Aku tak bisa berbuat banyak dalam hidupku. Aku lakukan apa yang kubisa. Menulis sajak bukanlah jalan hidup atau kematiaanku. Aku hanya ingin tahu keduanya meski pengetahuan manusia tak pernah utuh tentang realitas yang ada. Semua sajak ini adalah sebuah proses di mana aku sebagai manusia yang terkadang sedih, bahagia hingga merasa terasing dari dunia mencoba untuk menyeimbangkan diri agar benar-benar menjadi manusia. Semua sajak yang punya banyak gaya dalam penulisannya ini adalah usaha mengekalkan kenangan bersama orang yang dekat atau jauh dariku. Yang sesekali datang dan pergi atau tidak sama sekali. Tak ada penilaian untuk semua ini selain apa yang ada pada setiap kata itu sendiri. Sebab tak ada yang pernah selesai dalam hidupku juga sajakku...
RUMAHKU RAHIMMU
Ibu
Maafkanlah aku tidak bisa pulang ke rumah
Rumah pertama yang memberikanku bahagia
Rumah pertama yang mengenalkanku asal mula
Rumahku rahimmu
Ibu
Rumah itu tak cukup lagi bagi duniaku
Tapi bukan tak cukup bagi hidupku
Kini terlalu bodoh untuk kembali
Tapi bukan terlalu bodoh untuk kuhayati
Rahimmu cahaya nurani
Ibu
Apakah engkau marah?
Rumahku kini berwarna biru, kuning, hijau
Coklat dan merah
Aku tahu rumah yang dulu tak berwarna
Karena itu dunia pertama
Ibu
Aku tak ingin pulang ke rumah
Aku bermain lincah hingga aku punya rumah sendiri
Seperti rumah pertama kali
Ibu
Izinkanlah aku tak pulang ke rumah
Kutahu rahimmu yang abadi
Memancar arti untuk aku kembali suci
Yogayakarta, 2005
PERTEMUAN DALAM HUJAN
Dalam hujan kita berdiri tak berjarak
Menahan ingin yang semakin dingin
Hujan terus menandi mata angina
Mengabari kata yang tersembunyi di balik hati
Hujan mereda tiba-tiba
Tubuh kita sama basahnya
Aku pergi engkau pergi
Tapi ingin menghentikannya;
Belajar isyarat yang tak bersyarat
Yogyakarta, 2005
TUBUH KATA
Kulepas gaunmu perlahan
Di hamparan sunyi
Tubuhmu halus mulus
Sesekali bernyanyi dan menari
Tapi suaramu tak terdengar
Gerakmu tak terlihat
Kuberi gari tepi jadi puisi
Yogyakarta, 2005
KALIMAT DI TUBUHMU
Di Koran halaman pertama
Setiap jengkal tubuhmu
Ada kalimat tak terbaca
Mereka tertawa ingin merobeknya
Ada pula yang ingin mengabadikannya
Ke masa purba;
Mata mereka terlalu buta untuk seorang hawa
Kecuali pada sebagian tubuhnya
Di tubuhmu
Kini kalimat itu tinggal rangka
Mereka mengira itu adalah surga
Yogyakarta, 2005
BAYANG DI BELAH WAKTU
Bayang yang dilemparkannya
Sendiri di langit itu
Membaca kata-kata di belah waktu
Aku sendiri menemukan kata hati
Berganti jadi mimpi
Yogyakarta, 2005
BUNGA BERSAYAP
Engkau hidup dalam musim
Dua musim bersayap
Satu berbulu matahari
Satu lagi berbulu bulan
Engkau mampu mumian hati
Menyobek pelangi
Di mana terbangmu berhenti
Beranikah engkau mencari
Sedang setiap hanya ilusi
Oh, engkau bunga bersayap
Yogyakarta, 2005
DALAM SUNYI
Dalam sunyi kutemukan nada
Yang tak kau dengar
Dikuti cericit camar
Menatap ombak menemukan pantai
Senyummu bermesraan dengan ikan-ikan
Dan daun-daun mulai ketakutan
Angin datang menyesatkan
Dalam sunyi
Not nada kuatur dan kurapikan
Dalam partitur malam
Esok konyanyikan
Hingga kuakhiri sunyiku di sunyimu
Terkulai lemas dalam pertemuan
Yogyakarta, 2005
SAJAKKU
Kutitipkan pada tubuh kata
Segala jawaban pertanyanmu
Jika kelak aku tak bisa menemuimu secara abadi
Yang kini kau pun menemukanku dalam sajakku
Sajakku hanya angin
Tak menyimpan apa-apa; hampa
Tapi kau tahu laut tak tenang karenanya
Jika suka katakan padanya tanpa kata-kata
Angina tak memerlukannya
Selain apa yang tak bisa kau mengucapkannya
Yogyakarta, 2005
TUBUH CINTA
Kita dahaga dalam tubuh cinta
Minta segelas rasa yang dipunya
Saling mengarungi laut lepas
Deru kita semakin terkuras
Dahaga tuntas
Gelas pecah
Usailah sudah
Tubuh cinta ada pada-Nya
Yogyakarta, 2005
MENULIS SURAT CINTA UNTUKMU
Karena aku bukan orang kaya
Kutulis surat buatmu
Tintanya kuambil dari cahaya;
Separuh cahaya malam dan
Separuh cahayamu
Kata pertama aku tak bisa apa-apa
Kata terakhir Cuma merasa
Saat pertemuan kuberikan surat itu kepadamu
Karena begitulah suratku
Buat apa yang berada pada dirimu
Yogyakarta, 2005
DI KEDALAMAN HATIMU
Di kedalaman hatimu tolonglah aku
Terkepung saat denyut mengajakku ikut
Kita serupa laut
Perlahan mengombak
Ketika tepi dalam sepi
Kembali sepi
Diuji mimpi
Hatimu mencariku
Engkau sendiri adalah aku
Yogyakarta, 2005
AKU DAN TUBUH
Engkau tubuh bau amis
Tegak berlekuk menyelipkan pemburu
Sedetak rahasiamu
Sepanjang sejarah mereka tahu aku satu
Aku dan tubuh mengaku-ngaku
Lalu, Tuhan di mana yang kau perlu
Ada yang belum tahu bermain batu dan peluru
Yogyakarta, 2005
ITULAH AKU
Engkau tahu daun berguguran
Itulah aku diganti musimmu
Siap terbakar menjadi abu
Engkau tahu rintik hujan
Itulah aku diganti musimmu
Siap menyemikan kehidupan
Itulah aku berganti karenamu
Kekal setiap perubahan
Yogyakarta, 2005
PERTEMUAN
Pertemuan kita tanpa tanda
Engkau minta aku menandainya dengan puisi
Puisi tak dapat menyimpan apa pun kecuali jejakmu
Jejakmu kata puisiku yang ada pada debu itu
Setiap engkau berlalu
Jangan paksa puisiku dalam pertemuan engkau temukan
Karena engkau puisiku yang tak mampu aku tuliskan
Yogyakarta, 2005
CINTA
Aku kata yang diberi tanda
Ditulis laut dan gelombang
Disuarakan angin dan desirnya
Sampai pada makna
Aku disebut cinta
Yogyakarta, 2006
TATAPANMU
Entah seperti apa cinta
Dan seperti apa rindu
Aku tidak tahu
Malam ini mengapa aku mengingatmu?
