Jumat, 08 Januari 2010

AYAT-AYAT HIDUP PADA HIDUPKU YANG ANEH

Orang Tuaku:
“Sejak kecil kau jarang bisa diatur. Kau suka melakukan sesuatu yang aku tidak sukai. Kau pindah-pindah sekolah. Kau pindah-pindah kampus. Sekarang kau sudah bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Pilihlah jalanmu agar kau bisa mengerti seperti apa hidupmu ini. Kehidupan yang sebenarnya bukan yang ada di kepalamu. Ingat hormati dan hargai orang lain.”

Mas Zainal Arifin Thoha:
“Jalanmu terkadang cepat, terkadang lambat. Doakanlah kedua orang tuamu karena dengan kau mendoakannya jalanmu akan seimbang.”

Mbak Maya Oktaviani:
“Jalinlah kebersamaan di mana pun kau berada. Anggap semua orang adalah keluargamu.”

Kak Kuswaidi Syafi’ei:
“Jangan pernah memaksakan sesuatu yang berada dalam dirimu. Biarkan semuanya mengalir saja.”

Faisal Kamandobat:
“Jadilah dirimu sendiri. Jangan terlalu obsesif dan kompulsif. Dunia tidak selebar daun kelor dan sedalam gelas.”

Salman Rusydie Anwar:
“Kau seorang anak kecil yang suka bermain layang-layang. Jika putus kau mengejarnya hingga kau tersesat. Kau lurus dalam ketersesatanmu.”

Ahmad Muchlis Amrin:
“Ide ditemukan bukan dari realitas nyata saja tetapi juga realitas yang tidak nyata. Temukan semua itu dalam dirimu. Pertahankan karyamu!”

Loye:
“Aku tahu puisimu pernah dimuat di tempo dan jawa pos. Tetapi sayang kau tidak jujur kepada dirimu sendiri. Kau selalu menutup diri dengan merubah-rubah namamu atau memberi jarak terhadap orang lain, terutama perempuan. Kau takut disebut penyair. Keberanian terbuka itu harus ada. Penyair sejati harus terbuka dan jujur pada dirinya sendiri.”

Indrian Koto:
“Ah, itu hanya bayang-bayangmu saja. Tulis… tulis… Menjadi sesuatu yang bukan bayang-bayang.”

Mutia Sukma:
“Dasar orang aneh! Bagus itu puisi!”

Retno Iswandari:
“Semuanya akan selesai. Semangat. Semangat…”

Rumianti:
“Kau selalu bermain-main dengan imajinasimu hingga dunia ini terasa fiktif bagimu. Bagus. Tetapi jangan tersesat.”

Bernando J Sujibto:
“Bagus kalau kau sudah menentukan jalanmu dalam kematian. Namun, alangkah baiknya jika kau belajar ciuman dengan seorang perempuan.”

Yusriyanto Elga:
“Kegelisahan dan kegilaanmu yang akan menentukan dunia dan arah hidupmu. Maka, jangan pernah menyia-nyiakannya.”

Hilal Alifi:
“Peggat (gila) atau mati!”

Ridwan Munawar:
“Kau adalah kengerian dunia. Seperti yang kau katakan, menulis adalah sebuah ketidaknormalan. Ngeri bung!”

Dwi Cipta:
“Jika menulis puisi macet. Banyaklah membaca puisi. Aku adalah penulis yang malas.”

Farah Tamami:
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Jangan pernah takut untuk memulai.”

Muhamad Basyir:
“Hidup seperti apa pun harus dijalani seperti juga berkarya. Maka hidup dan berkaryalah selagi kau bisa.”

Muchlis Zya Aufa:
“Karya apa pun adalah perjalanan spiritual penulisnya. Teruslah menulis suatu saat kau akan menemukan apa yang kau cari atau sesuatu yang tak ingin kau cari yang benar-benar berarti bagi drimu.”

