yang terjadi kepada beberapa teman dan sahabatku namun tak ada yang percaya. Aku selalu diburu dan tak ada yang tahu.

Malam dan hari-hariku terus berlalu tanpa ada perubahan sedikitpun. Suara-suara itu semakin gencar mengancam hingga tiba saatnya pada ujian terakhirku matakuliah filsafat nilai yang kebetulan dosennya, Robby Abror. Sebelum aku berangkat ke kampus suara-suara itu sudah ada di luar kamarku. Salah satu di antara suara tersebut menghubungi seseorang yang pernah aku beri sebuah puisi dan cerpen, Hida, untuk memfitnahku karena suara-suara itu mencurigai kalau aku dengan Hida saling jatuh cinta. Tetapi aku tak mempedulikan apa yang dilakukan oleh suara itu. Aku ambil semua keperluanku untuk berangkat ke kampus dan langsung ke tempat kakakku di Ngawi yang telah aku rencanakan sebelumnya. Dan sebelum sampai di kampus aku ke warnet terlebih dahulu untuk memberi tahu Hida melalui pesan singkat di facebooknya bahwa apa yang aku lakukan terhadapnya tak seperti apa yang dikatakan oleh suara itu.

Sesampainya di kampus aku menunggu jam masuk. Suara-suara itu mengancam-ngancam kejam. Lebih kejam dari sebelumnya. Suara-suara itu akan membunuhku secara perlahan-lahan dengan terlebih dahulu menghapus nilai-nilai matahuliah yang telah aku ambil sebelumnya. Aku mencarinya namun tak ada. Jam masuk telah tiba teman-teman sekelasku masuk dan aku sedikit terlambat karena mengejar suara-suara itu. Aku masuk ruangan dengan kegelisahan dan ketakutan. Lembar soal dam jawaban telah dibagikan. Aku pun mengisi bagian yang harus aku isi sebelumnya, seperti nama, nomor induk mahasiswa, jurusan, tanda tangan, dan nomor ujian.

“Cepat. Dia sekarang ada di ruang ujiannya. Cepat kalian ke godam. Nomor passwordnya pasti nomor induk mahasiswanya. Nomor induk mahasiswanya sudah kalian dapatkan?” kata suara yang menjagaku di pintu ruangan ujianku yang ada di lantai tiga.

“Beres bro…Kita telah mendapatkannya saat kita melihat absensinya. Dia semester ini rajin bro…Tetapi dia sekarang tak akan mampu berbuat apa-apa. Nilainya kita akan rubah menjadi D. Semuanya! Dia akan sia-sia kuliah bro…” kata suara yang lain di lantai dua.

“Cepat bro… dia akan ke lantai dua. Dia sekarang akan keluar. Lari bro…lari!” teriak suara yang ada di pintu.

Aku sangat marah, sangat marah. Bukan hanya aku yang terganggu tetapi juga semua ruangan yang ada di lantai tiga yang juga lagi ujian. Aku mencoba keluar dari ruang ujianku untuk bicara dengan mereka namun mereka tak mau. Mereka malah ketawa terbahak-bahak seraya mengejekku. Aku kejar hingga ke lantai satu mereka ada di lantai dua. Aku kejar ke lantai dua mereka ada di lantai tiga. Aku kejar ke lantai empat mereka bersembunyi dan sebagian yang lain ada di lantai dua bersiap-siap merubah nilai-nilai matakuliahku yang tersimpan di godam. Aku langsung menghubungi salah satu temanku, Acim yang ada di ruang ujian dan langsung ke lantai dua.

“Ada apa?” tanya Acim.

“Aku punya masalah. Ini serius,” jawabku.

“Masalah apa?” tanyanya lagi.