Jawabannya hanya satu
Karena tatapanmu menjaga tatapanku
Malam ini juga
Aku ingin menghentikannya
Membutakan mata:
Menatap hatiku dengan hatimu
Yogyakarta, 2006
DUA GELAS DI ATAS MEJA
Sangat lama sapa terdampar dalam
Lupa berkepanjangan
Kubiarkan cuaca bicara
Dingin dan panas bertarung,
Kenangan terbit dan tenggelam
Bunga yang tertanam di jantung
Semakin ranum
Hanya pada gelas di atas gelas ini aku percaya
Babwa kita masih ada dan lupa
Semenjak jarak tercipta
Dan aku cukup tahu banyak yang belum
Kita pastikan untuk sebuah jalan panjang
Selain sisa kisah yang kita jamah
Mengirim jenazah
Dua gelas di atas meja ini tak akan aku kubur
Nisan dan kafan fana
Aku tak ingin membuang atau meniadakannya
Yogyakarta, 2006
MALAM YANG KUBATASI
Karena dingin
Malam memasuki celah-celah mimpiku
Membisikkan zikir yang kuukir di langit yang ke tujuh
Tiada batas meretas diucapkan nafas menderu
Rembulan satu adalah rinduku
Bintang-gemintang adalah cintaku
Kubatasi malam begitu saja
Dalam pejam menuju kelam
Yogyakarta, 2006
SEPASANG BAYANG SEHABIS HUJAN
hujan telah berani membasahi kita
berpesan untuk berteduh sebelum tiada
ku tak tahu ke mana harus mencari tempat
hujan selalu menemukan celah tak padat;
bisik dada yang berani kita bicara
dalam hujan seharusnya kita gemetar
seperti tubuh dedaun
dan reranting yang terpintal
sebelum terkubur lumpur
namun di matamu
ku tak merasa dingin dan gemetar
mungkin karena menyimpan matahari
dan sebuah labirin yang hanya kita bisa jelaskan
kupun tahu kau tak pernah berbeda
menghindar dari hujan
diam rebah di alis mataku
berselimut rindu
dan tak ingin pergi jauh-jauh
sebelum tatapanmu utuh tentang aku
cinta, kini hujan mulai reda
aku masih saja dalam tanya
apakah ada jalan untuk sepasang bayang
pada genangan air keruh di bawah telapak kaki kita?
Yogyakarta, 2006
SELEMBAR GAMBAR ANAK KECIL
(pada lomba menggambar dan mewarnai
2006 se-Yogyakarta)
Ada langit ada bumi
Langit berwarna putih
Bumi berwarna hitam
Hutan berwarna hitam
Hewan berwarna putih
Ada jalan berliku-liku
Warnanya abu-abu
“Inilh gambarku pasti dapat juara satu”
katanya kepada ibu tercinta
Orang yang berada di sekitarnya tersenyum
Sang ibu mengambilnya dan disetor ke panitia
“Ini gambar cerita manusia” kata penitia
Sang ibu menatap tajam pada anaknya
Dan meneteskan air mata
“Ibu, aku telah menggambar dunia”
Katanya bahagia
Sang ibu diam saja dan memeluknya
Menyatukan getar yang berada di dada
Yogayakarta, 2006
ZIARAH ANGIN PADA TANAH
:Pramoedya Ananta Toer
I/
Angin tubuhmu bicara
Pada tanah yang kau injak
Tak seperti laut yang mengombak
Juga tak seperti api yang membakar
Menjadikan sesuatu ada lalu tiada
Ziarah angin pada tanah
Ziarah yang sebentar tak lebih dari sedetik
Untuk mengatakan tidak
Pada sebuah jejak
Ziarah angin pada tanah
Hanya perjanjian dan pesan
Untuk ditanam dan dikenang
Sebab angin akan selalu bertiup
Tanah akan selalu berdebu
Dan kau nurani yang kembali
Mengembalikan yang tak harus dimiliki
II/
“Bakarlah aku! Taburlah abuku!” sebelumnya katamu
Namun kami tak mampu membakar angin
Denyut nadi dan detak jantung kami
Tak ingin berhenti
“Berbaringlah di hamparan tanah-Nya
dan bertiuplah di bawah langit-Nya” kata kami
Membiarkan angin berziarah pada tanah
Dan air mata kami hapus di lancip mata
Lalu kita pulang sama
III/
Angin bertiup tak mengenal penjara
Dari arah mana saja
Namun pada tanah kulihat kisahnya
Debu-debu yang berterbangan
Dan jejak-jejak seorang manusia
Yogyakarta, 2006
TANYA DALAM KALENG
Bertanya tentang malam bertanya keelapan
Bulan menyimpan kebisuan dan kebekuan
Bertanya tentang siang
Bertanya terang benderang
Matahari menyimpan kekacauan dan kemiskinan
Tanya dalam kaleng tak ada
Hanya suara kaleng nyaring bunyinya
Yogyakarta, 2006
DALAM DOA
Dalam doa ada cahaya
Sebagian penuh dosa
Karena doa dipercaya untuk sejahtera
Jangan salahkan doa
Jika ada yang sibuk memangsa
Karena doa bukan manusia
Yogyakarta, 2006
RANJANG SUNYI
Kulihat ranjang sepi tak berbunyi: sunyi
Menunggu mati
Dalam tubuhku api
Kau belum juga datang
Menghiburku di atas ranjang
Dengan tarian dan nyanyian
Kayaknya aku tak bisa bertahan
Api semakin tak sabar membakar
Saat kau datang api padam
Berganti gerak dan bisikan tak beraturan
Ranjang diam sendirian
Selamanya sunyi
Sebelum dan sesudah kita padamkan api
Yang orang lain tak mengerti
Yogyakarta, 2006
MATAMU
Laut tak lagi biru jika malam
Juga sisa matamu yang dalam
Pada matamu mata bulan
Kuingin matamu mengganti mataku
Agar laut dan mataku biru
Sepanjang malam tak ada petang dalam tatapan
Yogyakarta, 2006
HUJAN
Tanpa dikira hujan pun jatuh
