Jumat, 01 Januari 2010

Spiritualitas Eksistensialisme Ahmad Wahib

“Aku belum tahu Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Nastir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Djohan, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain-lain. Dan terus terang aku tidak puas. Yang kucari belum kutemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah pembuatnya. Bagaimana? Langsung studi dari al-Quran dan as-Sunah? Akan kucoba. Tetapi orang-orang lain pun akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!.”

Keyakinan sehari-hari dalam masyarakat berpendidikan, kita telah mendengar dan menjadi perbincangan bahwa spiritualitas dan eksistensialisme merupakan hal yang berbeda. Spiritualitas adalah sebuah jangkauan kerohanian yang dilakukan oleh kaum sufi atau kaum rohaniawan yang berkecimpung dalam ilmu keagamaan. Sedangkan eksistensialisme adalah sebuah aliran kefilsafatan yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Di mana ia bebas memilih menerima dan menolak segala hal yang berada di luar dan dalam dirinya. Namun, dalam perjalanannya seperti apa yang dikatakan oleh tokoh eksistensialisme, Kierkegaar, cara manusia bereksistensi meliputi tiga sikap yaitu, estetis, etis dan religius. Nah, Wahib sebagaimana yang telah terangkum dalam keseluruhan catatan hariannya meliputi hal tersebut.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas sikap estetis dan etisnya akan tetapi pada sikap religiusnya yang mana telah melahirkan ide-ide yang sangat brilian dalam kancah pemikiran Islam Indonesia. Tema penting untuk memahami Wahib dalam konteks pemikiran Islam adalah pada sikap religiusitasnya. Penentangan Wahib terhadap agama sebenarnya bukan penentangan terhadap agama itu sendiri. Akan tetapi, penentangannya terhadap agama dalam artian sosiologis di mana agama itu hidup dan berkembang. Dan catatan kecil di atas adalah merupakan gambaran Wahib sebagai sosok esksistensialis yang mencari kebenaran spiritualnya, baik dalam nilai teoritis dan praksisnya. Mungkin ini yang saya sebut dengan spiritualitas eksistesialisme, di mana seseorang mencari kebenaran tentang keagamaannya dalam realitas sosialnya melalui pertanyaan menyangkut tentang keberadaan keberagamaan dan kediriannya.

Wahib dalam pencariannya menyangkut hal tersebut dapat dilihat dalam bagaimana ia membangun kerangka epistemologinya. Ia memahami Islam sebagai yang universal atau ideal dan kondisional. Menurutnya Islam universal atau ideal adalah Islam yang terangkum dalam keseluruhan pesan Tuhan (wahyu), sedangkan Islam kondisional adalah Islam yang berada dalam kondisi masa dan masyarakat tertentu. Dari sini, ia merumuskan beberapa rumusan yang pernah didiskusikannya dengan kelompok diskusinya di rumah Dawam Raharjo. Pertama, tidak mengidentikkan Islam dengan al-Quran. Kedua, al-Quran adalah abstrak. Ketiga, al-Quran adalah wajah Islam terbaik untuk zamannya. Keempat, sumber memahami Islam adalah sejarah Muhammad.

Dari konsepnya di atas banyak orang mengatakan bahwa konsepnya tersebut adalah merupakan pembaruan Islam di Indonesia karena ia beruhasa untuk merombak, menyegarkan, dan memperbaharuhi pemikiran Islam di Indonesia. Dan Greg Barton yang dalam bukunya telah mengklasifikasikan beberapa pemikir neo-modernisme di Indonesia, yang salah satunya adalah Wahib. Bahkan sebagian pakar ada yang menyetarakannya dengan Muhammad Iqbal dan Muhammad Abduh.

Namun, bagi saya apa yang dilakukan oleh Wahib adalah sebuah langkah penyelesaian seorang manusia dalam mencari kebenaran yang absolut dengan potensinya yaitu, berpikir. Seperti apa yang dikatakan oleh Gabriel Marcel bahwa kebenaran sebagai sebuah nilai hanya ada pada sebuah layar dalam akal untuk memasuki dunia transenden. Ini telah dilakukan oleh Wahib, yang dimulainya dengan pemikiran absurdnya serupa dengan tokoh yang diciptakan oleh Albert Camus, Meursault dalam novelnya “Orang Asing”, yang segalanya dipertanyakan. Sedikit berbeda dengan Albert Camus, Wahib tidak mempertanyakan Tuhan, ia mempertanyakan apa yang diciptakan oleh Tuhan dalam lingkup kemanusiaan dengan jalan memberikan sebuah celah pemikiran demi berkembangnya spiritual dan eksistensinya. Mungkin dari situ apa yang dilakukan oleh Wahib pantas saya sebut spritualitas eksistensialisme dari seorang manusia. Wassalam!