“Kamu tak usah banyak tanya. Sekarang juga kau rubah passwordku. Nilai-nilaiku akan dirubah oleh seseorang dan aku akan berjaga di sini,” aku teliti semua tempat di sekelingku yang memungkinkan mereka bersembunyi. Mereka tak ada. Passwordku telah diganti dan kita berduapun kembali ke ruang ujian.

Kita kembali pada tempat kita masing-masing. Acim meneruskan menjawab ujiannya. Dan aku terasa melayang. Aku tak mampu menjawan satupun soal ujian dari empat soal yang ada. Bukan karena aku tak tahu apa yang harus aku jawab tetapi karena kepalaku terasa berat dan tubuhku gemetar.

“Kau benar-benar kacau sekarang. Kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” kata suara yang kembali berada di pintu ruang ujianku. ”Rubahlah nilai-nilainya bro…Dia sekarang hanya mampu diam,” teriaknya kepada teman-temannya di lantai dua.

Kepalaku terasa berat. Dan aku tak peduli lagi dengan nilai-nilai matakuliahku. Aku tak peduli atas semua yang telah dan akan terjadi. Aku hanya ingin pergi menjauh dari suara-suara itu secepat-cepatnya.
***

Bis jalur tujuh sangat mudah aku dapatkan di depan kampusku. Aku langsung segera meluncur ke terminal dengan kecepatan bis yang begitu lamban. Aku sedikit tenang karena suara itu tak ada lagi. Sesampainya di terminal suara-sauara itu samar adanya. Aku duduk di tempat tunggu penumpang dengan kebingunganku. Aku berpikir bagaimana melawan dan menemukannya.

“Dia tak tahu kalau kita ada di sini. Dia melihat kita tetapi tak tahu siapa kita sebenarnya. Yang mana kita dia tak akan tahu,” suara itu berbicara pada temannya di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuannya.

Mataku menelisik di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuan mereka, memastikan siapa orang yang berbicara dan mengancam-ngancamku. Kulihat dua orang laki-laki di antara kerumunan itu, yang satu berbaju merah dan bercelana hitam dengan badan kekar dan satunya lagi merunduk di samping kanannya.

“Meski dia tahu kita ada di sini dia tak akan berbuat apa-apa. Di terminal ini semua orang adalah teman kita. Aku sudah ceritakan semuanya tentang orang yang kita kejar-kejar ini. Kalau dia menghampiri kita, kita tinggal ngebukin saja. Lalu kita seret di jalanan,” kata mereka. Dan tubuhku semakin gemetar dengan rasa takut yang entah.

Hari ini ada dua bis yang menuju ke Surabaya, bis Sumber Kencono dan Mira. Saat kedua orang itu lengah aku langsung mengnyembunyikan diri di bagian samping bis Sumber Kencono dan aku langsung pura-pura masuk biar mereka mengira aku naik bis Sumber Kencono karena kedua orang itu mampu bergerak sangat cepat sekali. Aku di dalam bis berpikir bagaimana untuk mengatasi kedua orang ini. Menghubungi teman-teman? Mereka tak ada yang percaya. Menghubungi Hida? Tak punya nomor HPnya. Semua orang telah dihasut oleh mereka. Aku bingung. Bingung. Keringatku semakin deras mengalir di seluruh tubuhku. Dan aku hanya diam.

Bis beberapa menit lagi akan berangkat. Tak disangka mereka mau naik juga ke bis yang aku ada di dalamnya. Aku dengan cepat keluar. Merunduk di antara kursi bis dengan persaan takut. Mereka masuk dan aku keluar. Sedikit ketakutanku hilang namun aku siap siaga dan hati-hati karena mereka cukup gesit penglihatannya. Aku sekarang berada dalam bis Mira. Aku sedikit lega karena mereka berada pada bis yang berbeda.

