KAU YANG SAJAK
jika kudengarkan musik
kau akan menari
jika kudengarkan kau dibaca
kau akan berteriak
kau memegangku dengan tangan hangatmu
kau tiupkan nafasmu ke dalam diriku
aku tak berdaya
aku hanya menari dan menulismu dalam jiwa
tarian dan tulisan fana
yang tak mengenal apa pun saja
sefana dunia dan isinya
aku seakan berada dalam sebuah lingkaran
yang tak punya titik dan garis
titik memulai dan berhenti
garis jalan dan sampai
aku hanya berputar-putar serupa kincir angin
kadang serupa badai yang menghantam
gunung-gunung
atau serupa perahu yang oleng di tengah lautan
aku pergi dari satu tempat ke tempat lain
orang orang melihatku heran
aku berbicara kepadamu
kau berbicara kepadaku
dan tak merasakan yang lain
benarkah ini adalah dunia
dan aku telah gila?
aku ada di mana dan untuk siapa?
aku tak tahu
hanya kau yang ada
kau yang sajak
ini bukan hidupku
ini adalah hidupmu
sungguh aku tak berdaya
ingin rasanya aku meninggalkanmu sejauh-sejauhnya
pada sebuah tempat yang tak seoarang pun tahu
agar aku tak mampu lagi merindu
ingin rasanya aku hidup tanpa musik dan kata-kata
di sebuah tempat yang tak ada satu pun makhluk hidup
agar aku tak mampu lagi menyinta
ingin rasanya aku tak mempunyai indera
agar aku tak merasakan segala yang ada
namun kau selalu di hatiku
kau masih selalu mencintaiku
kau masih selalu menjagaku
membawaku berlari
membawaku terbang tinggi
kau yang sajak
aku tak seperti biasanya lagi menulismu
sebagai diriku
aku tak cukup untukmu
aku hanya menari dan menulismu dalam jiwa
mungkin orang akan melihatku benar-benar gila
karena yang terdalam dari diriku
adalah kau yang sajak
yang tak sekadar kata dan bahasa
yang tak sekadar tubuh dan jiwa
kau di atas kepalaku
kau di bawah kakiku
dan siapa yang tahu?
tak ada
sekarang berikanlah sayapmu
agar kau menghampiri yang kau cinta
menghampiri yang meminta
aku tak ingin menjadi sajak
aku ingin menjadi manusia
kau yang sajak
sungguh luar biasa
aku tak berdaya
yogyakarta, 2010
HARI YANG SEMPURNA
siapa yang tahu bahwa hariku akan tiba
maka berbahagialah kekasihku
atas waktu yang telah ditentukan kepadaku
hari itu adalah hari terakhir kau memberiku bunga
setelah sekian lama kau memanjakanku dengan bunga-bunga
pada hari itu pula kau akan sadar bahwa aku telah tua
dan cukup menjalani nasib takdirnya
kau harus menjaga cintaku kepada anak dan cucu
karena cinta bukan hanya ada di hatiku
dan milik kita berdua
tubuhku yang tak bergerak lagi akan wangi melati
ciumlah bunga itu ditubuhku
sebelum aku menyatu dengan matahari
dan jalanilah hidupmu dengan cinta
sebagaimana kita telah menjalaninya
hari itu adalah hari yang sempurna
janganlah mengatakan selamat jalan kekasihku
cinta itu ada pada setiap manusia
yogyakarta, 2010
TERBANG BEBAS
tak ada kekalahan atau kemenangan dalam hidupku
aku akan terbang dan tetap terbang
seperti rajawali yang mengepakkan sayapnya
menjulang tinggi di agkasa
menukik ke bumi setiap waktu
tanpa saling memangsa atau dimangsa
kekalahan atau kemenanganku adalah kebebasan
kuberikan sayap dan mataku
kusediakan bagi yang ingin bebas
agar terbang bebas di atasku
langit dan bumi tak pernah berbeda
awan, tanah dan batu mempunyai
bahagia dan derita yang sama
maka jangan pernah gentar untuk melawan
jangan pernah takut untuk ditawan
jangan pernah padam atas semua cengkaraman
sebab tak ada yang abadi selain keyakinan
kebebasan
oh, kebebasan
kuberikan padamu
kuberikan pada kalian
kuberikan pada mereka
kuberikan dari jiwaku yang terdalam
kebebasan
oh, kebebasan
terbang bebaslah
dari dalam jiwa menuju jiwa yang tak terbatas
waktu melawan suara-suara, 2009
Dalam kehidupan, kematian yang tak sempurna adalah karya besar yang jarang orang menemukannya. Sebuah keheningan yang terdalam dari hati seorang manusia.
Senin, 18 Oktober 2010
Sajak Ala Roa
CORETAN YANG BERSAYAP
1.
bayang-bayang adalah kesunyian yang utuh
kesunyian yang menari nari dalam diriku
keutuhan garis garis angin yang disuarakan
jiwa yang jauh
bawalah ke manapun yang kau mau
genggamlah erat hingga aku milikmu
karena dia adalah nafasku
yang itu adalah wajahmu
2.
waktu dan gelap menyatu
menyatu dalam diriku
dalam cinta yang satu
dalam dirimu adalah aku
aku tak menemukan angka
menemukan aku pada dirimu
aku tak menemukan cahaya
menemukan aku pada keindahanmu
namun
di sini bukan waktu dan gelap yang menyatu
di sini adalah langkah langkahmu
langkah langkah aku manusia debu
kau yang satu
memisahkan waktu
memisahkan gelap
di dadaku
hanya padamu
3.
pada sepi ini aku tak punya apa-apa
kata-kata menghilang
bahasa sirna
dan pada sepi ini aku menulismu
sebagai suara
sebagai kata dan bahasa
sebagai sebatang tinta yang merona
4.
aku masih menulismu
menulis jari-jari waktu
jari jariku yang mengusap
gemetar getar tubuhku
dan tak ada yang bisa melarangku
mataku akan menjadi batu jika menatapmu
maka tak ada yang bisa melarangku
aku masih menulismu
menulis jari jari tubuhku
5.
jika cinta itu ada
ajarilah aku mencintai
mengajariku yang tak sekadar bunga
melebihi tubuhku sendiri
yang menguap dari hati
jika tak ada
biarlah aku meredamnya
membiarkanku yang tak sekadar api
melebihi dunia dan isinya
yang retas dari yang tak terbatas
6.
meski kau terasa dekat dan jauh
meski kau terasa ada dan tiada
meski kau tak menyimpanku pada segala sesuatu
kusisakan ruang dalam doa untukmu
ruang yang tak dimiliki siapapun
doa yang tak dipanjatkan siapapun
agar suatu saat kita benar-benar nyata melebihi
kata dalam ruang doa yang kusemayamkan
7.
dalam diriku kau kupahami
bukan sekadar darah
hingga menyatu dengan udara
yang menghangatkan tumbuhan dan buah
sampaikan salamku ke jauh dalam dirimu
sebab aku tak ingin mencintai apa yang berada di luar dirimu
8.
pada akhirnya rasa ini dan rasa itu akan lenyap
menjadi debu kemudian membatu
kita tak akan saling mencari lagi
apalagi bermimpi
kita akan abadi di sana
di sebuah tempat yang abadi pula
yang tak pernah diinginkan tubuh kita
9.
aku di matamu adalah patung
begitu pula kau di mataku menjadi patung
:cahaya patung cahaya
di atas cahaya
tak ada namun ada
maka jangan katakan kepada siapa pun
karena kita sama-sama memiliki
sesuatu yang sangat berharga
selain yang kita pegang
10.
kau melebihi kenyataan
melebihi kesempurnaanku
melebihi angin yang aku peluk
hingga ke lubuk
dan yang sangat berarti dari hidup
adalah memahamimu dalam sunyiku
dalam rabaanku kepadamu
11.
apa yang orang katakan tentang kita adalah puisi
maka bahagialah dalam diam
atau tulis saja di saat mata terpejam
kita akan tahu bahwa cinta melebihi yang kita tahu
12.
jika kau di sana
jika aku di sini
jarak tak akan memisahkan
karena kita berasal dari sesuatu yang sangat dalam
13.
asing
sungguh aku sangat terasing
bila tak ada kata
pada keindahan dan kesempurnaan
pada yang tak cukup aku kecup
14.
hanya sebuah kemungkinan
kita akan benar-benar tiada dalam cinta
maka meresaplah dirimu kepada diriku
dan peluklah jiwaku
15.
kutemukan pada sesuatu yang terbakar
cahaya yang menetes adalah darah
dan malam pun mengerang
serupa kelelawar yang mencarimu
ke dekapan rindu
16.
jika kau tahu
inilah bungaku
maut yang tumbuh di tubuhku
jangan mendekat
jangan menjauh
karena wanginya akan abadi seperti dirimu
17.
mungkin kau tak mengerti
bahwa jalanku adalah cinta
penuh gelap dan cahaya
penuh bahagia dan luka
beginilah semestinya
18.
dalam pemburuanku
ini bukan rindu
ini pantai yang sepi dengan ombaknya sendiri
dan aku adalah milikmu
19.
asing
aku asing sendiri pada diriku yang terdalam
pada dirimu yang selalu datang dengan kejutan
20.
matahari adalah api yang membakar tubuhku
ajarilah aku bersabar di jalannya
sebelum benar-benar musnah terbakar
demi segala resah dan gelisah
demi segala rindu dan cinta
sebab aku tak berdaya
dan ini sungguh luar biasa
21.
pagi ini aku tahu kau menungguku
di sebuah tempat yang kau menyukainya
mungkin pada tetumbuhan dan bunga-bunga
atau pada kata dan darah yang aku goreskan
karena kau telah menjagaku pada pintu nafasku
setiap waktu
setiap ruang gerakku
22.