Langit gelap membawanya darimu
Saat kau bermimpi dan membayangkan aku
Tanah bukan hanya basah
Ada laut di setiap celah
Setitik hujan tanda hidup
Mungkin juga tanda tiada
Laut adalah raut dan hujan basahnya kita
Kita masih bertahan untuk setia
Yogyakarta, 2006
ANAK KATA
Kita kawin karena cinta
Bersetubuh dengan tinta
Menggelinjang di atas angin
Mendesah di atas bumi
Di antara keduanya kita lahirkan anak kata
Anak kata suka pada lelaki dan wanita
Namun ia tak suka memperkosa
Ia ada di setiap mata siap dibaca
Seperti ayah dan ibunya pada pertemuan pertama
Membaca yang ada tanpa kata
Yogyakarta, 2006
KAU MENGGARISKU
Pada setiap tepi pertemuan
Tatapanmu menggarisku dengan huruf hijaiyah
Memilah dan memisah
Angin dan daun yang gelisah
Lalu, sering kubayangkan matamu adalah huruf
Dan mataku adalah harkat
Sebab aku yakin kita adalah ayat
Jika kau belum percaya
Masuklah kedalam mataku
Kau akan temukan tetesan yang siap mengalir
Saat perpisahan
Di mana saat aku tak bisa menahan
Dan kau terasa hilang
Jika kau percaya
Bekukan saja mataku yang kau garis
Sebelum dihapus gerimis
Yogyakarta, 2006
DALAM LUBANG MISTERI
Asal usulnya adalah sepi
Melingkar sendiri
Menjadi mataku dan matamu
Bertanya rindu
Namun kini masih sangsi
Lantaran kau dan aku tak memberi arti
Sesuatu yang pech dan gelisah
Pada segaris mimpi
Yogyakarta, 2006
BUNYIMU YANG TAK PERNAH MATI
Bunyi sengaja aku matikan
Agar pesanmu tak diketahui
Apa dan siapa pun
Kecuali detak di dadaku
Sinyal-sinyal yang datang bukan darimu
Terpental dalam sepi
Hidup dan mati
Tapi bunyimu tak pernah mati
Dan kuketahui ini bukan hanya sekali
Bunyi yang tak pernah mati adalah rindu
Apakah kau juga mendengarnya?
Mengirim pesan yang tak mampu lagi aku ingat
Karena bayangmu tak samara lagi
Pada sebuah perjalanan sinyal padat
Yogyakarta, 2006
AKU DAN CAHAYA
Aku bertanya pada cahaya
“Siapa yang sama atau mirip denganku?”
“Bayangmu” jawabnya
“Mengapa ketika kau tiada
bayangmu pun tiada?” tanyaku kembali
Cahaya tersenyum melihatku tanpanya
Dan aku tak melihat apa-apa
Yogyakarta, 2006
SETIAP TAK BERTEMU
Setiap tak bertemu kubayangkan
Aku adalah cermin di kamarmu
Yang setiap kau berada di depannya
Menemukan kebeningan rinduku
Yogyakarta, 2006
KUBERDUKA ATAS LUKAMU
Kau pun tahu zaman telajang
Tertanggal pada detik dan jam
Kalimat Tuhan terbang
Ombak menerjang
Tanah retak gemertak
Air mata
Berbutir-butir permata di ulu luka
Tetesan darah
Samudra di arungi perahu duka
Kuberduka atas lukamu!
Yogyakarta, 2006
BISAKAH KAU KIRIM KATA
Bisakah kau kirim kata
Sebab aku tak punya untuk sesuatu yang tiada
Kirimlah untuk yang tak pernah bercakap
Kirimlah melalui kesiur angina
Agar cuaca tak hanya dingin
Kau tak usah sibuk menerka
Aku selalu mencatatnya
Seperti kau menandainya
Yogyakarta, 2006
KOSONG
Bayang yang jauh semakin jatuh
Jam yang kau kirimkan semakin bergetar
Aku menoleh tak ada yang tertoreh
Aku maju tak ada yang berlalu
Aku tuding sejumput kabut
Menyelusup dalam sepatu
Tak sampai aku mengenalnya
Yogyakarta, 2006
USIA KITA
Pada lantai rumahmu usia nampak merangkak
Sesekali tersenyum menyerupai kita
Yang mungkin lupa
Mungkin juga tidak
Setelah ia berjalan menyebut nama
Menyebut asal kenangan yang kita punya
Kita tahu ia tak mengenal bunga apalagi cinta
Tapi kita bahagia
Kita juga tahu ia hanya angka-angka yang berjarak
Masihkah kita tak mengingatnya
Meski bayang yang kita punya?
Usiaku usiamu
Bening di lantai rumahmu
Yogyakarta, 2006
ANGIN YANG KAU KIRIM
Angin yang kau kirim
Sampai pada kuncup bunga di halaman
Dan terdengar seru desahmu
Cuaca mengisyaratkanya luruh satu-satu
Sebelum layu dan kering
Kukirim kembali
Bersama segala yang kumiliki
Meski waktu berhenti
Dan tak ada mimpi lagi
Begitulah aku melepas ayat-ayat
Yang kaurasa
Yang kubaca
Hingga nanti sepertimu jua
Yogayakarta, 2006
TANGISAN KATA
saat katamu aku baca
kataku mengalirkan air mata
bukan sedih atau luka
tapi rindu ini tak kau baca
:jarak semakin jauh
semakin dekat terbaca
Yogyakarta, 101106
SEBELUM KALIMAT
sebelum kalimat
teriakan anak kecil tanpa ibu
menggema di jantung malam
berserakan di bawah rembulan
:ingin menemui Tuhan
anak kecil itu
mungkin telah lama kehilangan
ibu kesayangannya
yang selalu mendongengkan
yusuf dan zulaikha
makanya, malaikat sibuk mengantarnya
lengkap dengan jubahnya
bertuliskan bismillah
namun ada yang terlebih dahulu menggores
di cerlang matanya;
ibumu masih bercinta di kamar 16
dengan lelaki tampan
mirip wajahmu
anak kecil itu berhenti berteriak
menghapus kalimat di cerlang matanya
dengan air mata
dan malaikat menulisnya sebagai kalimat
pada catatan hariannya.