Bis yang mereka tumpangi berangkat sepuluh menit lebih awal dari bis yang aku tumpangi. Di tengah perjalan sebelum sampai Janti aku mengusap keringat yang ada di tubuhku, lalu merentangkan kedua tanganku. Kondektur mulai menanyakan kepada setiap penumpang satu-persatu ke mana tujuan mereka dan menarik ongkos sesuai tujuannya. Tiba giliranku suara itu ada lagi. Mereka ada di belakangku entah di kursi bagian mana.

“Kau mau ke mana? Kau mengira kita naik bis itu? Kau goblok! Ke manapun kau akan kita ikuti, setelah itu baru kau akan kita bunuh. Akan kita cincang-cincang tubuhmu,” kata salah satu di antara mereka kepadaku dengan geram sekali.

“Pak, kasih tahu kepada kita dia akan turun di mana?” pinta mereka kepada kondektur dan kondekturpun mengangguk.

“Mana mas?” tanya kondektur kepadaku.

“Ngawi,” aku bayar ongkosku dengan uang pas. Aku tak menghiraukan kondektur itu lagi karena mereka semakin berteriak-teriak ingin membunuhku. Kepalaku terasa ingin pecah.

“Dia ternyata mau turun di Ngawi,” kata salah satu di antara mereka.

Aku mencoba untuk bangkit dari dudukku. Aku ingin menghampiri kedua orang itu. Aku ingin melawannya sekuat yang aku bisa. Namun kepalaku sakit dan tubuhku terasa seringan kapas. Aku mengambang terbang. Tak ada lagi yang menyentuh tubuhku.

“Kau benar-benar akan kita bunuh karena kau telah menggagalkan semuanya. Ini masalah perasaan. Aku sangat mencintainya. Kau telah ceritakan semuanya kepada Hida bahwa aku yang memfitnahmu. Dia sekarang akan membenciku untuk selamanya. Goblok! Asu! Kau tahu alat apa yang kita bawa ini? Kau tak akan bisa ke mana-mana dengan alat ini selama cairan kimia itu masih ada di tubuhmu. Alat ini mampu mengetahui di mana keberadaanmu. Kita telah memasukkan cairan itu dengan menyuruh seseorang untuk menaruhnya ke dalam segelas kopi yang kau minum. Kau akan kita siksa sebelum mati!” gertaknya.

“Ternyata kau tak berkutik dengan alat ini.”

“Mau diskusi lagi? Mau melawan? Memorimu akan benar-benar rusak dengan alat ini. Coba kau ingat semua apa yang terjadi dalam hidupmu. Kau tak akan mampu untuk mengingatnya. Yang ada dipikiranmu adalah pikiranku. Apa yang kau perbuat adalah perbuatanku,” kata orang yang memegang alat itu.

“Isi kepalamu tak jelas lagi sekarang. Kau tak akan bisa membedakan yang mana pikiranmu dan mana pikiranku, yang mana pebuatanmu dan mana perbuatanku. Untuk sementara, kau akan kuat namun nanti sebelum kau kita bunuh, yang benar-benar ada hanya pikiran dan perbuatanku. Kau akan kita siksa sebelum mati,” lanjutnya.

Bis yang aku tumpangi melaju sangat cepat. Tubuhku semakin lama semakin lemas, gemetar, dan mengambang terbang. Dengan keaadaan tubuhku yang seperti itu, aku mencoba menghubungi seorang temanku, Imam, untuk minta nomor HP teman dekatnya Hida, Eta. Aku tak kuat untuk bicara. Aku beritahu semua yang terjadi melalui sms tetapi Eta tak mau ikut campur. Dia sedikit kesal dan marah.

Aku bingung. Aku takut. Apakah aku akan sampai di Ngawi tempat kakakku? Apakah ada orang yang akan menolongku dari masalah ini? Teman-temanku? Hida? Aku tak tahu. Aku hanya pasrah saja jika mereka benar-benar membunuhku. Kematian pasti akan datang menemui siapapun. Aku tahu inilah kematian yang tak sempurna. Tetapi aku berharap suatu saat nanti orang-orang yang aku kenal, teman-temanku, sahabat-sahabatku akan mengerti dan paham bahwa kematianku adalah kematian yang akan mereka hadapi juga pada waktunya.