setiap kau diam adalah kepergian
itulah jalan bayang-bayang
berakhir dengan terang di mataku
dan kau adalah milikku
23.
pagi ini tak ada kata yang dapat aku kirimkan kepadamu
karena apapun yang aku tulis adalah hatiku
24.
aku tertawa
selalu tertawa
dan jika aku menangis dalam kata
itu bukan kesedihan
karena kau begitu menawan
25.
aku tak tahu ke mana harus mencarimu
pada puisiku aku menulis air mata
kau tak bisa merabanya
kau tak bisa menyentuhnya
dan jika kau membacanya
mungkin hanya air mata
26.
malam ini aku terapung-apung
tidak merasakan apapun
gelapnya malam bukan apa-apa
dan aku tak menginginkannya
tetapi semuanya adalah dirimu
aku akan setia dalam dirimu
27.
aku tak bisa berpura-pura
bayanganmu melebihi bayanganku
kau sempurna tanpa sinar dan cahaya
28.
mendung menyelimuti
hujan tak akan menghindar lagi
aku pun begitu kepadamu
29.
mungkin ini adalah kematian
mungkin ini adalah kehidupan
tubuhku adalah darahmu
30.
kata-kata pada tanganku
akan menjadi matahari dalam diriku
sebab segalanya adalah dirimu
yogyakarta, 2010
1.
bayang-bayang adalah kesunyian yang utuh
kesunyian yang menari nari dalam diriku
keutuhan garis garis angin yang disuarakan
jiwa yang jauh
bawalah ke manapun yang kau mau
genggamlah erat hingga aku milikmu
karena dia adalah nafasku
yang itu adalah wajahmu
2.
waktu dan gelap menyatu
menyatu dalam diriku
dalam cinta yang satu
dalam dirimu adalah aku
aku tak menemukan angka
menemukan aku pada dirimu
aku tak menemukan cahaya
menemukan aku pada keindahanmu
namun
di sini bukan waktu dan gelap yang menyatu
di sini adalah langkah langkahmu
langkah langkah aku manusia debu
kau yang satu
memisahkan waktu
memisahkan gelap
di dadaku
hanya padamu
3.
pada sepi ini aku tak punya apa-apa
kata-kata menghilang
bahasa sirna
dan pada sepi ini aku menulismu
sebagai suara
sebagai kata dan bahasa
sebagai sebatang tinta yang merona
4.
aku masih menulismu
menulis jari-jari waktu
jari jariku yang mengusap
gemetar getar tubuhku
dan tak ada yang bisa melarangku
mataku akan menjadi batu jika menatapmu
maka tak ada yang bisa melarangku
aku masih menulismu
menulis jari jari tubuhku
5.
jika cinta itu ada
ajarilah aku mencintai
mengajariku yang tak sekadar bunga
melebihi tubuhku sendiri
yang menguap dari hati
jika tak ada
biarlah aku meredamnya
membiarkanku yang tak sekadar api
melebihi dunia dan isinya
yang retas dari yang tak terbatas
6.
meski kau terasa dekat dan jauh
meski kau terasa ada dan tiada
meski kau tak menyimpanku pada segala sesuatu
kusisakan ruang dalam doa untukmu
ruang yang tak dimiliki siapapun
doa yang tak dipanjatkan siapapun
agar suatu saat kita benar-benar nyata melebihi
kata dalam ruang doa yang kusemayamkan
7.
dalam diriku kau kupahami
bukan sekadar darah
hingga menyatu dengan udara
yang menghangatkan tumbuhan dan buah
sampaikan salamku ke jauh dalam dirimu
sebab aku tak ingin mencintai apa yang berada di luar dirimu
8.
pada akhirnya rasa ini dan rasa itu akan lenyap
menjadi debu kemudian membatu
kita tak akan saling mencari lagi
apalagi bermimpi
kita akan abadi di sana
di sebuah tempat yang abadi pula
yang tak pernah diinginkan tubuh kita
9.
aku di matamu adalah patung
begitu pula kau di mataku menjadi patung
:cahaya patung cahaya
di atas cahaya
tak ada namun ada
maka jangan katakan kepada siapa pun
karena kita sama-sama memiliki
sesuatu yang sangat berharga
selain yang kita pegang
10.
kau melebihi kenyataan
melebihi kesempurnaanku
melebihi angin yang aku peluk
hingga ke lubuk
dan yang sangat berarti dari hidup
adalah memahamimu dalam sunyiku
dalam rabaanku kepadamu
11.
apa yang orang katakan tentang kita adalah puisi
maka bahagialah dalam diam
atau tulis saja di saat mata terpejam
kita akan tahu bahwa cinta melebihi yang kita tahu
12.
jika kau di sana
jika aku di sini
jarak tak akan memisahkan
karena kita berasal dari sesuatu yang sangat dalam
13.
asing
sungguh aku sangat terasing
bila tak ada kata
pada keindahan dan kesempurnaan
pada yang tak cukup aku kecup
14.
hanya sebuah kemungkinan
kita akan benar-benar tiada dalam cinta
maka meresaplah dirimu kepada diriku
dan peluklah jiwaku
15.
kutemukan pada sesuatu yang terbakar
cahaya yang menetes adalah darah
dan malam pun mengerang
serupa kelelawar yang mencarimu
ke dekapan rindu
16.
jika kau tahu
inilah bungaku
maut yang tumbuh di tubuhku
jangan mendekat
jangan menjauh
karena wanginya akan abadi seperti dirimu
17.
mungkin kau tak mengerti
bahwa jalanku adalah cinta
penuh gelap dan cahaya
penuh bahagia dan luka
beginilah semestinya
18.
dalam pemburuanku
ini bukan rindu
ini pantai yang sepi dengan ombaknya sendiri
dan aku adalah milikmu
19.
asing
aku asing sendiri pada diriku yang terdalam
pada dirimu yang selalu datang dengan kejutan
20.
matahari adalah api yang membakar tubuhku
ajarilah aku bersabar di jalannya
sebelum benar-benar musnah terbakar
demi segala resah dan gelisah
demi segala rindu dan cinta
sebab aku tak berdaya
dan ini sungguh luar biasa
21.
pagi ini aku tahu kau menungguku
di sebuah tempat yang kau menyukainya
mungkin pada tetumbuhan dan bunga-bunga
atau pada kata dan darah yang aku goreskan
karena kau telah menjagaku pada pintu nafasku
setiap waktu
setiap ruang gerakku
22.
setiap kau diam adalah kepergian
itulah jalan bayang-bayang
berakhir dengan terang di mataku
dan kau adalah milikku
23.
pagi ini tak ada kata yang dapat aku kirimkan kepadamu
karena apapun yang aku tulis adalah hatiku
24.
aku tertawa
selalu tertawa
dan jika aku menangis dalam kata
itu bukan kesedihan
karena kau begitu menawan
25.
aku tak tahu ke mana harus mencarimu
pada puisiku aku menulis air mata
kau tak bisa merabanya
kau tak bisa menyentuhnya
dan jika kau membacanya
mungkin hanya air mata
26.
malam ini aku terapung-apung
tidak merasakan apapun
gelapnya malam bukan apa-apa
dan aku tak menginginkannya
tetapi semuanya adalah dirimu
aku akan setia dalam dirimu
27.
aku tak bisa berpura-pura
bayanganmu melebihi bayanganku
kau sempurna tanpa sinar dan cahaya
28.
mendung menyelimuti
hujan tak akan menghindar lagi
aku pun begitu kepadamu
29.
mungkin ini adalah kematian
mungkin ini adalah kehidupan
tubuhku adalah darahmu
30.
kata-kata pada tanganku
akan menjadi matahari dalam diriku
sebab segalanya adalah dirimu
yogyakarta, 2010
Minggu, 03 Oktober 2010
Sajak Gabriela Mistral
AKU TAK SENDIRI
By: Gabriela Mistral
Malam adalah ia yang ditinggalkan
Dari gunung-gunung ke lautan
Tetapi aku, seseorang yang teguh kepadamu
Aku tak sendiri!
Langit adalah ia yang ditinggalkan
Untuk rembulan yang jatuh ke lautan
Tetapi aku, seseorang yang memegangmu
Aku tak sendiri!
Dunia adalah ia yang ditinggalkan
Segala daging adalah kesedihan yang kau lihat
Tetapi aku, seseorang yang memelukmu
Aku tak sendiri!
-----diterjemahkan dari "I am Not Alone!"
By: Gabriela Mistral
Malam adalah ia yang ditinggalkan
Dari gunung-gunung ke lautan
Tetapi aku, seseorang yang teguh kepadamu
Aku tak sendiri!
Langit adalah ia yang ditinggalkan
Untuk rembulan yang jatuh ke lautan
Tetapi aku, seseorang yang memegangmu
Aku tak sendiri!
Dunia adalah ia yang ditinggalkan
Segala daging adalah kesedihan yang kau lihat
Tetapi aku, seseorang yang memelukmu
Aku tak sendiri!
-----diterjemahkan dari "I am Not Alone!"