Sarkem, 081106
UTOPIA BAYANG DAN LILIN
:Ratih
setiap malam aku duduk setia dalam sunyi
lilinmusik mengalun-ngalun
kau menari mengikuti gerak api
terpantul pada dinding dan lantai
:mataku mencari ceruk gerakmu
meski bayang dan lilin mementaskanmu
malam aku dan kau
hanya sketsa tak berwarna
:ada pada bahasa
yang belum ditemukan tanda bacanya
andai bayang dan lilin beku dalam kalimat
aku ingin selalu membacanya
namun masih saja sia-sia
:utopia
Yogyakarta, 031106
EPISODE GANGGA
masih saja angin mengirim harum kenanga
yang tumbuh di antara lekuk tubuhmu
bertaburan di atas mejaberganti-ganti warna
:mataku jadi gangga
Yogyakarta, 011106
KURSI PANJANG
:Sarkem
entah berapa lembut pantat dan keras otot
menggesek berganti-ganti
hanya untuk mengantri sunyi
di dasar hati
lalu, sedikit senyum sapa bertukar ruang
melepas lelah di antara kursi panjang
tanpa nama dan selamat tinggal
;mengukur langkah dan bayang-bayang
Kamar 18A, 101106
PIRING PUASA
gesekan denting pelan tak nyaring
waktu terpelanting pada titik angka
ruang mendesing pada tanda hampa;
cukup lapar aksara dengan titik koma
Yogyakarta, 2006
MANGKOK PUASA
sebelum kau lihat bulan dan matahari
dalam mangkok berisi kulak
wajahmu bersinar terlebih dahulu
mengejar rindu;
kisah kanak-kanak yang menulis batu
yang pernah diajari bapak-ibu
Yogyakarta, 2006
GELAS PUASA
terasa tubuh panas
dan tenaga terkuras
aku menunggu tandaNya dilepas
menghilangkan dahaga hingga tuntas
Yogyakarta, 2006
SENDOK PUASA
mengaduk-ngaduk
kopi, teh, dan susu
memainkannya serupa pena
adalah menulis surat untukNya
Yogyakarta, 2006
MEJA PUASA
semua berkumpul dalam satu
menuju arah yang satu
meski selesai satu-satu
Yogyakarta, 2006
BUKA PUASA
senja mengendap-ngendap
memasuki kamar makan
mengabarkan cerita cinta adam dan hawa
yang sejak pertama mengenal kurma
memenuhi santapan di atas meja
selesai, senja pergi;
ada sedikit slilit surga yang melekat pada giginya
Yogyakarta, 2006
SAHUR PUASA
tepat dini hari kuhentikan segala mimpimu
untuk menghampiri mimpi yang lain
mimpi yang belum ditemukan
di setiap jalan persimpangan;
mimpi tentang sesuatu yang telah membatu
sekeras cinta dan rindu
Yogyakarta, 2006
MAKANAN PUASA
pada matamu mutiara
pada mataku fajar dan senja
kutelah menahannya
sesuai dengan yang kupunya
hanya untuk sebulan lamanya
Yogyakarta, 2006
TUBUH PUASA
seliar apa pun gerak pada garis penglihatanmu
kau harus mengikatnya pada waktu
karena aku masih harus menyelesaikan
pemburuan demi pemburuan
pada dua hutan dalam satu bulan
Yogyakarta, 2006
Ramadhan
1/
kini kutahan getar dalam tubuhku
karena aku menuju rumahmu;
getar yang merontokkan dedaun dan cecabang
getar yang menghapus tanda jalanmu
kutahan getar dalam tubuhku
kubiarkan tubuhku gemetar dalam getar;
getar tangis yang meritmis
getar tipis yang melagukan bunyimu
2/
bulan ini kulepas sebagian burung
peliharaanku
menyebrangi lautan dan pegunungan
setelah setahun di penjara
di layar televisi dan koran-koran
jangan tanya
ke mana burungku sampai
dan ke mana kepaknya tertinggal
aku tak pernah tahu
hanya Tuhan
pada bulan ini kulepas sebagian burungku
untuk tidak kembali
biarlah di layar televisi dan koran-koran
sepi dari kicaunya setiap pagi
Yogyakarta, september, 2006
ANGIN MALAM
siapa yang berada di matamu
ketika kau terpejam
di luar tidurmu
tangan-tangan membelai
ingin merebut lelapmu
datang dari berbagai arah dan penjuru
dengan darah mendidih
seharum mawar
aku tak pernah tertidur
menemani angin malam
yang berulang-ulang kau hirup
yang meresap ke jantungmu
angin malam adalah temanku
setelah kau menemaniku
menggasing di kepala
ingin berucap
: gagu
aku tak tahu bagaimana caranya
rasaku pecah takut melukaimu
yang ada tanpa bahasa
yang bergerak tanpa aba-aba
siapa yang berada di matamu
dan merebut lelapmu
adalah jalan sajakku
angin malam kubiarkan
menyampaikannya kepadamu
jika kau melihatku
jatuh bersamaan dengan mimpimu
di kedalaman matamu yang sayu
yogyakarta, 2007
KAU BAGIKU
bagaimana aku harus menuturkan
lindap cahaya dan kelebat bayang
aku seorang cacat
yang tak mampu mencatat
apalagi melihat yang tersirat
tetapi aku harus kuat
mengambil bunyi tersembunyi
darimu di latar waktu
merangkai sebaris kalimat
untuk kubaca di dasar hati
dan kau bagiku kata yang kucari
hadir di setiap sepi
menggantikan warna monalisa
yang berabad-abad
di tembok masa mengabadikan cinta
kau bagiku cahaya dan bayang itu
merangkai sunyaku sebagai rindu
yogyakarta, 2007
GENGGAMAN TANGANMU
aku tak ingin pergi
tanpa genggaman tanganmu
meski cemara dan pasir dapat kutafsir
di sepanjang pantai
:melamunkan wajah surya secerah warnanya
melesatkan anak panah di setiap cuaca
tetapi apalah daya
aku harus pergi meninggalkan pantai
dengan sampan yang kita buat bersama
di bukit-bukit hijau
mengujinya di luas laut yang menyimpan maut
maka berilah di tanganku sebuah peta dunia
untuk kugenggam
:tanganmu dunia yang menyimpan rindu
sebab aku tak dapat memastikan
di mana kelak aku tinggal
dan akhirnya kau atau cinta yang kuberi mawar
untukmu kusisakan lembut nafas malam
dan setangkai bayang
dari setipis tatapan dalam ingatan
jika kau terpejam
dan kau melihat segalanya kelam
yogyakarta, 050207
ZIARAH MEJA
meja-meja kosong tanpa bunga dan menu makanan
di mana meja kita?
