Kamis, 23 September 2010

SUARA-SUARA YANG MENGANCAM

Semua terjadi secara tiba-tiba dan aku tak mampu lagi mengingat keseluruhan atas peristiwa yang terjadi tersebut. Kejadian itu sangat mengerikan. Sungguh mengerikan. Namun, akan aku ceritakan peristiwa itu walau tak mampu aku ceritakan semuanya dan nantinya mungkin ada yang akan menyebutku gila. Apa yang akan aku ceritakan ini adalah kenyataan yang benar-benar nyata pada waktu itu. Di mana aku sendiri adalah aku yang akan bercerita ini. Sendiri dalam diriku.

Pada malam itu aku sangat gelisah karena beberapa bulan tak mampu menulis apa yang ingin aku tulis. Sebelumnya aku membiasakan diri menulis semua yang melintas dalam pikiran dan perasaanku ke dalam bentuk puisi dan cerpen. Namun entah mengapa suara-suara itu datang mengancam ketika aku menulis puisi. Setelah itu malam dan hari-hariku begitu mencekam. Penuh serangan yang mirip peperangan. Kepalaku mulai ramai dengan ledakan.

Entah suara siapa itu aku tak mengenalnya. Pertama kali suara itu datang memulainya dengan sebuah perdebatan. Aku tak cukup referensi untuk melawannya tetapi setiap statemennya selalu aku bantah dan aku selalu menang. Semakin hari suara itu semakin bertambah banyak dan aku menghindar karena aku tak ingin mengganggu siapapun. Aku mulai tak betah lagi di kamarku sendiri. Aku pindah dari satu kamar temanku ke kamar temanku yang lain. Suara itu masih mengikuti ke manapun aku pergi dan malah mengancam akan merusak hubunnganku dengan orang yang aku kenal, teman-teman, dan sahabat-sahabatku. Dan lebih-lebih akan merusak isi kepala mereka. Aku ceritakan semua apa yang terjadi kepada beberapa teman dan sahabatku namun tak ada yang percaya. Aku selalu diburu dan tak ada yang tahu.

Malam dan hari-hariku terus berlalu tanpa ada perubahan sedikitpun. Suara-suara itu semakin gencar mengancam hingga tiba saatnya pada ujian terakhirku matakuliah filsafat nilai yang kebetulan dosennya, Robby Abror. Sebelum aku berangkat ke kampus suara-suara itu sudah ada di luar kamarku. Salah satu di antara suara tersebut menghubungi seseorang yang pernah aku beri sebuah puisi dan cerpen, Hida, untuk memfitnahku karena suara-suara itu mencurigai kalau aku dengan Hida saling jatuh cinta. Tetapi aku tak mempedulikan apa yang dilakukan oleh suara itu. Aku ambil semua keperluanku untuk berangkat ke kampus dan langsung ke tempat kakakku di Ngawi yang telah aku rencanakan sebelumnya. Dan sebelum sampai di kampus aku ke warnet terlebih dahulu untuk memberi tahu Hida melalui pesan singkat di facebooknya bahwa apa yang aku lakukan terhadapnya tak seperti apa yang dikatakan oleh suara itu.

Sesampainya di kampus aku menunggu jam masuk. Suara-suara itu mengancam-ngancam kejam. Lebih kejam dari sebelumnya. Suara-suara itu akan membunuhku secara perlahan-lahan dengan terlebih dahulu menghapus nilai-nilai matahuliah yang telah aku ambil sebelumnya. Aku mencarinya namun tak ada. Jam masuk telah tiba teman-teman sekelasku masuk dan aku sedikit terlambat karena mengejar suara-suara itu. Aku masuk ruangan dengan kegelisahan dan ketakutan. Lembar soal dam jawaban telah dibagikan. Aku pun mengisi bagian yang harus aku isi sebelumnya, seperti nama, nomor induk mahasiswa, jurusan, tanda tangan, dan nomor ujian.

“Cepat. Dia sekarang ada di ruang ujiannya. Cepat kalian ke godam. Nomor passwordnya pasti nomor induk mahasiswanya. Nomor induk mahasiswanya sudah kalian dapatkan?” kata suara yang menjagaku di pintu ruangan ujianku yang ada di lantai tiga.

“Beres bro…Kita telah mendapatkannya saat kita melihat absensinya. Dia semester ini rajin bro…Tetapi dia sekarang tak akan mampu berbuat apa-apa. Nilainya kita akan rubah menjadi D. Semuanya! Dia akan sia-sia kuliah bro…” kata suara yang lain di lantai dua.