Sajak Orhan Veli Kanik
TAK BISA AKU JELASKAN
By: Orhan Veli Kanik
jika aku menangis
bisakah kau mendengar suaraku dalam puisi-puisiku,
bisakah kau menyentuh air mata-air mataku dengan tanganmu?
sebelum aku merasa
memangsa kesedihan ini
aku tidak pernah tahu lagu-lagu yang begitu memikat
dan kata-kata yang begitu sejuk
aku tahu ada sebuah tempat
di mana kau bisa memanggil tentang segala sesuatu
aku merasa aku menutup tempat itu,
aku belum bisa menjelaskan
-----diterjemakan dari "I Can’t Explain"
By: Orhan Veli Kanik
jika aku menangis
bisakah kau mendengar suaraku dalam puisi-puisiku,
bisakah kau menyentuh air mata-air mataku dengan tanganmu?
sebelum aku merasa
memangsa kesedihan ini
aku tidak pernah tahu lagu-lagu yang begitu memikat
dan kata-kata yang begitu sejuk
aku tahu ada sebuah tempat
di mana kau bisa memanggil tentang segala sesuatu
aku merasa aku menutup tempat itu,
aku belum bisa menjelaskan
-----diterjemakan dari "I Can’t Explain"
Kamis, 23 September 2010
KEPADA WOOLF
di sini adalah maut yang sama. mautku akan datang sendiri tanpa aku harus memintanya. mautku akan datang dan aku akan merasa bahagia. aku tak ingin menjadi maut untuk hidup dan diriku sendiri. biarlah kau menjadi maut untuk hidup dan dirimu sendiri. hidupku masih panjang dan aku tak akan menganggap dan mengatakannya selesai....
Woolf, Penulis 'Gila', dan Kreativitas
Banyak studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan kejiwaan.
Jumat, 7 Februari 1941. Virginia Woolf menulis di buku hariannya (belakangan dikumpulkan dalam A Writer's Diary): "Mengapa aku tertekan? Aku tak bisa mengingat...."
Hampir dua bulan sesudahnya, pada 28 Maret, penulis Inggris yang dianggap sebagai sosok terkemuka dalam sastra modern abad ke-20 itu menjejali saku bajunya dengan batu lalu menenggelamkan diri di Sungai Ouse di dekat rumahnya di Rodmell, Inggris.
Tak ada orang lain yang tahu. Ia tak tertolong. Woolf meninggalkan surat buat suaminya, Leonard, tentang keputusan nekatnya di usia 59 tahun itu: "Aku merasa pasti bahwa aku akan gila lagi: Aku merasa kita tak akan bisa melalui masa-masa buruk itu lagi.
Dan aku tak akan pulih lagi kali ini. Aku mulai mendengar suara-suara, dan sulit berkonsentrasi. Jadi aku melakukan apa yang kelihatannya paling baik aku lakukan. Kau telah memberiku kebahagiaan terbesar yang paling mungkin...."
Dua dasawarsa kemudian di belahan bumi lain, persisnya di Ketchum, Idaho, Amerika Serikat, Ernest Hemingway meledakkan pistol di kepalanya. Pagi itu, 2 Juli 1961, di usia 61 tahun, penulis beberapa novel yang kini dianggap klasik dalam kanon kesusastraan Amerika Serikat ini menambah deretan anggota keluarganya yang mengakhiri hidupnya sendiri -- termasuk ayahnya, Clarence Hemingway, dan dua saudara kandungnya, Ursula dan Leicester.
Dalam masa setahun terakhir sebelum kematiannya, Hemingway mengidap paranoia parah. Penerima Nobel bidang Sastra (1954) ini takut agen-agen Biro Penyelidik Federal (FBI) akan memburunya bila Kuba berpaling ke Rusia, bahwa Federal Reserve (bank sentral) akan memeriksa rekeningnya, dan bahwa mereka ingin menahannya karena imoralitas dan membawa- bawa minuman keras.
Dia sempat menjalani ECT (electroconvulsive therapy), satu cara perawatan untuk penderita penyakit mental berat, yang belakangan dia tuding sebagai penyebab paranoia pada dirinya. Woolf dan Hemingway sesungguhnya hanya bagian kecil dari sejarah yang mencatat riwayat penulis-penulis genius yang terus-menerus bergulat dengan gangguan mental.
Masuk dalam daftar panjang yang ada (sebagian berdasarkan dugaan) antara lain Edgar Allan Poe, Charles Dickens, Johann Goethe, dan Leo Tolstoy. Dibandingkan dengan yang lain, perjalanan hidup Woolf dan Hemingway tergolong yang berakhir dramatis -- mereka memilih bunuh diri untuk menghentikan penderitaan selamanya.
Mereka itu adalah orangorang kreatif yang sama-sama menderita bipolar disorder atau yang dikenal sebagai penyakit mania-depresi (manic-depression). Inilah penyakit yang mempengaruhi pikiran, perasaan, persepsi, dan perilaku...
bahkan bagaimana seseorang merasakan secara fisik (dikenal secara klinis sebagai psychosomatic presentation). Diduga penyebabnya adalah unsur-unsur elektrik dan kimia di otak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan biasanya ditemukan pada orang dari keluarga yang punya riwayat penyakit mental.
Paling sering seorang penderita mania-depresi mengalami suasana hati (mood) yang berganti-ganti dari keadaan tinggike keadaan rendah dan kembali lagi, dengan derajat penderitaan yang bervariasi. Dua kutub bipolar disorder adalah mania dan depresi.
Keduanya adalah wujud paling sederhana dari penyakit ini. Woolf boleh dibilang contoh yang alami dan meyakinkan, terutama karena pada masanya perawatan secara khusus belum ada dan kebetulan catatan kondisi kesehatannya didokumentasikan dengan baik.
Ditambah buku hariannya sendiri, orang lalu bisa memperoleh gambaran tentang saat-saat ketika ia benar-benar limbung dan ketika enyakit-penyakit remehnya datang, bunuh dirinya, kepribadiannya, dan riwayat seksual dan keluarganya.
Dari buku hariannya, ia bukan saja mengatakan bahwa ia mengalami depresi, tapi juga akan "gila" lagi, dan mulai mendengar suara-suara. Ia tak bisa berkonsentrasi dan yakin ia tak bisa membaca atau menulis. Ia putus asa, merasa tak akan sembuh, dan berkeras bahwa keputusannya untuk mengakhiri hidupnya sendiri -- sebuah tindakan yang terencana dan dari tekad yang kuat (bukan impulsif) -- sangat beralasan.
Woolf, yang berasal dari keluarga dengan banyak penderita depresi, pertama kali mengalami gangguan kejiwaan parah pada usia 13 tahun. Sesudah itu ia beberapa kali mengalaminya lagi, pada usia 22, 28, 30 tahun. Antara 1913 dan 1915, dari usia 31 hingga 33 tahun, ia kerap sakit dan untuk waktu yang lama sampai ada kekhawatiran kegilaannya permanen.
Serangan-serangan ini membutuhkan perawatan medis berminggu-minggu, mengharuskannya istirahat total. Sepanjang sisa masa hidupnya ia mengalami perubahan suasana hati yang tak sampai ekstrem. Masa kanak-kanak Woolf memang tidak bahagia. Tapi para ahli berpendapat, kecil kemungkinan ada hubungan antara masa itu dan penyakit mania-depresinya.
Mereka lebih menduga riwayat keluarganya dan faktor genetis yang berperan. Apa pun, Woolf, Hemingway, Tolstoy, Poe, Dickens, dan lainlain adalah contoh gamblang betapa penyakit mania-depresi atau bipolar disorder lazim di kalangan penulis. Soal ini banyak terdapat dalam berbagai studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan psikiatris.
Malah kreativitas ini tak selalu berarti sastra. Lewat studi selama 10 tahuh, Arnold M. Ludwig, peneliti Pusat Medis di University of Kentucky, menemukan antara 59-77 persen artis, penulis, dan musisi menderita penyakit mental (khususnya gangguan suasana hati) dibandingkan dengan hanya 18- 29 persen di kalangan profesional nonartis.
Dalam studi-studi yang ada sesudahnya, Woolf, seperti halnya para penulis lain yang dijadikan contoh, diketahui menghasilkan hanya sedikit karya atau malah nihil sama sekali sewaktu sakit, tapi justru produktif ketika mengalami serangan. Analisis Woolf sendiri mengenai kreativitasnya memperlihatkan bahwa penyakitnya -- periode-periode mania atau hipomania sesudahnya -- adalah sumber bahan untuk novel-novelnya.
Meski begitu, sebagaimana dikemukakan Kay Redfield Jamison, profesor psikiatri Sekolah Kedokteran di Johns Hopkins University, tidak berarti bisa disimpulkan bahwa orangorang kreatif ditakdirkan menjadi penderita depresi atau bahwa penyakit mental membuat orang lebih kreatif.
Dalam buku berjudul Touched With Fire: Manic Depressive Illness and the Artistic Temperament, Jamison menegaskan betapa mayoritas penderita depresi dan bipolar disorder sama sekali tak punya daya imajinasi yang luar biasa.
"Menganggap penyakit seperti itu biasanya menimbulkan bakat artistik secara keliru memperkuat pandangan serampangan tentang 'genius gila'," katanya. Jadi, mengapa persentase orang-orang kreatif yang menderita depresi dan bipolar disorder begitu tinggi? Apakah penyakit ini meningkatkan kreativitas pada orang-orang tertentu atau apakah karakteristik pikiran kreatif menambah kerentanan terhadap penyakit ini?
Tidak ada jawaban yang pasti. Teorinyalah yang banyak. Faktor dominan yang dikemukakan dalam teori-teori itu adalah emosi dan perilaku yang paralel dengan proses kreatif. Baik pada tahap mania maupun tahap depresi, keduanya -- antara lain berpikir orisinal, produktivitas yang meningkat, fokus, kemampuan bekerja keras dengan waktu tidur terbatas, introspeksi, dan penderitaan yang mendalam -- berperan meningkatkan kreativitas, dan memberinya kedalaman dan makna.
Barangkali karena itulah bahkan Woolf pun mengapresiasinya. Dalam surat kepada seorang temannya, ia menulis: "Sebagai pengalaman, kegilaan itu sangat menyenangkan, saya bisa jamin, dan bukan untuk dicibir."