kududuk seperti dulu
ketika kumendengar denting gelas
dan kaubacakan sajak yang kautulis;
menetapkan tangga desir angin
memperbaiki arah sebagai jalan untuk singgah
kini, masa lalu atau setumpuk kayu
tak ada bedanya
debu menebal menunggu seorang pelayan
dan yang ada di mataku hanya rongsokan
meja-meja kosong tanpa bunga dan menu makanan
di mana meja kita?
di antara meja-meja
kuingin singgah sebentar mengenalmu
mengulang yang tiada dengan segala bahasa
sebab aku terlalu suka pada bunyi yang kaucipta
dan meja kita terlalu kusebut cinta
walau tanpa bunga, menu makanan dan seorang pelayan
di atas salah satu meja kuberi pesan agar kaudatang
sesuatu yang tak pernah selesai kuucapkan
yogyakarta, 2006-2007
KETIDAKHADIRAN
di ruang ini
pintu dan jendela
masih saja terbuka
sebenarnya apa yang ada
bunyi tutup mulut
menyembunyikan
yang tersangkut pada angin
aku ingin bicara
mengepakkan sayap
dari kedalaman jiwa
tetapi cermin di tenggorokanku
memecahkan makna kata
mengaburkan batas kesempurnaan
dan yang ada hanya luka
tak ada yang tahu
tak ada yang terharu
semuanya
jadi lebih sepi dari sepi
jadi lebih sunyi dari sunyi
aku ingin bicara
saat ini seperti dulu
melebihi senyum dan tawa
meski tak kau tahu
mulutku mengucap apa
seperti bunyi
menyembunyikan
yang tersangkut pada angin
yang masuk
melalui pintu dan jendela
yogyakarta, 2007
RUANG 1
biarlah ruangku terasa kosong
lengang melenggang
hingga dapat kugenggam
biarlah ruangku terasa apa adanya
menangkap bahasa sebagai makna
biarlah ruangku
genggam makna
kuingin hidup di dalamnya
melebihi yang nyata
yogyakarta, 2007
INGATANKU
begitu sulit melupakan ingatan
sedang ia hanya bayang-bayang;
sebentuk wajah baru dari wajahku
ke mana pun kulemparkan
termasuk ke wajahmu
ia adalah aku
jika kupenggal
ingatanku tetap wajahmu
yogyakarta, 2007
SAAT KUSAKIT
saat kusakit tubuh ini bukan milik siapa pun;
bukan milikku dan yang merawatku
bagaimana jika kau membesukku
agar aku tahu merah putih matamu
untuk kumasuki ajal di situ
yogyakarta, 2007
UNTUK PENGUNJUNG SUNYIKU
di rumah aku sendiri menunggumu
pintu kubuka sepanjang waktu
berkunjunglah
kusediakan ruang tamu seadanya
kita bisa ngobrol apa saja
sambil minum segelas teh atau kopi
syaratnya hanya jangan ngobrol
tentang ingatan
isi rumahku adalah ingatan
yang penuh tanda pengenal
aku tak akan melarangmu membawa oleh-oleh
kau boleh membawa rasa sakit, bahagia dan cinta
bahkan kau boleh datang membawa pisau,
selembar kain kafan
lalu, membunuh dan menguburku
:rumahku adalah rumahmu juga
tempat semuanya terlahir
dan terbuang
jika kunjunganmu selesai
pulanglah dengan sunyiku
tetapi tolong pejamkan mata angin
yang selalu menatapku sebagai salam
sebab aku masih mengingatmu
seperti isi rumahku
yogyakarta, 2007
KATA TANPA MATA
1/
adalah udara
yang rindu, dendam, dan cinta
mengincir setiap gerhana
oh, malam yang malang
mimpi semakin berkurang
embun semakin jernih
mengetuk lambai daun lirih
oh, siang yang panas
keringat semakin terkuras
udara menyandra sketsa
masuk dalam rumah-rumah kaca
mata adalah cuaca
berbisik pada telinga semesta.
2/
kulihat jalanan sesak dengan tanda seru
mesin-mesin menderu
cerobong pabrik mengeluarkan asap kelabu
kertas-kertas berterbangan menyatu dengan debu
tinta mengalir pada lembah mimpiku;
menulis tubuhku.
Jogja, agustus, 2006
TENTANG KENANGAN
hari dan umur telah satu
menyisakan dongeng kanak-kanakku
di gedek bambu
di atas tikar daun lontar
:mengarang arah tuju
di setiap hujan dan kemarau
kini kuberada di antara sajak-sajak
bermain derit pintu dan jendela
kibasan gorden pada kaca
dentingan piring dan garpu
manisnya segelas susu dan cappocino
terkadang bunyi gitar dan piano
:belajar sepi dan masa lalu
di sudut-sudut waktu
hingga aku ingat
semuanya bisa saja berlalu
Yogyakarta, 2006
DI LUAR KATA
sinar bulan
dan sinarmu
pecah bergetar di kamar tamu
aku masih selalu mengintipnya
dengan kertas dan tinta di tangan;
mungkin itu sebuah cerita
mungkin pula sajak cinta
yang belum tercipta
sebab berkali-kali kulemparkan tatap
grafis-grafis yang kudapat
dan berkali-kali pula kumenunggu kata
tintaku hanya menggores titik dan koma;
kusadar semuanya memang butuh waktu
untuk aku tangkap dan kutaruh dalam saku
tetapi aku ingin sering menyebutnya
meski tak cukup sekadar duka
Yogyakarta, 2006
SAJAK BATU
bila sesuatu tak lagi butuh kata
kau berhenti pada sebuah titik
semuanya akan beku serupa batu
dan ada seribu mata pada kerasnya
Yogyakarta, 2006
TATO KUPU-KUPU
melihat tato pantatmu
serupa menyaksikan kupu-kupu di taman
terbang bertasbih pada kuncup kembang
lalu di mataku ada kalimat yang tak ingin aku buang
sebagai doa sepanjang jalan
Yogyakarta, 2006
GAMBAR KABAR
pada sebuah gambar kau kirim senyum
dan lambaian tangan
di perempatan jalan di dadamu
;kabar ciptaan rasa yang dipintal masa
aku pun kirim gambar senyum
dan lambaian tanganku
karena kuingat kita pernah bermain bersama
di atas hamparan pasir
di bawah rindang cemara
tetapi entah apa kabarku juga sampai
karena angin tak pernah berpesan
bahwa ada luka di dada kita
Yogyakarta, 2006
BERITAHULAH KEMATIANKU
sebelum kutahu kuburku
kuingin tahu kematianku
di rekah bibirmu
saat kau memanggilku
sekarang kurasa semuanya masih
sedekat sajak
sehalus kulit malam dan
setajam mata samurai
yang menempel di wajah jam
jika kutahu kematianku
kutanam bunga di bibirmu
dan matiku bukan benalu
sebab yang kupunya
tak ada yang dapat kusebut abadi
seperti baju dan celana dalam lemari
kertas dan ballpain dalam laci
beritahulah kematianku!
