Tiga Episode tentang Ruang
Kepada Ala Roa
Ruang putih
bukan 1x2 meter luas rak bukumu
atau basah resah di atas bantal
setelah gerimis malam memintal
mengirimkan bayangan
ia yang terdiam dalam dirimu
menggobang sekeras takdir
kau melahirkannya sumir
tak pernah kau buka pintu
kami selalu menunggumu
seperti dalam lintasan rel kereta
Ruang hitam
tak perlu dulu baca nietzsche
dan menulis puisi-puisi cinta
yang telah memerah darahmu
juga ingatanmu yang rumpang
jalan-jalan lapang menuju rumah barumu
ditanami lumut-lumut dan keras bunga kaktus
ia selalu menyekatmu ke dalam senyap sempurna
siapa yang telah datang
saat kau pergi dari tubuhmu?
cepat tukarkan itu karcis
garis tanganmu yang miris
untuk kepergian yang lain
biar mereka membuntutinya
dan engkau di sini, bersamaku
menunggu rembulan pertama
Ruang Abu-Abu
bahwa yang tak pernah dipersaksikan
adalah jalan yang tak dipertaruhkan
engkau terperosok
di halaman rak bukumu yang lain
Yogyakarta, 2010
Dalam kehidupan, kematian yang tak sempurna adalah karya besar yang jarang orang menemukannya. Sebuah keheningan yang terdalam dari hati seorang manusia.
Kamis, 15 September 2011
Sajak Jufri Zaituna
ALA ROA DAN DIRINYA
lembar demi lembar telah kau habiskan
untuk segera sampai di ujung penantian
sampai kau tak paham, bahwa gema kata
hanyalah ketukan keterasingan
dari ruang tubuh tersekap kebencian
juga getar rasa memabukkan kesendirian
segenggam debu kesakitan berhamburan
dari beratus-ratus jalan hati keraguan
mengancam pemburuan demi pemburuan
tiada akhir
berhembus dari arah ketidaksempurnaan
kata-kata merangkak mencari makna keabadian
dari patahan-patahan tawa berderak cepat
seperti kilat yang merobek mulut langit
seperti jalan kematian yang tak pernah kau temukan
selain kau terus memohon berjuta harapan
menjumpai keabadian yang lain
adakah kau masih berharap untuk terlahir kembali
seperti cahaya yang memancar dari rahim sepi
sebab makna kian tiada
untuk menampung kegelisahan berlumut biru
otak sekeras batu-batu
2011
lembar demi lembar telah kau habiskan
untuk segera sampai di ujung penantian
sampai kau tak paham, bahwa gema kata
hanyalah ketukan keterasingan
dari ruang tubuh tersekap kebencian
juga getar rasa memabukkan kesendirian
segenggam debu kesakitan berhamburan
dari beratus-ratus jalan hati keraguan
mengancam pemburuan demi pemburuan
tiada akhir
berhembus dari arah ketidaksempurnaan
kata-kata merangkak mencari makna keabadian
dari patahan-patahan tawa berderak cepat
seperti kilat yang merobek mulut langit
seperti jalan kematian yang tak pernah kau temukan
selain kau terus memohon berjuta harapan
menjumpai keabadian yang lain
adakah kau masih berharap untuk terlahir kembali
seperti cahaya yang memancar dari rahim sepi
sebab makna kian tiada
untuk menampung kegelisahan berlumut biru
otak sekeras batu-batu
2011
Sajak Ala Roa
GELISAH DI JALAN SAJAK
gelisahku jangan ke mana mana
temanilah aku meski akan mati besok
kau lebih berharga dari diriku sendiri
di ujung sana denganmu aku akan tahu
di mana aku harus berakhir tanpa rasa lelah lagi
jika pergi kau akan menuju rumah tak berpenghuni
orang-orang berlari dengan mimpinya sendiri
kau tak akan kembali dan aku tak terkendali
gelisahku kau adalah pencarianku
ketenanganku adalah penemuanku
memang harus ada yang dirasakan dituliskan dan dijalani
sekarang kita berada di sini bukan untuk dihargai
hanya ingin tahu seberapa besar arti hidup ini
kau tahu betapa sakitnya kita berada di jalan ini
walau tak ada yang tahu kita akan sampai di mana
janganlah ke mana mana
sebab di manapun kita ada tak ingin buta dan sia-sia
yogyakarta, 2011
gelisahku jangan ke mana mana
temanilah aku meski akan mati besok
kau lebih berharga dari diriku sendiri
di ujung sana denganmu aku akan tahu