----------dari Koran Tempo
Jumat, 7 Februari 1941. Virginia Woolf menulis di buku hariannya (belakangan dikumpulkan dalam A Writer's Diary): "Mengapa aku tertekan? Aku tak bisa mengingat...."
Hampir dua bulan sesudahnya, pada 28 Maret, penulis Inggris yang dianggap sebagai sosok terkemuka dalam sastra modern abad ke-20 itu menjejali saku bajunya dengan batu lalu menenggelamkan diri di Sungai Ouse di dekat rumahnya di Rodmell, Inggris.
Tak ada orang lain yang tahu. Ia tak tertolong. Woolf meninggalkan surat buat suaminya, Leonard, tentang keputusan nekatnya di usia 59 tahun itu: "Aku merasa pasti bahwa aku akan gila lagi: Aku merasa kita tak akan bisa melalui masa-masa buruk itu lagi.
Dan aku tak akan pulih lagi kali ini. Aku mulai mendengar suara-suara, dan sulit berkonsentrasi. Jadi aku melakukan apa yang kelihatannya paling baik aku lakukan. Kau telah memberiku kebahagiaan terbesar yang paling mungkin...."
Dua dasawarsa kemudian di belahan bumi lain, persisnya di Ketchum, Idaho, Amerika Serikat, Ernest Hemingway meledakkan pistol di kepalanya. Pagi itu, 2 Juli 1961, di usia 61 tahun, penulis beberapa novel yang kini dianggap klasik dalam kanon kesusastraan Amerika Serikat ini menambah deretan anggota keluarganya yang mengakhiri hidupnya sendiri -- termasuk ayahnya, Clarence Hemingway, dan dua saudara kandungnya, Ursula dan Leicester.
Dalam masa setahun terakhir sebelum kematiannya, Hemingway mengidap paranoia parah. Penerima Nobel bidang Sastra (1954) ini takut agen-agen Biro Penyelidik Federal (FBI) akan memburunya bila Kuba berpaling ke Rusia, bahwa Federal Reserve (bank sentral) akan memeriksa rekeningnya, dan bahwa mereka ingin menahannya karena imoralitas dan membawa- bawa minuman keras.
Dia sempat menjalani ECT (electroconvulsive therapy), satu cara perawatan untuk penderita penyakit mental berat, yang belakangan dia tuding sebagai penyebab paranoia pada dirinya. Woolf dan Hemingway sesungguhnya hanya bagian kecil dari sejarah yang mencatat riwayat penulis-penulis genius yang terus-menerus bergulat dengan gangguan mental.
Masuk dalam daftar panjang yang ada (sebagian berdasarkan dugaan) antara lain Edgar Allan Poe, Charles Dickens, Johann Goethe, dan Leo Tolstoy. Dibandingkan dengan yang lain, perjalanan hidup Woolf dan Hemingway tergolong yang berakhir dramatis -- mereka memilih bunuh diri untuk menghentikan penderitaan selamanya.
Mereka itu adalah orangorang kreatif yang sama-sama menderita bipolar disorder atau yang dikenal sebagai penyakit mania-depresi (manic-depression). Inilah penyakit yang mempengaruhi pikiran, perasaan, persepsi, dan perilaku...
bahkan bagaimana seseorang merasakan secara fisik (dikenal secara klinis sebagai psychosomatic presentation). Diduga penyebabnya adalah unsur-unsur elektrik dan kimia di otak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan biasanya ditemukan pada orang dari keluarga yang punya riwayat penyakit mental.
Paling sering seorang penderita mania-depresi mengalami suasana hati (mood) yang berganti-ganti dari keadaan tinggike keadaan rendah dan kembali lagi, dengan derajat penderitaan yang bervariasi. Dua kutub bipolar disorder adalah mania dan depresi.
Keduanya adalah wujud paling sederhana dari penyakit ini. Woolf boleh dibilang contoh yang alami dan meyakinkan, terutama karena pada masanya perawatan secara khusus belum ada dan kebetulan catatan kondisi kesehatannya didokumentasikan dengan baik.
Ditambah buku hariannya sendiri, orang lalu bisa memperoleh gambaran tentang saat-saat ketika ia benar-benar limbung dan ketika enyakit-penyakit remehnya datang, bunuh dirinya, kepribadiannya, dan riwayat seksual dan keluarganya.
Dari buku hariannya, ia bukan saja mengatakan bahwa ia mengalami depresi, tapi juga akan "gila" lagi, dan mulai mendengar suara-suara. Ia tak bisa berkonsentrasi dan yakin ia tak bisa membaca atau menulis. Ia putus asa, merasa tak akan sembuh, dan berkeras bahwa keputusannya untuk mengakhiri hidupnya sendiri -- sebuah tindakan yang terencana dan dari tekad yang kuat (bukan impulsif) -- sangat beralasan.
Woolf, yang berasal dari keluarga dengan banyak penderita depresi, pertama kali mengalami gangguan kejiwaan parah pada usia 13 tahun. Sesudah itu ia beberapa kali mengalaminya lagi, pada usia 22, 28, 30 tahun. Antara 1913 dan 1915, dari usia 31 hingga 33 tahun, ia kerap sakit dan untuk waktu yang lama sampai ada kekhawatiran kegilaannya permanen.
Serangan-serangan ini membutuhkan perawatan medis berminggu-minggu, mengharuskannya istirahat total. Sepanjang sisa masa hidupnya ia mengalami perubahan suasana hati yang tak sampai ekstrem. Masa kanak-kanak Woolf memang tidak bahagia. Tapi para ahli berpendapat, kecil kemungkinan ada hubungan antara masa itu dan penyakit mania-depresinya.
Mereka lebih menduga riwayat keluarganya dan faktor genetis yang berperan. Apa pun, Woolf, Hemingway, Tolstoy, Poe, Dickens, dan lainlain adalah contoh gamblang betapa penyakit mania-depresi atau bipolar disorder lazim di kalangan penulis. Soal ini banyak terdapat dalam berbagai studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan psikiatris.
Malah kreativitas ini tak selalu berarti sastra. Lewat studi selama 10 tahuh, Arnold M. Ludwig, peneliti Pusat Medis di University of Kentucky, menemukan antara 59-77 persen artis, penulis, dan musisi menderita penyakit mental (khususnya gangguan suasana hati) dibandingkan dengan hanya 18- 29 persen di kalangan profesional nonartis.
Dalam studi-studi yang ada sesudahnya, Woolf, seperti halnya para penulis lain yang dijadikan contoh, diketahui menghasilkan hanya sedikit karya atau malah nihil sama sekali sewaktu sakit, tapi justru produktif ketika mengalami serangan. Analisis Woolf sendiri mengenai kreativitasnya memperlihatkan bahwa penyakitnya -- periode-periode mania atau hipomania sesudahnya -- adalah sumber bahan untuk novel-novelnya.
Meski begitu, sebagaimana dikemukakan Kay Redfield Jamison, profesor psikiatri Sekolah Kedokteran di Johns Hopkins University, tidak berarti bisa disimpulkan bahwa orangorang kreatif ditakdirkan menjadi penderita depresi atau bahwa penyakit mental membuat orang lebih kreatif.
Dalam buku berjudul Touched With Fire: Manic Depressive Illness and the Artistic Temperament, Jamison menegaskan betapa mayoritas penderita depresi dan bipolar disorder sama sekali tak punya daya imajinasi yang luar biasa.
"Menganggap penyakit seperti itu biasanya menimbulkan bakat artistik secara keliru memperkuat pandangan serampangan tentang 'genius gila'," katanya. Jadi, mengapa persentase orang-orang kreatif yang menderita depresi dan bipolar disorder begitu tinggi? Apakah penyakit ini meningkatkan kreativitas pada orang-orang tertentu atau apakah karakteristik pikiran kreatif menambah kerentanan terhadap penyakit ini?
Tidak ada jawaban yang pasti. Teorinyalah yang banyak. Faktor dominan yang dikemukakan dalam teori-teori itu adalah emosi dan perilaku yang paralel dengan proses kreatif. Baik pada tahap mania maupun tahap depresi, keduanya -- antara lain berpikir orisinal, produktivitas yang meningkat, fokus, kemampuan bekerja keras dengan waktu tidur terbatas, introspeksi, dan penderitaan yang mendalam -- berperan meningkatkan kreativitas, dan memberinya kedalaman dan makna.
Barangkali karena itulah bahkan Woolf pun mengapresiasinya. Dalam surat kepada seorang temannya, ia menulis: "Sebagai pengalaman, kegilaan itu sangat menyenangkan, saya bisa jamin, dan bukan untuk dicibir."
----------dari Koran Tempo
SUARA-SUARA YANG MENGANCAM
Semua terjadi secara tiba-tiba dan aku tak mampu lagi mengingat keseluruhan atas peristiwa yang terjadi tersebut. Kejadian itu sangat mengerikan. Sungguh mengerikan. Namun, akan aku ceritakan peristiwa itu walau tak mampu aku ceritakan semuanya dan nantinya mungkin ada yang akan menyebutku gila. Apa yang akan aku ceritakan ini adalah kenyataan yang benar-benar nyata pada waktu itu. Di mana aku sendiri adalah aku yang akan bercerita ini. Sendiri dalam diriku.
Pada malam itu aku sangat gelisah karena beberapa bulan tak mampu menulis apa yang ingin aku tulis. Sebelumnya aku membiasakan diri menulis semua yang melintas dalam pikiran dan perasaanku ke dalam bentuk puisi dan cerpen. Namun entah mengapa suara-suara itu datang mengancam ketika aku menulis puisi. Setelah itu malam dan hari-hariku begitu mencekam. Penuh serangan yang mirip peperangan. Kepalaku mulai ramai dengan ledakan.