“Cepat bro… dia akan ke lantai dua. Dia sekarang akan keluar. Lari bro…lari!” teriak suara yang ada di pintu.

Aku sangat marah, sangat marah. Bukan hanya aku yang terganggu tetapi juga semua ruangan yang ada di lantai tiga yang juga lagi ujian. Aku mencoba keluar dari ruang ujianku untuk bicara dengan mereka namun mereka tak mau. Mereka malah ketawa terbahak-bahak seraya mengejekku. Aku kejar hingga ke lantai satu mereka ada di lantai dua. Aku kejar ke lantai dua mereka ada di lantai tiga. Aku kejar ke lantai empat mereka bersembunyi dan sebagian yang lain ada di lantai dua bersiap-siap merubah nilai-nilai matakuliahku yang tersimpan di godam. Aku langsung menghubungi salah satu temanku, Acim yang ada di ruang ujian dan langsung ke lantai dua.

“Ada apa?” tanya Acim.

“Aku punya masalah. Ini serius,” jawabku.

“Masalah apa?” tanyanya lagi.

“Kamu tak usah banyak tanya. Sekarang juga kau rubah passwordku. Nilai-nilaiku akan dirubah oleh seseorang dan aku akan berjaga di sini,” aku teliti semua tempat di sekelingku yang memungkinkan mereka bersembunyi. Mereka tak ada. Passwordku telah diganti dan kita berduapun kembali ke ruang ujian.

Kita kembali pada tempat kita masing-masing. Acim meneruskan menjawab ujiannya. Dan aku terasa melayang. Aku tak mampu menjawan satupun soal ujian dari empat soal yang ada. Bukan karena aku tak tahu apa yang harus aku jawab tetapi karena kepalaku terasa berat dan tubuhku gemetar.

“Kau benar-benar kacau sekarang. Kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” kata suara yang kembali berada di pintu ruang ujianku. ”Rubahlah nilai-nilainya bro…Dia sekarang hanya mampu diam,” teriaknya kepada teman-temannya di lantai dua.

Kepalaku terasa berat. Dan aku tak peduli lagi dengan nilai-nilai matakuliahku. Aku tak peduli atas semua yang telah dan akan terjadi. Aku hanya ingin pergi menjauh dari suara-suara itu secepat-cepatnya.
***

Bis jalur tujuh sangat mudah aku dapatkan di depan kampusku. Aku langsung segera meluncur ke terminal dengan kecepatan bis yang begitu lamban. Aku sedikit tenang karena suara itu tak ada lagi. Sesampainya di terminal suara-sauara itu samar adanya. Aku duduk di tempat tunggu penumpang dengan kebingunganku. Aku berpikir bagaimana melawan dan menemukannya.

“Dia tak tahu kalau kita ada di sini. Dia melihat kita tetapi tak tahu siapa kita sebenarnya. Yang mana kita dia tak akan tahu,” suara itu berbicara pada temannya di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuannya.

Mataku menelisik di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuan mereka, memastikan siapa orang yang berbicara dan mengancam-ngancamku. Kulihat dua orang laki-laki di antara kerumunan itu, yang satu berbaju merah dan bercelana hitam dengan badan kekar dan satunya lagi merunduk di samping kanannya.

“Meski dia tahu kita ada di sini dia tak akan berbuat apa-apa. Di terminal ini semua orang adalah teman kita. Aku sudah ceritakan semuanya tentang orang yang kita kejar-kejar ini. Kalau dia menghampiri kita, kita tinggal ngebukin saja. Lalu kita seret di jalanan,” kata mereka. Dan tubuhku semakin gemetar dengan rasa takut yang entah.

Hari ini ada dua bis yang menuju ke Surabaya, bis Sumber Kencono dan Mira. Saat kedua orang itu lengah aku langsung mengnyembunyikan diri di bagian samping bis Sumber Kencono dan aku langsung pura-pura masuk biar mereka mengira aku naik bis Sumber Kencono karena kedua orang itu mampu bergerak sangat cepat sekali. Aku di dalam bis berpikir bagaimana untuk mengatasi kedua orang ini. Menghubungi teman-teman? Mereka tak ada yang percaya. Menghubungi Hida? Tak punya nomor HPnya. Semua orang telah dihasut oleh mereka. Aku bingung. Bingung. Keringatku semakin deras mengalir di seluruh tubuhku. Dan aku hanya diam.

Bis beberapa menit lagi akan berangkat. Tak disangka mereka mau naik juga ke bis yang aku ada di dalamnya. Aku dengan cepat keluar. Merunduk di antara kursi bis dengan persaan takut. Mereka masuk dan aku keluar. Sedikit ketakutanku hilang namun aku siap siaga dan hati-hati karena mereka cukup gesit penglihatannya. Aku sekarang berada dalam bis Mira. Aku sedikit lega karena mereka berada pada bis yang berbeda.