Mahfud Sayuti:
“Kau jangan berhenti menulis. Kau berbakat. Aku akan selalu membaca karya-karyamu.”

Arif Muhamad:
“Mulai dulu kau tidak pernah berhenti gelisah. Bagus itu puisi.”

Mahwi Air Tawar:
“Karya itu adalah apa yang kau rasakan dan terjadi dalam hidupmu. Jika kau takut tulilah tentang ketakutan. Pokoknya semuanya yang terjadi dalam hidupmu, tulis.”

Muhamad Ali Fakih Ar:
“Aku takut kau bunuh diri dengan kegilaanmu. Menulis puisi saja. Mungkin semuanya akan selesai.”

Muhibuddin:
“Kau manusia absurd. Super gelisah. Hidup antara nyata dan tidak nyata. Aku suka jika seperti kamu.”

Nick Rasyid:
“Kegelisahanmu selalu tidak nyata. Cobalah sekali-kali kau sentuh payudara perempuan. Jangan habiskan waktumu untuk menulis puisi. Adakalanya kau benar-benar kembali pada realitas yang nyata.”

Valentina Febriani:
“Kau lucu dan gila. Mungkin karena itu kau bisa menulis puisi.”

Fathollah Elsyaf:
“Yang tidak dipunyai teman-teman adalah kegilaanmu dalam menulis puisi. Kau gila man!”

Fajri Andika:
“Kau gila. Benar-benar gila. Makanya sering tidak nyambung dengan realitas. Mungkin begitu proses pencarian diksi untuk puisimu.”

Rocky:
“Pertama kali bertemu denganmu, satu sisi aku merasa risih karena ketawa terus, pada sisi lain aku merasa damai karena kata-katamu.”

Rahem:
“Kau orang gila yang baik hati dan tidak sombong. Jika ada orang yang mengatakan kau tidak baik dan sombong berarti mereka belum tahu logika tawa. Jelaslah mereka belum kreatif.”

Najamuddin Muhamad:
“Antara karya dan kehidupan sesuai dan sejalan. Kau jujur bukan dalam berkarya tetapi juga hidup.”

Selendang Sulaiman:
“Kau orang aneh yang muter-muter di kepalaku. Seperti aku menulis cerpen saja.”

Adikusno:
“Kau adalah sastra. Tidak usah resah kalau hanya tidak bisa nulis.”

Juma’ Darma Putra:
“Kau benar-benar peggat (gila) dan itu sastra. Jangan putus asa hanya untuk kata-kata.”

Rusdi Punk:
“Tuhan, telah menciptakanmu dengan keanehan dan kegilaan. Jadi, syukuri saja.”

Zen:
“Bang, hidupmu aneh dan penuh kegilaan. Tidak banyak orang sepertimu.”

As’adi M Samilona:
“Jika kegilaanmu mengajakmu untuk bunuh diri, mendingan jangan nulis puisi. Menulis yang lain saja, seperti cerpen, esai, atau resensi.”

M Sanusi:
“Hidupmu seperti tokoh novel atau film. Jadikan itu kekuatan untuk karya-karyamu.”

Fathor Rasyid:
“Sering kali kau ingin bunuh diri gara-gara hanya tidak bisa konsen baca buku dan tidak bisa menulis kau akan bunuh diri. Kau tahu, aku hanya tersenyum melihatmu. Sebab kau terlalu berambisi untuk bersentuhan dengan Tuhan.”

Rahmat Fajar:
“Aku suka tawamu yang menggila. Lebis puitis dari puisimu. Maka ketawalah!”

Wian:
“Aku tidak bisa mengobatimu. Menulislah mungkin itu obat penyakit jiwamu.”

Sunlie Thomas Alexander:
“Suaramu bergetar. Dahsyat.”

M Yunus BS:
“ Lanjutkan kegilaanmu. Biarkan orang tidak mengerti. Itu bukan urusanmu.”