Entah suara siapa itu aku tak mengenalnya. Pertama kali suara itu datang memulainya dengan sebuah perdebatan. Aku tak cukup referensi untuk melawannya tetapi setiap statemennya selalu aku bantah dan aku selalu menang. Semakin hari suara itu semakin bertambah banyak dan aku menghindar karena aku tak ingin mengganggu siapapun. Aku mulai tak betah lagi di kamarku sendiri. Aku pindah dari satu kamar temanku ke kamar temanku yang lain. Suara itu masih mengikuti ke manapun aku pergi dan malah mengancam akan merusak hubunnganku dengan orang yang aku kenal, teman-teman, dan sahabat-sahabatku. Dan lebih-lebih akan merusak isi kepala mereka. Aku ceritakan semua apa yang terjadi kepada beberapa teman dan sahabatku namun tak ada yang percaya. Aku selalu diburu dan tak ada yang tahu.
Malam dan hari-hariku terus berlalu tanpa ada perubahan sedikitpun. Suara-suara itu semakin gencar mengancam hingga tiba saatnya pada ujian terakhirku matakuliah filsafat nilai yang kebetulan dosennya, Robby Abror. Sebelum aku berangkat ke kampus suara-suara itu sudah ada di luar kamarku. Salah satu di antara suara tersebut menghubungi seseorang yang pernah aku beri sebuah puisi dan cerpen, Hida, untuk memfitnahku karena suara-suara itu mencurigai kalau aku dengan Hida saling jatuh cinta. Tetapi aku tak mempedulikan apa yang dilakukan oleh suara itu. Aku ambil semua keperluanku untuk berangkat ke kampus dan langsung ke tempat kakakku di Ngawi yang telah aku rencanakan sebelumnya. Dan sebelum sampai di kampus aku ke warnet terlebih dahulu untuk memberi tahu Hida melalui pesan singkat di facebooknya bahwa apa yang aku lakukan terhadapnya tak seperti apa yang dikatakan oleh suara itu.
Sesampainya di kampus aku menunggu jam masuk. Suara-suara itu mengancam-ngancam kejam. Lebih kejam dari sebelumnya. Suara-suara itu akan membunuhku secara perlahan-lahan dengan terlebih dahulu menghapus nilai-nilai matahuliah yang telah aku ambil sebelumnya. Aku mencarinya namun tak ada. Jam masuk telah tiba teman-teman sekelasku masuk dan aku sedikit terlambat karena mengejar suara-suara itu. Aku masuk ruangan dengan kegelisahan dan ketakutan. Lembar soal dam jawaban telah dibagikan. Aku pun mengisi bagian yang harus aku isi sebelumnya, seperti nama, nomor induk mahasiswa, jurusan, tanda tangan, dan nomor ujian.
“Cepat. Dia sekarang ada di ruang ujiannya. Cepat kalian ke godam. Nomor passwordnya pasti nomor induk mahasiswanya. Nomor induk mahasiswanya sudah kalian dapatkan?” kata suara yang menjagaku di pintu ruangan ujianku yang ada di lantai tiga.
“Beres bro…Kita telah mendapatkannya saat kita melihat absensinya. Dia semester ini rajin bro…Tetapi dia sekarang tak akan mampu berbuat apa-apa. Nilainya kita akan rubah menjadi D. Semuanya! Dia akan sia-sia kuliah bro…” kata suara yang lain di lantai dua.
“Cepat bro… dia akan ke lantai dua. Dia sekarang akan keluar. Lari bro…lari!” teriak suara yang ada di pintu.
Aku sangat marah, sangat marah. Bukan hanya aku yang terganggu tetapi juga semua ruangan yang ada di lantai tiga yang juga lagi ujian. Aku mencoba keluar dari ruang ujianku untuk bicara dengan mereka namun mereka tak mau. Mereka malah ketawa terbahak-bahak seraya mengejekku. Aku kejar hingga ke lantai satu mereka ada di lantai dua. Aku kejar ke lantai dua mereka ada di lantai tiga. Aku kejar ke lantai empat mereka bersembunyi dan sebagian yang lain ada di lantai dua bersiap-siap merubah nilai-nilai matakuliahku yang tersimpan di godam. Aku langsung menghubungi salah satu temanku, Acim yang ada di ruang ujian dan langsung ke lantai dua.
“Ada apa?” tanya Acim.
“Aku punya masalah. Ini serius,” jawabku.
“Masalah apa?” tanyanya lagi.
“Kamu tak usah banyak tanya. Sekarang juga kau rubah passwordku. Nilai-nilaiku akan dirubah oleh seseorang dan aku akan berjaga di sini,” aku teliti semua tempat di sekelingku yang memungkinkan mereka bersembunyi. Mereka tak ada. Passwordku telah diganti dan kita berduapun kembali ke ruang ujian.
Kita kembali pada tempat kita masing-masing. Acim meneruskan menjawab ujiannya. Dan aku terasa melayang. Aku tak mampu menjawan satupun soal ujian dari empat soal yang ada. Bukan karena aku tak tahu apa yang harus aku jawab tetapi karena kepalaku terasa berat dan tubuhku gemetar.
“Kau benar-benar kacau sekarang. Kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” kata suara yang kembali berada di pintu ruang ujianku. ”Rubahlah nilai-nilainya bro…Dia sekarang hanya mampu diam,” teriaknya kepada teman-temannya di lantai dua.
Kepalaku terasa berat. Dan aku tak peduli lagi dengan nilai-nilai matakuliahku. Aku tak peduli atas semua yang telah dan akan terjadi. Aku hanya ingin pergi menjauh dari suara-suara itu secepat-cepatnya.
***
Bis jalur tujuh sangat mudah aku dapatkan di depan kampusku. Aku langsung segera meluncur ke terminal dengan kecepatan bis yang begitu lamban. Aku sedikit tenang karena suara itu tak ada lagi. Sesampainya di terminal suara-sauara itu samar adanya. Aku duduk di tempat tunggu penumpang dengan kebingunganku. Aku berpikir bagaimana melawan dan menemukannya.
“Dia tak tahu kalau kita ada di sini. Dia melihat kita tetapi tak tahu siapa kita sebenarnya. Yang mana kita dia tak akan tahu,” suara itu berbicara pada temannya di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuannya.
Mataku menelisik di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuan mereka, memastikan siapa orang yang berbicara dan mengancam-ngancamku. Kulihat dua orang laki-laki di antara kerumunan itu, yang satu berbaju merah dan bercelana hitam dengan badan kekar dan satunya lagi merunduk di samping kanannya.
“Meski dia tahu kita ada di sini dia tak akan berbuat apa-apa. Di terminal ini semua orang adalah teman kita. Aku sudah ceritakan semuanya tentang orang yang kita kejar-kejar ini. Kalau dia menghampiri kita, kita tinggal ngebukin saja. Lalu kita seret di jalanan,” kata mereka. Dan tubuhku semakin gemetar dengan rasa takut yang entah.
Hari ini ada dua bis yang menuju ke Surabaya, bis Sumber Kencono dan Mira. Saat kedua orang itu lengah aku langsung mengnyembunyikan diri di bagian samping bis Sumber Kencono dan aku langsung pura-pura masuk biar mereka mengira aku naik bis Sumber Kencono karena kedua orang itu mampu bergerak sangat cepat sekali. Aku di dalam bis berpikir bagaimana untuk mengatasi kedua orang ini. Menghubungi teman-teman? Mereka tak ada yang percaya. Menghubungi Hida? Tak punya nomor HPnya. Semua orang telah dihasut oleh mereka. Aku bingung. Bingung. Keringatku semakin deras mengalir di seluruh tubuhku. Dan aku hanya diam.
Bis beberapa menit lagi akan berangkat. Tak disangka mereka mau naik juga ke bis yang aku ada di dalamnya. Aku dengan cepat keluar. Merunduk di antara kursi bis dengan persaan takut. Mereka masuk dan aku keluar. Sedikit ketakutanku hilang namun aku siap siaga dan hati-hati karena mereka cukup gesit penglihatannya. Aku sekarang berada dalam bis Mira. Aku sedikit lega karena mereka berada pada bis yang berbeda.
Bis yang mereka tumpangi berangkat sepuluh menit lebih awal dari bis yang aku tumpangi. Di tengah perjalan sebelum sampai Janti aku mengusap keringat yang ada di tubuhku, lalu merentangkan kedua tanganku. Kondektur mulai menanyakan kepada setiap penumpang satu-persatu ke mana tujuan mereka dan menarik ongkos sesuai tujuannya. Tiba giliranku suara itu ada lagi. Mereka ada di belakangku entah di kursi bagian mana.
“Kau mau ke mana? Kau mengira kita naik bis itu? Kau goblok! Ke manapun kau akan kita ikuti, setelah itu baru kau akan kita bunuh. Akan kita cincang-cincang tubuhmu,” kata salah satu di antara mereka kepadaku dengan geram sekali.
“Pak, kasih tahu kepada kita dia akan turun di mana?” pinta mereka kepada kondektur dan kondekturpun mengangguk.
“Mana mas?” tanya kondektur kepadaku.
“Ngawi,” aku bayar ongkosku dengan uang pas. Aku tak menghiraukan kondektur itu lagi karena mereka semakin berteriak-teriak ingin membunuhku. Kepalaku terasa ingin pecah.
“Dia ternyata mau turun di Ngawi,” kata salah satu di antara mereka.
Aku mencoba untuk bangkit dari dudukku. Aku ingin menghampiri kedua orang itu. Aku ingin melawannya sekuat yang aku bisa. Namun kepalaku sakit dan tubuhku terasa seringan kapas. Aku mengambang terbang. Tak ada lagi yang menyentuh tubuhku.