di mana aku harus berakhir tanpa rasa lelah lagi
jika pergi kau akan menuju rumah tak berpenghuni
orang-orang berlari dengan mimpinya sendiri
kau tak akan kembali dan aku tak terkendali
gelisahku kau adalah pencarianku
ketenanganku adalah penemuanku
memang harus ada yang dirasakan dituliskan dan dijalani
sekarang kita berada di sini bukan untuk dihargai
hanya ingin tahu seberapa besar arti hidup ini
kau tahu betapa sakitnya kita berada di jalan ini
walau tak ada yang tahu kita akan sampai di mana
janganlah ke mana mana
sebab di manapun kita ada tak ingin buta dan sia-sia
yogyakarta, 2011
Minggu, 30 Januari 2011
sajak ala roa
KAU YANG BERDIRI DI PINTU SAJAKKU
rumahku
rumah benda benda
rumah segala impian yang terbang
benda benda yang memancar bersuara
kubangun saat tanah merekah dengan wewanginya
tanah yang tumbuh menjalar di hutan hutan
tanah yang tumbuh tegak menyentuh langit
bangunan yang menjalar menjangkau inti sunyi
tumbuhan benda benda yang bangun menepi
segalanya berseteru melalui ruang dan waktu
perseteruan yang tak selesai dengan ingatan
yang menggumpal di tanganku
gumpalan sisa sisa kata
gumpalan sisa sisa bahasa
yang di tulis dan diucapkan yang tiada
dimiliki tangan tangan sunyi di balik bunyi
dimiliki tangan tangan maya di balik yang nyata
tangan yang menyambut apa pun dengan sempurna
sambutan tangan kesempurnaan manusia
gumpalan tangan dari segala tangan yang sama
dinding atap lantai dan isinya hanyalah kata kata
yang telah kurelakan sebagai tafsiran
sebagai benda benda dan segala impian
menafsir yang tak bisa aku sampaikan
menyampaikannya dengan bahasa tinta hitam
pintu dan jendelanya diciptakannya sendiri
seperti hati dan pikiranmu
menciptakan teka teki sunyi dalam yang kau sunyikan
meniti ruang dan waktu
di tengah hutan hutan yang rimba
di tengah langit yang terbentang indah
atas nama benda benda dan segala impian
kugumpalkan semuanya semata untukmu
karena tanganmu berdetak dalam jantungku
tangan siapa pun yang lentik
adalah lentikan tangan abjad abjad
abjad abjad tangan yang telah kuberi salam
adalah tangan yang melambaikan keabadian
salam lentik yang melambai abadi
adalah salamku padamu
kau dan di balik segalanya sama saja
menyimpan segala yang tak kupunya
segala kepunyaan yang tak kumengerti
setitik tinta hitam disebut makna
tinta hitam nafasku di ujung pena
hanya kau yang memilikinya
benda benda dan segala impian namamu
nama suara memancar yang mengangkat apa pun pada asalnya
pancaran yang melepaskan kata ke dalam bahasa
pancaran yang melepaskan bahasa pada yang kita baca
suara benda benda dan segala impian
tentang suara jiwa manusia yang berkecamuk dalam dirinya
benda benda dan segala impian sajakku
kutulis untuk menghiburmu atau memberi tahu
bahwa ada gelap dan terang dalam hidup
hiburan yang tak perlu kau menari atau bernyanyi
pemberitahuan yang tak perlu kau cari tahu
mengapa kau harus mengerti
gelap yang mungkin membuatmu takut
terang yang mungkin membuatmu tenang
sejak itu yang kukenal hanya kehidupan
benda benda dan segala impian kehidupanku
sejak lahir hanya mengenal apa yang dirasakannya
mengenal tanah dan tulangnya
tanah antara awal dan akhir nafas nafas
tulang yang menancap membelah angin jadi jalan
kau tiba tiba datang membawa sesuatu yang berbeda
membawa bunyi yang nyata
membawa sesuatu yang telah hilang
dan telah pula aku lupa ia ada
benda benda dan segala impian rumahku
kata bahasa bunyi dan pancaran yang tersirat dalam gelap
tumbuh menjalar di hutan hutan
tumbuh tegak menyentuh langit
menjalar tegak dalam diriku sebagai pena
rumahku asal muasal pena sunyi
asal muasalku menjelma sesuatu
dan di dalamnya kau kenali aku pada diriku
mengenali jejak asal kata kata
mengenali jejak asal bahasa
kata bahasa hatinya hati setiap penciptaan