Bis yang mereka tumpangi berangkat sepuluh menit lebih awal dari bis yang aku tumpangi. Di tengah perjalan sebelum sampai Janti aku mengusap keringat yang ada di tubuhku, lalu merentangkan kedua tanganku. Kondektur mulai menanyakan kepada setiap penumpang satu-persatu ke mana tujuan mereka dan menarik ongkos sesuai tujuannya. Tiba giliranku suara itu ada lagi. Mereka ada di belakangku entah di kursi bagian mana.

“Kau mau ke mana? Kau mengira kita naik bis itu? Kau goblok! Ke manapun kau akan kita ikuti, setelah itu baru kau akan kita bunuh. Akan kita cincang-cincang tubuhmu,” kata salah satu di antara mereka kepadaku dengan geram sekali.

“Pak, kasih tahu kepada kita dia akan turun di mana?” pinta mereka kepada kondektur dan kondekturpun mengangguk.

“Mana mas?” tanya kondektur kepadaku.

“Ngawi,” aku bayar ongkosku dengan uang pas. Aku tak menghiraukan kondektur itu lagi karena mereka semakin berteriak-teriak ingin membunuhku. Kepalaku terasa ingin pecah.

“Dia ternyata mau turun di Ngawi,” kata salah satu di antara mereka.

Aku mencoba untuk bangkit dari dudukku. Aku ingin menghampiri kedua orang itu. Aku ingin melawannya sekuat yang aku bisa. Namun kepalaku sakit dan tubuhku terasa seringan kapas. Aku mengambang terbang. Tak ada lagi yang menyentuh tubuhku.

“Kau benar-benar akan kita bunuh karena kau telah menggagalkan semuanya. Ini masalah perasaan. Aku sangat mencintainya. Kau telah ceritakan semuanya kepada Hida bahwa aku yang memfitnahmu. Dia sekarang akan membenciku untuk selamanya. Goblok! Asu! Kau tahu alat apa yang kita bawa ini? Kau tak akan bisa ke mana-mana dengan alat ini selama cairan kimia itu masih ada di tubuhmu. Alat ini mampu mengetahui di mana keberadaanmu. Kita telah memasukkan cairan itu dengan menyuruh seseorang untuk menaruhnya ke dalam segelas kopi yang kau minum. Kau akan kita siksa sebelum mati!” gertaknya.

“Ternyata kau tak berkutik dengan alat ini.”

“Mau diskusi lagi? Mau melawan? Memorimu akan benar-benar rusak dengan alat ini. Coba kau ingat semua apa yang terjadi dalam hidupmu. Kau tak akan mampu untuk mengingatnya. Yang ada dipikiranmu adalah pikiranku. Apa yang kau perbuat adalah perbuatanku,” kata orang yang memegang alat itu.

“Isi kepalamu tak jelas lagi sekarang. Kau tak akan bisa membedakan yang mana pikiranmu dan mana pikiranku, yang mana pebuatanmu dan mana perbuatanku. Untuk sementara, kau akan kuat namun nanti sebelum kau kita bunuh, yang benar-benar ada hanya pikiran dan perbuatanku. Kau akan kita siksa sebelum mati,” lanjutnya.

Bis yang aku tumpangi melaju sangat cepat. Tubuhku semakin lama semakin lemas, gemetar, dan mengambang terbang. Dengan keaadaan tubuhku yang seperti itu, aku mencoba menghubungi seorang temanku, Imam, untuk minta nomor HP teman dekatnya Hida, Eta. Aku tak kuat untuk bicara. Aku beritahu semua yang terjadi melalui sms tetapi Eta tak mau ikut campur. Dia sedikit kesal dan marah.

Aku bingung. Aku takut. Apakah aku akan sampai di Ngawi tempat kakakku? Apakah ada orang yang akan menolongku dari masalah ini? Teman-temanku? Hida? Aku tak tahu. Aku hanya pasrah saja jika mereka benar-benar membunuhku. Kematian pasti akan datang menemui siapapun. Aku tahu inilah kematian yang tak sempurna. Tetapi aku berharap suatu saat nanti orang-orang yang aku kenal, teman-temanku, sahabat-sahabatku akan mengerti dan paham bahwa kematianku adalah kematian yang akan mereka hadapi juga pada waktunya.

Dan aku tak ingat apapun lagi selain apa yang aku ceritakan ini...

Yogyakarta, 2010.