“Kau benar-benar akan kita bunuh karena kau telah menggagalkan semuanya. Ini masalah perasaan. Aku sangat mencintainya. Kau telah ceritakan semuanya kepada Hida bahwa aku yang memfitnahmu. Dia sekarang akan membenciku untuk selamanya. Goblok! Asu! Kau tahu alat apa yang kita bawa ini? Kau tak akan bisa ke mana-mana dengan alat ini selama cairan kimia itu masih ada di tubuhmu. Alat ini mampu mengetahui di mana keberadaanmu. Kita telah memasukkan cairan itu dengan menyuruh seseorang untuk menaruhnya ke dalam segelas kopi yang kau minum. Kau akan kita siksa sebelum mati!” gertaknya.
“Ternyata kau tak berkutik dengan alat ini.”
“Mau diskusi lagi? Mau melawan? Memorimu akan benar-benar rusak dengan alat ini. Coba kau ingat semua apa yang terjadi dalam hidupmu. Kau tak akan mampu untuk mengingatnya. Yang ada dipikiranmu adalah pikiranku. Apa yang kau perbuat adalah perbuatanku,” kata orang yang memegang alat itu.
“Isi kepalamu tak jelas lagi sekarang. Kau tak akan bisa membedakan yang mana pikiranmu dan mana pikiranku, yang mana pebuatanmu dan mana perbuatanku. Untuk sementara, kau akan kuat namun nanti sebelum kau kita bunuh, yang benar-benar ada hanya pikiran dan perbuatanku. Kau akan kita siksa sebelum mati,” lanjutnya.
Bis yang aku tumpangi melaju sangat cepat. Tubuhku semakin lama semakin lemas, gemetar, dan mengambang terbang. Dengan keaadaan tubuhku yang seperti itu, aku mencoba menghubungi seorang temanku, Imam, untuk minta nomor HP teman dekatnya Hida, Eta. Aku tak kuat untuk bicara. Aku beritahu semua yang terjadi melalui sms tetapi Eta tak mau ikut campur. Dia sedikit kesal dan marah.
Aku bingung. Aku takut. Apakah aku akan sampai di Ngawi tempat kakakku? Apakah ada orang yang akan menolongku dari masalah ini? Teman-temanku? Hida? Aku tak tahu. Aku hanya pasrah saja jika mereka benar-benar membunuhku. Kematian pasti akan datang menemui siapapun. Aku tahu inilah kematian yang tak sempurna. Tetapi aku berharap suatu saat nanti orang-orang yang aku kenal, teman-temanku, sahabat-sahabatku akan mengerti dan paham bahwa kematianku adalah kematian yang akan mereka hadapi juga pada waktunya.
Dan aku tak ingat apapun lagi selain apa yang aku ceritakan ini...
Yogyakarta, 2010.
Pada malam itu aku sangat gelisah karena beberapa bulan tak mampu menulis apa yang ingin aku tulis. Sebelumnya aku membiasakan diri menulis semua yang melintas dalam pikiran dan perasaanku ke dalam bentuk puisi dan cerpen. Namun entah mengapa suara-suara itu datang mengancam ketika aku menulis puisi. Setelah itu malam dan hari-hariku begitu mencekam. Penuh serangan yang mirip peperangan. Kepalaku mulai ramai dengan ledakan.
Entah suara siapa itu aku tak mengenalnya. Pertama kali suara itu datang memulainya dengan sebuah perdebatan. Aku tak cukup referensi untuk melawannya tetapi setiap statemennya selalu aku bantah dan aku selalu menang. Semakin hari suara itu semakin bertambah banyak dan aku menghindar karena aku tak ingin mengganggu siapapun. Aku mulai tak betah lagi di kamarku sendiri. Aku pindah dari satu kamar temanku ke kamar temanku yang lain. Suara itu masih mengikuti ke manapun aku pergi dan malah mengancam akan merusak hubunnganku dengan orang yang aku kenal, teman-teman, dan sahabat-sahabatku. Dan lebih-lebih akan merusak isi kepala mereka. Aku ceritakan semua apa yang terjadi kepada beberapa teman dan sahabatku namun tak ada yang percaya. Aku selalu diburu dan tak ada yang tahu.
Malam dan hari-hariku terus berlalu tanpa ada perubahan sedikitpun. Suara-suara itu semakin gencar mengancam hingga tiba saatnya pada ujian terakhirku matakuliah filsafat nilai yang kebetulan dosennya, Robby Abror. Sebelum aku berangkat ke kampus suara-suara itu sudah ada di luar kamarku. Salah satu di antara suara tersebut menghubungi seseorang yang pernah aku beri sebuah puisi dan cerpen, Hida, untuk memfitnahku karena suara-suara itu mencurigai kalau aku dengan Hida saling jatuh cinta. Tetapi aku tak mempedulikan apa yang dilakukan oleh suara itu. Aku ambil semua keperluanku untuk berangkat ke kampus dan langsung ke tempat kakakku di Ngawi yang telah aku rencanakan sebelumnya. Dan sebelum sampai di kampus aku ke warnet terlebih dahulu untuk memberi tahu Hida melalui pesan singkat di facebooknya bahwa apa yang aku lakukan terhadapnya tak seperti apa yang dikatakan oleh suara itu.
Sesampainya di kampus aku menunggu jam masuk. Suara-suara itu mengancam-ngancam kejam. Lebih kejam dari sebelumnya. Suara-suara itu akan membunuhku secara perlahan-lahan dengan terlebih dahulu menghapus nilai-nilai matahuliah yang telah aku ambil sebelumnya. Aku mencarinya namun tak ada. Jam masuk telah tiba teman-teman sekelasku masuk dan aku sedikit terlambat karena mengejar suara-suara itu. Aku masuk ruangan dengan kegelisahan dan ketakutan. Lembar soal dam jawaban telah dibagikan. Aku pun mengisi bagian yang harus aku isi sebelumnya, seperti nama, nomor induk mahasiswa, jurusan, tanda tangan, dan nomor ujian.
“Cepat. Dia sekarang ada di ruang ujiannya. Cepat kalian ke godam. Nomor passwordnya pasti nomor induk mahasiswanya. Nomor induk mahasiswanya sudah kalian dapatkan?” kata suara yang menjagaku di pintu ruangan ujianku yang ada di lantai tiga.
“Beres bro…Kita telah mendapatkannya saat kita melihat absensinya. Dia semester ini rajin bro…Tetapi dia sekarang tak akan mampu berbuat apa-apa. Nilainya kita akan rubah menjadi D. Semuanya! Dia akan sia-sia kuliah bro…” kata suara yang lain di lantai dua.
“Cepat bro… dia akan ke lantai dua. Dia sekarang akan keluar. Lari bro…lari!” teriak suara yang ada di pintu.
Aku sangat marah, sangat marah. Bukan hanya aku yang terganggu tetapi juga semua ruangan yang ada di lantai tiga yang juga lagi ujian. Aku mencoba keluar dari ruang ujianku untuk bicara dengan mereka namun mereka tak mau. Mereka malah ketawa terbahak-bahak seraya mengejekku. Aku kejar hingga ke lantai satu mereka ada di lantai dua. Aku kejar ke lantai dua mereka ada di lantai tiga. Aku kejar ke lantai empat mereka bersembunyi dan sebagian yang lain ada di lantai dua bersiap-siap merubah nilai-nilai matakuliahku yang tersimpan di godam. Aku langsung menghubungi salah satu temanku, Acim yang ada di ruang ujian dan langsung ke lantai dua.
“Ada apa?” tanya Acim.
“Aku punya masalah. Ini serius,” jawabku.
“Masalah apa?” tanyanya lagi.
“Kamu tak usah banyak tanya. Sekarang juga kau rubah passwordku. Nilai-nilaiku akan dirubah oleh seseorang dan aku akan berjaga di sini,” aku teliti semua tempat di sekelingku yang memungkinkan mereka bersembunyi. Mereka tak ada. Passwordku telah diganti dan kita berduapun kembali ke ruang ujian.
Kita kembali pada tempat kita masing-masing. Acim meneruskan menjawab ujiannya. Dan aku terasa melayang. Aku tak mampu menjawan satupun soal ujian dari empat soal yang ada. Bukan karena aku tak tahu apa yang harus aku jawab tetapi karena kepalaku terasa berat dan tubuhku gemetar.
“Kau benar-benar kacau sekarang. Kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” kata suara yang kembali berada di pintu ruang ujianku. ”Rubahlah nilai-nilainya bro…Dia sekarang hanya mampu diam,” teriaknya kepada teman-temannya di lantai dua.
Kepalaku terasa berat. Dan aku tak peduli lagi dengan nilai-nilai matakuliahku. Aku tak peduli atas semua yang telah dan akan terjadi. Aku hanya ingin pergi menjauh dari suara-suara itu secepat-cepatnya.
***
Bis jalur tujuh sangat mudah aku dapatkan di depan kampusku. Aku langsung segera meluncur ke terminal dengan kecepatan bis yang begitu lamban. Aku sedikit tenang karena suara itu tak ada lagi. Sesampainya di terminal suara-sauara itu samar adanya. Aku duduk di tempat tunggu penumpang dengan kebingunganku. Aku berpikir bagaimana melawan dan menemukannya.
“Dia tak tahu kalau kita ada di sini. Dia melihat kita tetapi tak tahu siapa kita sebenarnya. Yang mana kita dia tak akan tahu,” suara itu berbicara pada temannya di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuannya.
Mataku menelisik di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuan mereka, memastikan siapa orang yang berbicara dan mengancam-ngancamku. Kulihat dua orang laki-laki di antara kerumunan itu, yang satu berbaju merah dan bercelana hitam dengan badan kekar dan satunya lagi merunduk di samping kanannya.