hatinya tanah dan tulang yang menggumpal di tanganku
inilah gumpalan tanganku
hembusan benda benda dan segala impian
muara nama dan kehidupan
semesta suara yang tumbuh sebagai pancaran
yang adalah juga tanganmu
menggumpal halus lembutmu
menggumpal lembut padatmu
menggumpal padat kerasmu
yang itu adalah rumahku
ingin kuberikan gumpalan ini yang juga ada padamu
pemberian atas hembusan muara semesta
sebagai rumah yang kebetulan menggumpal di tanganku
gumpalan garis tipis gelap
gumpalan pancaran tipis suara
gelap yang ada di arus mimpi
suara yang ada di arus hati
masuklah kau yang berdiri di pintunya
rumahku aku bangun tanpa terpaksa
rumah benda benda dan segala impian
rumah pancaran pancaran suara
rumah dalam sejuta makna
rumah inti segala damba
masuklah
kau tak perlu takut karena kita bukan maut
kita akan saling memahami jalan masing masing
dan pada jalan yang sama aku akan setia padamu
sebagaimana aku akan setia pada rumahku
kita akan saling melengkapi sunyi
memahami jalan bahwa kau adalah namaku
memahami jalan bahwa kau adalah sajakku
memahami jalan bahwa kau adalah hidupku
dan kita tak perlu lagi sangsi mengapa kita sangat berarti
masuklah
di sinilah gelap yang bermakna
di sinilah suara yang pertama kali terdengar
memancar dari apa pun saja
setelah kugoreskan darah tinta
yogyakarta, 2009-2011
REMANG REMANG
mata ini remang remang kelam dalam
kelam dalam angin
dalam kelam dingin
remang remang tubuh sunyi
yang tak sempat kunamai
menamai sunyi yang lain
nama lain yang membuatku asing
setiap remang remang mata ini lumpuh
pada kedip mata gadis kecil yang hilang
mata kecil yang kehilangan hidupnya
mata kecil arah angin
mata kecil arah dingin
setiap remang remang mata ini buntu
pada langkah pengelana yang tak menemukan jalan
pada jalan setapak yang sia sia
pada setapak kesiasiaan sepi dalam hidupnya
jalan setapak arah angin
jalan setapak arah dingin
namun remang remang
memekarkan malam di tubuhnya
memekarkan tubuh bulan di mataku
melebihi tubuh malam
melebihi bulan tubuh pada kelam
malam kelam kini jadilah pagi
walau malam mekar kelam
walau pagi hanya malam
jemariku memetikmu hati
dalam nama asing
dalam bunyi nama yang lain
yogyakarta, 2009-2010
rumahku
rumah benda benda
rumah segala impian yang terbang
benda benda yang memancar bersuara
kubangun saat tanah merekah dengan wewanginya
tanah yang tumbuh menjalar di hutan hutan
tanah yang tumbuh tegak menyentuh langit
bangunan yang menjalar menjangkau inti sunyi
tumbuhan benda benda yang bangun menepi
segalanya berseteru melalui ruang dan waktu
perseteruan yang tak selesai dengan ingatan
yang menggumpal di tanganku
gumpalan sisa sisa kata
gumpalan sisa sisa bahasa
yang di tulis dan diucapkan yang tiada
dimiliki tangan tangan sunyi di balik bunyi
dimiliki tangan tangan maya di balik yang nyata
tangan yang menyambut apa pun dengan sempurna
sambutan tangan kesempurnaan manusia
gumpalan tangan dari segala tangan yang sama
dinding atap lantai dan isinya hanyalah kata kata
yang telah kurelakan sebagai tafsiran
sebagai benda benda dan segala impian
menafsir yang tak bisa aku sampaikan
menyampaikannya dengan bahasa tinta hitam
pintu dan jendelanya diciptakannya sendiri
seperti hati dan pikiranmu
menciptakan teka teki sunyi dalam yang kau sunyikan
meniti ruang dan waktu
di tengah hutan hutan yang rimba
di tengah langit yang terbentang indah
atas nama benda benda dan segala impian
kugumpalkan semuanya semata untukmu
karena tanganmu berdetak dalam jantungku
tangan siapa pun yang lentik
adalah lentikan tangan abjad abjad
abjad abjad tangan yang telah kuberi salam
adalah tangan yang melambaikan keabadian
salam lentik yang melambai abadi
adalah salamku padamu
kau dan di balik segalanya sama saja
menyimpan segala yang tak kupunya