Dan aku tak ingat apapun lagi selain apa yang aku ceritakan ini...

Yogyakarta, 2010.

PENARI DARI TIMUR

Dia adalah lelaki yang suka menari. Menari baginya bukanlah hobi tetapi jalan hidup. Dari gurun ke gurun, dari bukit ke bukit, dari gunung ke gunung, dari desa ke desa, dari kota ke kota, dari rumah ke rumah, dari toko ke toko, dari super market ke super market, hingga dari mall ke mall dia menari. Dan terkadang dia penuh dalam televisi. Tarianya tidak seperti tarian yang banyak orang kenal seperti balet, hip hop atau tarian lainnya. Dia menari hanya dengan satu gerakan yakni, berputar.

Lalu, dia mampir di kota ini untuk menghibur masyarakat. Semua yang menontonnya pasti terpana. Di atas panggung dia serupa gasing, berputar lambat dan semakin lama semakin cepat. Kemudian lambat kembali dan berhenti. Tepuk tangan orang-orang yang menontonnya menggantikan tariannya. Dan di tengah-tengah riuhnya tepuk tangan ada yang bertanya kepadanya, mengapa suka menari dan mengapa tak mau dibayar setiap dia selesai menari. Dia menjawab, ”aku bukan seorang penghibur. Aku adalah seorang yang kehilangan. Ke mana-mana aku menari hanya untuk menemukannya karena setiap aku menari dia akan menemuiku, dia akan hadir melebihi kenyataannya yang ada. Setiap aku bergerak adalah geraknya. Apalah artinya segala yang kumiliki kalau tak menemukannya. Jika kau bertanya kenapa aku harus mencari? Aku sama dengannya. Jiwaku berbicara kepadaku. Yang kucari adalah diriku sendiri.” Dan diapun menghilang entah pergi kemana. Mungkin ada di gurun-gurun, di bukit-bukit, di gunung-gunung, di desa-desa, di kota-kota, di rumah-rumah, di toko-toko, di super market-super market, atau di mall-mall. Mungkin pula dia ada di televisi yang sering kita tonton setiap hari.

JACKY

Jacky adalah seorang pengarang. Ia telah banyak menulis buku puisi, cerpen, dan novel. Hidupnya dipenuhi kisah, cerita, dan kata-kata juga penghargaan. Umur baginya bukanlah penghalang untuk terus berkarya. Meski, ia memasuki masa tuanya yang sering sakit-sakitan. Kini, ia mengalami situasi yang sangat mencekam hidupnya. Jalan satu-satunya untuk mengatasi hal itu adalah menulis.

Jacky mempunyai kamar khusus untuk menulis di antara sepuluh kamar yang ada di rumahnya. Di kamar itulah semua karyanya dilahirkan. Kamar itu tak seperti kamar yang ada, bersih dan rapi. Kamar itu dibuat berantakan, buku tanpa rak berserakan di lantainya dan berdebu. Namun, ada dua jendela yang memang dibuat istimewa olehnya untuk menangkap inspirasi.

Pada suatu hari Boby memasuki kamarnya dengan kisah-kisah yang jauh di luar sana. Boby adalah orang miskin yang mempertahankan hidupnya dari mencuri. Bagi orang miskin mencuri bukanlah profesi melainkan salah satu cara untuk mempertahankan hidup. Boby tak mempunyai pekerjaan lain selain mencuri karena di mana dan ke manapun melamar pekerjaan ia selalu ditolak. Dan akhirnya, Boby memilih jalan hidupnya yang lebih dekat dengan penjara, kematiaan, dan keterasingan.