“Meski dia tahu kita ada di sini dia tak akan berbuat apa-apa. Di terminal ini semua orang adalah teman kita. Aku sudah ceritakan semuanya tentang orang yang kita kejar-kejar ini. Kalau dia menghampiri kita, kita tinggal ngebukin saja. Lalu kita seret di jalanan,” kata mereka. Dan tubuhku semakin gemetar dengan rasa takut yang entah.
Hari ini ada dua bis yang menuju ke Surabaya, bis Sumber Kencono dan Mira. Saat kedua orang itu lengah aku langsung mengnyembunyikan diri di bagian samping bis Sumber Kencono dan aku langsung pura-pura masuk biar mereka mengira aku naik bis Sumber Kencono karena kedua orang itu mampu bergerak sangat cepat sekali. Aku di dalam bis berpikir bagaimana untuk mengatasi kedua orang ini. Menghubungi teman-teman? Mereka tak ada yang percaya. Menghubungi Hida? Tak punya nomor HPnya. Semua orang telah dihasut oleh mereka. Aku bingung. Bingung. Keringatku semakin deras mengalir di seluruh tubuhku. Dan aku hanya diam.
Bis beberapa menit lagi akan berangkat. Tak disangka mereka mau naik juga ke bis yang aku ada di dalamnya. Aku dengan cepat keluar. Merunduk di antara kursi bis dengan persaan takut. Mereka masuk dan aku keluar. Sedikit ketakutanku hilang namun aku siap siaga dan hati-hati karena mereka cukup gesit penglihatannya. Aku sekarang berada dalam bis Mira. Aku sedikit lega karena mereka berada pada bis yang berbeda.
Bis yang mereka tumpangi berangkat sepuluh menit lebih awal dari bis yang aku tumpangi. Di tengah perjalan sebelum sampai Janti aku mengusap keringat yang ada di tubuhku, lalu merentangkan kedua tanganku. Kondektur mulai menanyakan kepada setiap penumpang satu-persatu ke mana tujuan mereka dan menarik ongkos sesuai tujuannya. Tiba giliranku suara itu ada lagi. Mereka ada di belakangku entah di kursi bagian mana.
“Kau mau ke mana? Kau mengira kita naik bis itu? Kau goblok! Ke manapun kau akan kita ikuti, setelah itu baru kau akan kita bunuh. Akan kita cincang-cincang tubuhmu,” kata salah satu di antara mereka kepadaku dengan geram sekali.
“Pak, kasih tahu kepada kita dia akan turun di mana?” pinta mereka kepada kondektur dan kondekturpun mengangguk.
“Mana mas?” tanya kondektur kepadaku.
“Ngawi,” aku bayar ongkosku dengan uang pas. Aku tak menghiraukan kondektur itu lagi karena mereka semakin berteriak-teriak ingin membunuhku. Kepalaku terasa ingin pecah.
“Dia ternyata mau turun di Ngawi,” kata salah satu di antara mereka.
Aku mencoba untuk bangkit dari dudukku. Aku ingin menghampiri kedua orang itu. Aku ingin melawannya sekuat yang aku bisa. Namun kepalaku sakit dan tubuhku terasa seringan kapas. Aku mengambang terbang. Tak ada lagi yang menyentuh tubuhku.
“Kau benar-benar akan kita bunuh karena kau telah menggagalkan semuanya. Ini masalah perasaan. Aku sangat mencintainya. Kau telah ceritakan semuanya kepada Hida bahwa aku yang memfitnahmu. Dia sekarang akan membenciku untuk selamanya. Goblok! Asu! Kau tahu alat apa yang kita bawa ini? Kau tak akan bisa ke mana-mana dengan alat ini selama cairan kimia itu masih ada di tubuhmu. Alat ini mampu mengetahui di mana keberadaanmu. Kita telah memasukkan cairan itu dengan menyuruh seseorang untuk menaruhnya ke dalam segelas kopi yang kau minum. Kau akan kita siksa sebelum mati!” gertaknya.
“Ternyata kau tak berkutik dengan alat ini.”
“Mau diskusi lagi? Mau melawan? Memorimu akan benar-benar rusak dengan alat ini. Coba kau ingat semua apa yang terjadi dalam hidupmu. Kau tak akan mampu untuk mengingatnya. Yang ada dipikiranmu adalah pikiranku. Apa yang kau perbuat adalah perbuatanku,” kata orang yang memegang alat itu.
“Isi kepalamu tak jelas lagi sekarang. Kau tak akan bisa membedakan yang mana pikiranmu dan mana pikiranku, yang mana pebuatanmu dan mana perbuatanku. Untuk sementara, kau akan kuat namun nanti sebelum kau kita bunuh, yang benar-benar ada hanya pikiran dan perbuatanku. Kau akan kita siksa sebelum mati,” lanjutnya.
Bis yang aku tumpangi melaju sangat cepat. Tubuhku semakin lama semakin lemas, gemetar, dan mengambang terbang. Dengan keaadaan tubuhku yang seperti itu, aku mencoba menghubungi seorang temanku, Imam, untuk minta nomor HP teman dekatnya Hida, Eta. Aku tak kuat untuk bicara. Aku beritahu semua yang terjadi melalui sms tetapi Eta tak mau ikut campur. Dia sedikit kesal dan marah.
Aku bingung. Aku takut. Apakah aku akan sampai di Ngawi tempat kakakku? Apakah ada orang yang akan menolongku dari masalah ini? Teman-temanku? Hida? Aku tak tahu. Aku hanya pasrah saja jika mereka benar-benar membunuhku. Kematian pasti akan datang menemui siapapun. Aku tahu inilah kematian yang tak sempurna. Tetapi aku berharap suatu saat nanti orang-orang yang aku kenal, teman-temanku, sahabat-sahabatku akan mengerti dan paham bahwa kematianku adalah kematian yang akan mereka hadapi juga pada waktunya.
Dan aku tak ingat apapun lagi selain apa yang aku ceritakan ini...
Yogyakarta, 2010.
PENARI DARI TIMUR
Dia adalah lelaki yang suka menari. Menari baginya bukanlah hobi tetapi jalan hidup. Dari gurun ke gurun, dari bukit ke bukit, dari gunung ke gunung, dari desa ke desa, dari kota ke kota, dari rumah ke rumah, dari toko ke toko, dari super market ke super market, hingga dari mall ke mall dia menari. Dan terkadang dia penuh dalam televisi. Tarianya tidak seperti tarian yang banyak orang kenal seperti balet, hip hop atau tarian lainnya. Dia menari hanya dengan satu gerakan yakni, berputar.
Lalu, dia mampir di kota ini untuk menghibur masyarakat. Semua yang menontonnya pasti terpana. Di atas panggung dia serupa gasing, berputar lambat dan semakin lama semakin cepat. Kemudian lambat kembali dan berhenti. Tepuk tangan orang-orang yang menontonnya menggantikan tariannya. Dan di tengah-tengah riuhnya tepuk tangan ada yang bertanya kepadanya, mengapa suka menari dan mengapa tak mau dibayar setiap dia selesai menari. Dia menjawab, ”aku bukan seorang penghibur. Aku adalah seorang yang kehilangan. Ke mana-mana aku menari hanya untuk menemukannya karena setiap aku menari dia akan menemuiku, dia akan hadir melebihi kenyataannya yang ada. Setiap aku bergerak adalah geraknya. Apalah artinya segala yang kumiliki kalau tak menemukannya. Jika kau bertanya kenapa aku harus mencari? Aku sama dengannya. Jiwaku berbicara kepadaku. Yang kucari adalah diriku sendiri.” Dan diapun menghilang entah pergi kemana. Mungkin ada di gurun-gurun, di bukit-bukit, di gunung-gunung, di desa-desa, di kota-kota, di rumah-rumah, di toko-toko, di super market-super market, atau di mall-mall. Mungkin pula dia ada di televisi yang sering kita tonton setiap hari.
Lalu, dia mampir di kota ini untuk menghibur masyarakat. Semua yang menontonnya pasti terpana. Di atas panggung dia serupa gasing, berputar lambat dan semakin lama semakin cepat. Kemudian lambat kembali dan berhenti. Tepuk tangan orang-orang yang menontonnya menggantikan tariannya. Dan di tengah-tengah riuhnya tepuk tangan ada yang bertanya kepadanya, mengapa suka menari dan mengapa tak mau dibayar setiap dia selesai menari. Dia menjawab, ”aku bukan seorang penghibur. Aku adalah seorang yang kehilangan. Ke mana-mana aku menari hanya untuk menemukannya karena setiap aku menari dia akan menemuiku, dia akan hadir melebihi kenyataannya yang ada. Setiap aku bergerak adalah geraknya. Apalah artinya segala yang kumiliki kalau tak menemukannya. Jika kau bertanya kenapa aku harus mencari? Aku sama dengannya. Jiwaku berbicara kepadaku. Yang kucari adalah diriku sendiri.” Dan diapun menghilang entah pergi kemana. Mungkin ada di gurun-gurun, di bukit-bukit, di gunung-gunung, di desa-desa, di kota-kota, di rumah-rumah, di toko-toko, di super market-super market, atau di mall-mall. Mungkin pula dia ada di televisi yang sering kita tonton setiap hari.
JACKY
Jacky adalah seorang pengarang. Ia telah banyak menulis buku puisi, cerpen, dan novel. Hidupnya dipenuhi kisah, cerita, dan kata-kata juga penghargaan. Umur baginya bukanlah penghalang untuk terus berkarya. Meski, ia memasuki masa tuanya yang sering sakit-sakitan. Kini, ia mengalami situasi yang sangat mencekam hidupnya. Jalan satu-satunya untuk mengatasi hal itu adalah menulis.