aku hanya angka di bibirmu
belajar menjumlah angin yang memasuki
ruang kamarku
beritahulah kematianku!
nama hanya kata
kata hanya suara melata
sekalipun nama dan kata
adalah jantungku
napasku ada pada bibirmu
beritahulah kematianku!
panggillah aku
kutunggu dengan ukuran tubuhku
di senggang waktu
Yogyakarta, 2006
NYANYIANMU DAN TARIANKU
--perempuan kota dingin--
jejak sajak tak berkaki
dinyanyikan bibirmu, meme
kukenal itu dari burung-burung
yang terbang dari kedinginanmu
melewati lorong tanpa rambu
tetapi kuingin menari saja, meme
diiringi nyanyianmu berputar seperti rumi
mengikuti burung-burung dinginmu
melewati ruang tanpa mulut
sebelum kulit kita mengkerut, meme
bacalah sajak itu
aku akan menari;
kau akan menemukan kakimu
pada tarianku dan
aku menemukan mulutku
pada nyanyianmu
Yogyakarta, 2006
SAJAK AIR
air menuju celahmu
celahku terbelah-belah musim
menadah wajah matahari
dan tubuh lusuh
pada rangka sungai-sungai;
di mana yang kau masuki
dengan ketakmengertian kuhampiri
wajahku mengalir pada wajah lain
yang kau mengerti dalam abjadmu sendiri
Yogyakarta, 2006
KETAKUTANKU
hujan dan angin membuatku takut malam ini
tapi yang lebih aku takutkan lagi
adalah hilangnya wajahmu dari tatapanku
Sumenep, 2007
MATA API
entah siapa yang akan terbakar;
tubuhnya mengasingkan diri
setelah mulutnya mencicipi impian
dan pada matanya segalanya berharap jadi arang
yogyakarta, 2007
KEHENINGAN
kaubersayap di tulisanku
terbang ke sebuah samudra
dan menusuk langit kelam
kausisakan kepak-kepak sayapmu
dalam kesendirianku
kesendirian yang musykil kutangkap
jadi makna puisi
yogyakarta, 2007
ANGIN
entah apa yang kaubawa
dari segala penjuru tanpa indera
segalanya berharap untuk tidak ditinggalkan
menentukan kisah untuk diceritakan
yogyakarta, 2007
DUNIA HITAM
malam ini udara meletus
dan kelender meneteskan darah;
kuperbaiki selimut dalam tidurku
sebab aku tak ingin mati;
mataku terpejam—terlalu hitam
yogyakarta, 2007
DALAM SEBUAH KOTAK
tak ada kata-kata hanya tusukan:
iblis, malaikat, dan tuhan mengerammanusia menghilang
yogyakarta, 2007
SILSILAH WAHYU
muhammad hanya ada dalam gua
dan jibril entah di mana;
untuk menemukannya
ibu mengajariku syakal dan makna
di antara huruf hijaiyah dalam kitab tua;
tetapi apa yang kutemukan saat ini
hanya kesucian sunyi
di balik huruf hijaiyah
tak ada sepenggal nama atau kisah
yogyakarta, 2007
BUTA
pada denyut gema
yang buta meraba ruang getar;
setiap dindingnya ditulis cinta
bibirku undur kata-kata kuucapkan
semuanya bersarang hingga kaubertandang
mengaturkan selamat jalan
pada denyut gema
yang buta meraba
berkisah yang tiada
yogyakarta, 2006
SUARA
catat semua yang kautahu tentang aku
berilah jalan memantul di kertasmu
besok catatanmu hilang;
kau tak akan menemukan lagi di ruang tidurmu
—catatlah segala yang diam bungkam di dadamu
mengikuti goyang rerumput dan pepohonan
: aku kesunyianmu
yogyakarta, 2007
OBSESI
sering kuambil kalimat dari tubuhmu
kubiarkan tumbuh di halaman rumahku;
agar datang dan pergiku masih mengingatmu
jika kau tahu; hanya kata rindu
sayang, kau belum tahu
matahari terlalu cepat menjadikannya awan kelabu
yogyakarta, 2006
PERPISAHAN DENGAN LAUT
sengaja atau tidak kita telah berpisah;
aku perahu yang terdampar di setiap pantai
menjauhi bangkai
mencari nama di layar sobekku
yogyakarta, 2006
NAMAMU
kutulis namamu
kubaca menjelang tidurku
bukan doa
kuhanya ingin bertemu
Yogyakarta, 2006
DALAM KERTAS
dalam kertas kau ingin kupanggil
di tengah malam yang berinci-inci dinginnya;
kulakukan seperti apa yang kau inginkan
puisi tercipta;
dalam kertas kupanggil namamu walau samar-samar
karena yang di luar tak pantas mendengarnya
Yogyakarta, 2006
MALAM INI
hujan mengenalkanmu
dengan dingin
angin mengenalkanmu
dengan hembusan
rembulan yang separuh
mengenalkanmu dengan cahaya
dan aku menatapmu
menatap aku sendiri
yogyakarta, 2007
KAU YANG KUCARI
sejak aku
kau panggil dengan sebuah nama
kucari kau di mana-mana;
di lubang bahasa, di celah suku kata,
serta di balik huruf-huruf
yang ada hanya gema
kucari kau dalam gema
dalam segala ruang yang menyumbang
dalam segala isi yang membunyi
yang ada hanya sepi
kucari kau dalam sepi
agar aku sepenuhnya mengerti
tapi kau tak memanggilku lagi
yogya, 2007
MAYA
dalam abjad
jasad tergelimpang
di bunuh cuaca
—sepercik gelap di matanya
mematung bayang
tak ingin dikaburkan
berkali-kali menentukan pilihan
memberinya nafas
pada kalimat pendek dan panjang
tetapi cuaca enggan mengekalkannya
—sepercik terang di matanya
adalah jalan setia
kutahu itu maya
;malaikatpun hanya berani mengintipnya
yogyakarta, 2007
TAFSIR SUARA
di mana aku hidup menguncup
berinci-inci huruf menjadi mulut;
di mana kau mengenalku
ada yang membaca dan mendengarkan
meminta sedikit cinta dan rindu;
di mana setiap titik temu
di antara bibir dan lidah
menuju ruang dan waktu
beriringkan kisah-kisah;
ketika itulah nama suara
ditafsir menyala-nyala
yogya, 2007
BUNGA MATAHARI
bunga matahari
hati yang dipetik bumi
pada gundukan tanah ini
siapa yang akan menumbuhkanku?