Boby pada saat yang sama sedang merampok sebuah bank. Ia menyandera seorang pegawai bank dengan menodongkan pistol kaliber 45 mm yang beratnya 1,3 kg yang penuh dengan peluru. Ia meminta kepada pegawai tersebut untuk menyerahkan uang yang ada di bank itu. Jika tidak, kepalanya akan ia ledakkan dengan pistolnya. Pegawai bank itu dengan tubuh gemetar dan berkeringat mencoba untuk mengambil dan mengeluarkan uang yang ada. Semua orang yang berada di bank ketakutan. Tak ada seorangpun yang bisa melawannya. Namun secara tiba-tiba sebuah pistol meletus dan peluru mengenai kepala Boby. Boby ambruk ke lantai dengan darah menglir di kepalanya.

Jacky dengan komputernya yang masih menyala. Kepalanya merunduk dan berdarah karena tertembak oleh penembak misterius melalui jendela kamarnya. Nyawanya telah menghembus. Jacky belum menyelesaikan ceritanya. Kamarnya hanya meninggalkan penggalan cerita yang ada di komputernya. Orang-orang pergi dengan ceritanya. Dan Boby menjadi asing pada mereka hingga masa berganti menemukannya di mana-mana.

PEREMPUAN RAHASIA

Dia adalah seorang perempuan yang dilahirkan dari rahim waktu. Dan aku bertemu dengan dia dalam waktu. Namanya menjadi rahasia karena dia adalah bagian rahasia dari waktu. Jika dia harus diberi nama mungkin tak cukup satu nama saja karena satu nama hanya menunjukkan satu bagian dari waktu. Jika ada yang menanyakan namanya tak akan pernah aku jawab karena jawaban bukanlah solusi untuk tahu siapa perempuan itu.

Setiap perempuan mempunyai aroma yang sama dan mempunyai wangi yang berbeda. Banyak parfum diciptakan untuk menandai wangi tubuh indahnya namun tak ada yang bisa menandai aromanya. Aromannya adalah sebuah rahasia dan aku tahu seperti apa aromanya. Kau percaya? Kau atau siapapun tak perlu mempercayainnya. Jika mempercayainya kau tak akan yakin lagi bahwa perempuan mempunyai aroma yang khas. Kau tak perlu percaya atau yakin karena aroma tubuhnya adalah rahasia sebagaimana dirinya juga rahasia. Aku tahu aroma tubuhnya karena aku juga rahasia.

Pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah tempat di mana aku dan dia belum dilahirkan tetapi aku dan dia telah benar-benar tercipta. Kukatakan padanya bahwa aku pernah bertemu dia dan dia pun mengatakan kepadaku bahwa dia bertemu juga denganku, di mana waktu kita berdua hanya sebagian yang ada. Dalam pertemuan itu kita berdua tak pernah bicara apalagi saling mengungkapkan suatu keinginan yang membuat kita sama-sama merasakan kebahagiaan. Pertemuan kita hanya diawali oleh bahasa yang tak pernah diucapkan.

Kita berdua sadar bahwa suatu saat akan meluas dalam waktu. Dari pertemuan hubungan kami berlanjut. Dia selalu mengajakku jalan-jalan ke tempat di mana dia suka. Dan akupun begitu, mengajaknya ke tempat yang aku suka. Dia pernah mengajakku menikmati panorama alam yang sangat indah sekali. Dan aku mengajaknya ke dalam tumpukan kata-kata yang penuh makna. Kita berdua saling memahami bahwa kita mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Jadi, kita berdua tak pernah mempunyai persoalan yang membuat kita harus marah dan kecewa.

Meski sering berduaan kita tak pernah menyebutkan nama kita masing-masing, apalagi berbicara. Semua berjalan apa adanya, mengalir serupa air. Namun, tak pernah disangka waktu begitu cepat meluaskan diri kita hingga kita berdua mempunyai sebuah nama dan tubuh yang berbeda. Lalu, sebagian kita pergi dan sebagian masih menjadi diri kita sendiri.