segala kepunyaan yang tak kumengerti
setitik tinta hitam disebut makna
tinta hitam nafasku di ujung pena
hanya kau yang memilikinya
benda benda dan segala impian namamu
nama suara memancar yang mengangkat apa pun pada asalnya
pancaran yang melepaskan kata ke dalam bahasa
pancaran yang melepaskan bahasa pada yang kita baca
suara benda benda dan segala impian
tentang suara jiwa manusia yang berkecamuk dalam dirinya
benda benda dan segala impian sajakku
kutulis untuk menghiburmu atau memberi tahu
bahwa ada gelap dan terang dalam hidup
hiburan yang tak perlu kau menari atau bernyanyi
pemberitahuan yang tak perlu kau cari tahu
mengapa kau harus mengerti
gelap yang mungkin membuatmu takut
terang yang mungkin membuatmu tenang
sejak itu yang kukenal hanya kehidupan
benda benda dan segala impian kehidupanku
sejak lahir hanya mengenal apa yang dirasakannya
mengenal tanah dan tulangnya
tanah antara awal dan akhir nafas nafas
tulang yang menancap membelah angin jadi jalan
kau tiba tiba datang membawa sesuatu yang berbeda
membawa bunyi yang nyata
membawa sesuatu yang telah hilang
dan telah pula aku lupa ia ada
benda benda dan segala impian rumahku
kata bahasa bunyi dan pancaran yang tersirat dalam gelap
tumbuh menjalar di hutan hutan
tumbuh tegak menyentuh langit
menjalar tegak dalam diriku sebagai pena
rumahku asal muasal pena sunyi
asal muasalku menjelma sesuatu
dan di dalamnya kau kenali aku pada diriku
mengenali jejak asal kata kata
mengenali jejak asal bahasa
kata bahasa hatinya hati setiap penciptaan
hatinya tanah dan tulang yang menggumpal di tanganku
inilah gumpalan tanganku
hembusan benda benda dan segala impian
muara nama dan kehidupan
semesta suara yang tumbuh sebagai pancaran
yang adalah juga tanganmu
menggumpal halus lembutmu
menggumpal lembut padatmu
menggumpal padat kerasmu
yang itu adalah rumahku
ingin kuberikan gumpalan ini yang juga ada padamu
pemberian atas hembusan muara semesta
sebagai rumah yang kebetulan menggumpal di tanganku
gumpalan garis tipis gelap
gumpalan pancaran tipis suara
gelap yang ada di arus mimpi
suara yang ada di arus hati
masuklah kau yang berdiri di pintunya
rumahku aku bangun tanpa terpaksa
rumah benda benda dan segala impian
rumah pancaran pancaran suara
rumah dalam sejuta makna
rumah inti segala damba
masuklah
kau tak perlu takut karena kita bukan maut
kita akan saling memahami jalan masing masing
dan pada jalan yang sama aku akan setia padamu
sebagaimana aku akan setia pada rumahku
kita akan saling melengkapi sunyi
memahami jalan bahwa kau adalah namaku
memahami jalan bahwa kau adalah sajakku
memahami jalan bahwa kau adalah hidupku
dan kita tak perlu lagi sangsi mengapa kita sangat berarti
masuklah
di sinilah gelap yang bermakna
di sinilah suara yang pertama kali terdengar
memancar dari apa pun saja
setelah kugoreskan darah tinta
yogyakarta, 2009-2011
REMANG REMANG
mata ini remang remang kelam dalam
kelam dalam angin
dalam kelam dingin
remang remang tubuh sunyi
yang tak sempat kunamai
menamai sunyi yang lain
nama lain yang membuatku asing
setiap remang remang mata ini lumpuh
pada kedip mata gadis kecil yang hilang
mata kecil yang kehilangan hidupnya
mata kecil arah angin
mata kecil arah dingin
setiap remang remang mata ini buntu
pada langkah pengelana yang tak menemukan jalan
pada jalan setapak yang sia sia
pada setapak kesiasiaan sepi dalam hidupnya
jalan setapak arah angin
jalan setapak arah dingin
namun remang remang
memekarkan malam di tubuhnya
memekarkan tubuh bulan di mataku
melebihi tubuh malam
melebihi bulan tubuh pada kelam
malam kelam kini jadilah pagi
walau malam mekar kelam
walau pagi hanya malam
jemariku memetikmu hati
dalam nama asing
dalam bunyi nama yang lain
yogyakarta, 2009-2010
Langganan:
Postingan (Atom)