bunga matahari
mimpi rontok berhari-hari
yogyakarta, 2007
TATAPAN KOSONG
bukan melihat mata ini
bukan buta mata ini
kau telah menciptanya
dari sisa gerak tari dan getar bunyi
dari tubuhmu
yang memancar dimainkan angin
dari tubuhmu
cermin angin yang dingin
bukan melihat mata ini
bukan buta mata ini
dan jika buta dan melihat mata ini
kau menetes pada mataku
dan jika melihat dan buta mata ini
kau adalah matahari pada mataku
yogyarkarta, 2007
CINTA SI BUTA
aku tak bisa melihat matahari
tapi malam ini
aku mencium
wanginya pada bunga ini
aku juga tak bisa melihatmu
tapi kau menuntunku
dengan tangan waktu
menuju rindu
bila aku tak bisa melihat apa-apa
tubuh kita bukan jeda
tanpa saling menunggu untuk bicara
tanpa saling mengungkap untuk ada
surabaya-ngawi, 2007
ZAHIR
bukan suara
yang terdengar saat kita bercakap
bukan bahasa
yang sebenarnya kita ucap
sinar-sinar benda telah padam
benda-benda sinar telah tenggelam
tubuh kita berbenturan
dalam sapa dengan gerak diam
dunia telah menetapkan pesannya
yang selalu kita impikan
mencipta dunia yang tak lagi nyata
dengan sepasang mata maya
dan ingatan yang nyaris sempurna
kini, kita sama-sama tahu
yang ada bukan suara
yang ada bukan bahasa
bukan apa-apa selain ilusi
tentang orang yang pergi
dan masih bertahan sebagai mimpi
yogyakarta, 2007
KITA ADALAH BAYANG-BAYANG
di tempat ini
kita adalah bayang-bayang
bercinta dengan tubuh telanjang
bergelinjang dari arah mana saja
tak mengenal rindu dan derita
kita sebagai bayang-bayang
mengiringi detak sunyi
pada arus bunyi yang samar
mengikat jawab dan tanya
pada sebatang lilin yang berkobar
kita sebagai bayang-bayang
mengarungi gelombang-gelombang
menyusuri lubang kosong bahasa
sebab aku gelap dan kau cahaya
yogyakarta, 2007
MALAM BAGI YANG MEMINTA SAJAK
malam yang tak bersosok
kumasukkan ke dalam mataku
untuk mengetuk pintu demi pintu nafasku
di sana kubentangkan jalan-jalan
dengan kenangan masa lampau
dan kenangan masa depan
pelan-pelan
pintu-pintu nafasku terbuka
membangun rumah kata
berdinding gelap
beratap embun
berlampu bulan
membangun
sebagai mata malam
membangun
sebagai malam mata
lalu,
mataku adalah malam
malamku adalah mata
malam sebentuk mata
mata yang melihat sunyi
mata yang melihat sepi
mata yang melihat luka
mata yang melihat suka
mata yang mengalirkan sesosok mimpi
mata sebentuk malam
malam adalah kata-kata yang dilagukan
malam adalah nada-nada yang dilantunkan
malam adalah sebaris gerak-gerak ritmis
malam adalah sepenggal sosok yang tertanggal
malam menjadi mataku
mata menjadi malamku
rumah segala asal-muasal
yogyakarta, 2007
UNTUK MAUT
YANG SELALU DATANG
maut selalu datang kepadaku
dengan parang di kedua tangannya
kubiarkan ia
dengan ketakutan dan keberaniannya
menusuk perutku
memenggal kepalaku
dan memotong-motong tubuhku
aku adalah angin
untuk tangan kanannya
aku adalah air
untuk tangan kirinya
yogyakarta, 2007
REDE
I.
kita berdiri bersebrangan
aku di utara dan kau di selatan
diam mengatur bunyi sendiri-sendiri
lalu ada kata selepas pergi
di setiap telapak kaki
II.
kau ada di antara kursi dan meja
kemudian menerobos pintu dan jendela
memintaku menangkapnya
dengan sebuah tandabaca
III.
dalam tidurmu aku punya matakata
mengenalmu tanpa rupa
setelah kau bangun bacalah
matakataku ingin mengenal matamu juga
IV.
ia yang selalu memainkan bunyi adalah sunyi
ditiup dari segala penjuru oleh waktu
menembus tubuhmu
mewarnai kertas putihku
sumenep, 2006-2007
SETELAH KEPERGIAN
setelah kepergian
kita sama-sama jauh
bayang pun tak tumbuh
ruang cahaya pertemuan kita
hanya menggoda sementara
demi segala sepi dan luka
demi sesuatu yang harus tiba-tiba ada
setelah kepergian
semua tak bisa dijelaskan
semua harus berlangsung
dengan kesendirian
seperti dulu
ketika kita belum mengenal rindu
yogya, 2007
BURUNG-BURUNG HANYA BERKICAU
di mana-mana
burung-burung itu terbang
memasuki tubuh si mati
berkicau-kicau dalam detak jantungnya
berkicau-kicau dalam hatinya
tetapi si mati matanya tetap tak terbuka
tetapi si mati tubuhnya tetap tak bergerak
burung-burung itu hanya berkicau
berkicau semerdu-merdunya
berharap bersarang di tubuhnya
yogyakarta, 2007
MALAM LEBARAN
takbir telah dikibarkan
malaikat-malaikat serupa kembang api
dan tubuh salah tak berdaya
ingin meletus di cakrawala
demi segala dosa
tapi, biar angin mengucap maaf kita
mengetuk rumah jantung kita
yogyakarta, 2007
ENIGMA MATA
Serumpun rupa
Membatas
Sketsa bayang terlepas
Selembar cinta
Digores mata pena
Yogyakarta, 2006
ENIGMA TELINGA
Bebunyi dalam jaring-jaring
Termasuk bunyi sepi
Menyalurkan arti
Melalui pipa udara dari langit
Mengisi jasad-jasad dengan alphabet
Di antara kosa kata yang hampir sekarat;
Aku menyebutnya ayat
Yogyakarta, 2006
ENIGMA MULUT
Pahit, manis, pedas, asin, kecut
Gelombang lidah tak berpisah
Luka, duka, jahat, sombong, rendah hati
Gelombang bibir hadir:
Gua yang menitip kasih
Gua yang mengintip sedih
Yogyakarta, 2006
ENIGMA HIDUNG
Pada dua cerobong
Adam, iblis, setan, dan malaikat
Berharap masuk dan keluar;
Lubang hitam cahaya
Lubang putih gelap gulita
Sedangkan pesan udara
Lubang putih cahaya
Lubang hitam gelap gulita
Yogyakarta, 2006
ENIGMA KAKI
Kuikuti arti
Bukan tapak kaki
Mengikuti arah matahari
Dan kembali malam nanti;
Bukan mimpi atau teka-teki
Aku tahu dalam hati
Yogyakarta, 2006
ENIGMA SAJAK
Sepi kata-kata tak tertidur
Ramai kata-kata tak hilang
Meletakkan tubuhku dalam lipatan kertas
Yogyakarta, 2006
ENIGMA TANGIS
Semuanya dalam rahasia
Bening dalam bintik air
Di sana ada yang tertawa
Di sini ada yang terluka
Mungkin karena manusia
Yogyakarta, 2006
ENIGMA MATAHARI
Menjelang pagi
Ada yang tiba-tiba tumbuh
Ada yang tiba-tiba luruh;
Pesannya pada lembah
Memasuki celah tanah
Yogyakarta, 2006
ENIGMA BULAN
Menjelang malam
Ada yang mencari sebagai sepi
Ada yang mencari sebagai mimpi;
Pesannya pada petang
Memasuki celah pintu dan jendela
Yogyakarta, 2006
JALAN SUNYI
:kekasih sunyi
I.
tak kulihat jejak apalagi jarak tempuh
bagaimana bisa tahu
kalau itu kau atau aku
meski ada matahari
tak ada bayang di situ
hanya debu memedihkan mata
dari langkah kaki kita
dan di sepanjang perjalanan
kita tak punya pertanyaan untuk itu
tetapi sama-sama berseru:
—engkaulah kekasihku!—
II.
apa yang harus dirapikan dalam keheningan
dari cinta yang kupunya adalah kerdip bintang
dan goyangan bulan yang di gantung malam
sedikit dari percaya menuju cahaya
III.
aku masih ingat jika kau terlupa
jalan menuju pulang
saat tiadanya suara di telinga
dan kau tertidur lelap di dada
IV.
seseorang telah mencuri peta
dan aku si buta hanya meraba
pada cermin kelam
V.
aku hanya sisa dua cinta yang terlewatkan
di ambang pejam yang merejam
yogyakarta, 2007
DINGIN
dalam gigil
bukan kulitku yang terkelupas
tetapi putih mataku pada mata sajakmu
yogyakarta, 2007
KAU DERU AKULAH ABU
kau deru
akulah abu
mendekatkan bayang dari bayangku
dan akhirnya membatu di tubuh bisu
yogyakarta, 2007
SAJAK
ketika kutahu semuanya hanya cahaya
sebuah patung yang disisakan angin kupercaya
seperti bayangku sendiri
hanya untuk mengatakan
—inilah sajak—
yogyakarta, 2007
MENEMBUS SENYUMMU
: R
I.
kautiup penglihatanku
kutembus senyummu
kutemui sepiku yang dulu
di kedua bibirmu
sebuah kalimat tak tuntas
dalam sajak bisu
II.
bibirmu fajar
dingin menusuk
di sela-sela tanaman
di halaman depan
dan seekor burung melintas samar
aku gemetar di luar pagar
ingin menembus pintu awan
yogyakarta, 2007
SEPENGGAL NAFASKU
sepenggal nafasku tercoret di kertas itu
tiba-tiba luntur merangkai wajahmu
kucoretkan kembali bertaburkan melati
dan aku selalu sepi
yogyakarta, 2007
MEMBUAT SAJAK
kuhirup nafas dalam-dalam
kutiupkan kepadamu
kudengar irama tubuhku
mengalun merdu
yogyakarta, 2007
GELOMBANG SUBUH
ada yang memanggil dari kehilanganku
sisa nganga mimpi dan kepakmu
ada yang bertemu dari kehilanganku
duduk dan berdiri memasuki sunyi
yogyakarta, april, 2007
KATA DI LUAR PINTU
kau menulis kata di luar pintu
aku bangun dari tidurku
lalu aku buka pintu
dan tak ingin bermimpi lagi
“bacalah kata-kataku” pintamu
maka aku baca
meski itu hanya udara
karena kau lebih nyata dari makna
yogyakarta, april, 2007
JIWA YANG BERNYANYI
batu menguap ke langit
bintang berkedip
tumbuh di antaranya bunga surga
terus mekar
terus layu
seperti juga aku
yogyakarta, april, 2007
SAJAK 2
pada tubuhku
kubuka banyak pintu
pada tubuhmu
anak kecil menangis kehilangan ibu
yogyakarta, maret, 2007
SAJAK AJAL
kuserahkan apa yang memancar darimu
langit dan tanah akan tumbuh di mataku
entah, tumbuh apa saja
aku akan segera tiada
seperti gema kata
dan kertas kosong di atas meja
yogyakarta, 2007
KEPERGIAN
di ruang ini
ada satu meja
ada dua kursi
dan sekarang hanya aku
kau telah pergi dan tak kembali
meski begini
kita memang dilahirkan begini
yogyakarta, 2007