Jacky mempunyai kamar khusus untuk menulis di antara sepuluh kamar yang ada di rumahnya. Di kamar itulah semua karyanya dilahirkan. Kamar itu tak seperti kamar yang ada, bersih dan rapi. Kamar itu dibuat berantakan, buku tanpa rak berserakan di lantainya dan berdebu. Namun, ada dua jendela yang memang dibuat istimewa olehnya untuk menangkap inspirasi.
Pada suatu hari Boby memasuki kamarnya dengan kisah-kisah yang jauh di luar sana. Boby adalah orang miskin yang mempertahankan hidupnya dari mencuri. Bagi orang miskin mencuri bukanlah profesi melainkan salah satu cara untuk mempertahankan hidup. Boby tak mempunyai pekerjaan lain selain mencuri karena di mana dan ke manapun melamar pekerjaan ia selalu ditolak. Dan akhirnya, Boby memilih jalan hidupnya yang lebih dekat dengan penjara, kematiaan, dan keterasingan.
Boby pada saat yang sama sedang merampok sebuah bank. Ia menyandera seorang pegawai bank dengan menodongkan pistol kaliber 45 mm yang beratnya 1,3 kg yang penuh dengan peluru. Ia meminta kepada pegawai tersebut untuk menyerahkan uang yang ada di bank itu. Jika tidak, kepalanya akan ia ledakkan dengan pistolnya. Pegawai bank itu dengan tubuh gemetar dan berkeringat mencoba untuk mengambil dan mengeluarkan uang yang ada. Semua orang yang berada di bank ketakutan. Tak ada seorangpun yang bisa melawannya. Namun secara tiba-tiba sebuah pistol meletus dan peluru mengenai kepala Boby. Boby ambruk ke lantai dengan darah menglir di kepalanya.
Jacky dengan komputernya yang masih menyala. Kepalanya merunduk dan berdarah karena tertembak oleh penembak misterius melalui jendela kamarnya. Nyawanya telah menghembus. Jacky belum menyelesaikan ceritanya. Kamarnya hanya meninggalkan penggalan cerita yang ada di komputernya. Orang-orang pergi dengan ceritanya. Dan Boby menjadi asing pada mereka hingga masa berganti menemukannya di mana-mana.
Jacky mempunyai kamar khusus untuk menulis di antara sepuluh kamar yang ada di rumahnya. Di kamar itulah semua karyanya dilahirkan. Kamar itu tak seperti kamar yang ada, bersih dan rapi. Kamar itu dibuat berantakan, buku tanpa rak berserakan di lantainya dan berdebu. Namun, ada dua jendela yang memang dibuat istimewa olehnya untuk menangkap inspirasi.
Pada suatu hari Boby memasuki kamarnya dengan kisah-kisah yang jauh di luar sana. Boby adalah orang miskin yang mempertahankan hidupnya dari mencuri. Bagi orang miskin mencuri bukanlah profesi melainkan salah satu cara untuk mempertahankan hidup. Boby tak mempunyai pekerjaan lain selain mencuri karena di mana dan ke manapun melamar pekerjaan ia selalu ditolak. Dan akhirnya, Boby memilih jalan hidupnya yang lebih dekat dengan penjara, kematiaan, dan keterasingan.
Boby pada saat yang sama sedang merampok sebuah bank. Ia menyandera seorang pegawai bank dengan menodongkan pistol kaliber 45 mm yang beratnya 1,3 kg yang penuh dengan peluru. Ia meminta kepada pegawai tersebut untuk menyerahkan uang yang ada di bank itu. Jika tidak, kepalanya akan ia ledakkan dengan pistolnya. Pegawai bank itu dengan tubuh gemetar dan berkeringat mencoba untuk mengambil dan mengeluarkan uang yang ada. Semua orang yang berada di bank ketakutan. Tak ada seorangpun yang bisa melawannya. Namun secara tiba-tiba sebuah pistol meletus dan peluru mengenai kepala Boby. Boby ambruk ke lantai dengan darah menglir di kepalanya.
Jacky dengan komputernya yang masih menyala. Kepalanya merunduk dan berdarah karena tertembak oleh penembak misterius melalui jendela kamarnya. Nyawanya telah menghembus. Jacky belum menyelesaikan ceritanya. Kamarnya hanya meninggalkan penggalan cerita yang ada di komputernya. Orang-orang pergi dengan ceritanya. Dan Boby menjadi asing pada mereka hingga masa berganti menemukannya di mana-mana.
PEREMPUAN RAHASIA
Dia adalah seorang perempuan yang dilahirkan dari rahim waktu. Dan aku bertemu dengan dia dalam waktu. Namanya menjadi rahasia karena dia adalah bagian rahasia dari waktu. Jika dia harus diberi nama mungkin tak cukup satu nama saja karena satu nama hanya menunjukkan satu bagian dari waktu. Jika ada yang menanyakan namanya tak akan pernah aku jawab karena jawaban bukanlah solusi untuk tahu siapa perempuan itu.
Setiap perempuan mempunyai aroma yang sama dan mempunyai wangi yang berbeda. Banyak parfum diciptakan untuk menandai wangi tubuh indahnya namun tak ada yang bisa menandai aromanya. Aromannya adalah sebuah rahasia dan aku tahu seperti apa aromanya. Kau percaya? Kau atau siapapun tak perlu mempercayainnya. Jika mempercayainya kau tak akan yakin lagi bahwa perempuan mempunyai aroma yang khas. Kau tak perlu percaya atau yakin karena aroma tubuhnya adalah rahasia sebagaimana dirinya juga rahasia. Aku tahu aroma tubuhnya karena aku juga rahasia.
Pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah tempat di mana aku dan dia belum dilahirkan tetapi aku dan dia telah benar-benar tercipta. Kukatakan padanya bahwa aku pernah bertemu dia dan dia pun mengatakan kepadaku bahwa dia bertemu juga denganku, di mana waktu kita berdua hanya sebagian yang ada. Dalam pertemuan itu kita berdua tak pernah bicara apalagi saling mengungkapkan suatu keinginan yang membuat kita sama-sama merasakan kebahagiaan. Pertemuan kita hanya diawali oleh bahasa yang tak pernah diucapkan.
Kita berdua sadar bahwa suatu saat akan meluas dalam waktu. Dari pertemuan hubungan kami berlanjut. Dia selalu mengajakku jalan-jalan ke tempat di mana dia suka. Dan akupun begitu, mengajaknya ke tempat yang aku suka. Dia pernah mengajakku menikmati panorama alam yang sangat indah sekali. Dan aku mengajaknya ke dalam tumpukan kata-kata yang penuh makna. Kita berdua saling memahami bahwa kita mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Jadi, kita berdua tak pernah mempunyai persoalan yang membuat kita harus marah dan kecewa.
Meski sering berduaan kita tak pernah menyebutkan nama kita masing-masing, apalagi berbicara. Semua berjalan apa adanya, mengalir serupa air. Namun, tak pernah disangka waktu begitu cepat meluaskan diri kita hingga kita berdua mempunyai sebuah nama dan tubuh yang berbeda. Lalu, sebagian kita pergi dan sebagian masih menjadi diri kita sendiri.
Setiap perempuan mempunyai aroma yang sama dan mempunyai wangi yang berbeda. Banyak parfum diciptakan untuk menandai wangi tubuh indahnya namun tak ada yang bisa menandai aromanya. Aromannya adalah sebuah rahasia dan aku tahu seperti apa aromanya. Kau percaya? Kau atau siapapun tak perlu mempercayainnya. Jika mempercayainya kau tak akan yakin lagi bahwa perempuan mempunyai aroma yang khas. Kau tak perlu percaya atau yakin karena aroma tubuhnya adalah rahasia sebagaimana dirinya juga rahasia. Aku tahu aroma tubuhnya karena aku juga rahasia.
Pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah tempat di mana aku dan dia belum dilahirkan tetapi aku dan dia telah benar-benar tercipta. Kukatakan padanya bahwa aku pernah bertemu dia dan dia pun mengatakan kepadaku bahwa dia bertemu juga denganku, di mana waktu kita berdua hanya sebagian yang ada. Dalam pertemuan itu kita berdua tak pernah bicara apalagi saling mengungkapkan suatu keinginan yang membuat kita sama-sama merasakan kebahagiaan. Pertemuan kita hanya diawali oleh bahasa yang tak pernah diucapkan.
Kita berdua sadar bahwa suatu saat akan meluas dalam waktu. Dari pertemuan hubungan kami berlanjut. Dia selalu mengajakku jalan-jalan ke tempat di mana dia suka. Dan akupun begitu, mengajaknya ke tempat yang aku suka. Dia pernah mengajakku menikmati panorama alam yang sangat indah sekali. Dan aku mengajaknya ke dalam tumpukan kata-kata yang penuh makna. Kita berdua saling memahami bahwa kita mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Jadi, kita berdua tak pernah mempunyai persoalan yang membuat kita harus marah dan kecewa.
Meski sering berduaan kita tak pernah menyebutkan nama kita masing-masing, apalagi berbicara. Semua berjalan apa adanya, mengalir serupa air. Namun, tak pernah disangka waktu begitu cepat meluaskan diri kita hingga kita berdua mempunyai sebuah nama dan tubuh yang berbeda. Lalu, sebagian kita pergi dan sebagian masih menjadi diri kita sendiri.
Kamis, 19 Agustus 2010
Selasa, 10 Agustus 2010
TENTANG CATATAN HARIAN DAN KARYA YANG DIBAKAR
Bagimu ini tak penting. Bagimu itu tak perlu. Itulah yang dikatakan orang lain kepadaku karena mereka melihat diriku dari kaca mata diri mereka sendiri dan aku menghargai dan menghormati mereka sebagaimana aku menghargai dan menghormati diriku sendiri. Aku tak perlu marah ataupun dendam karena aku tak merasa terganggu dan kalaupun terganggu marah dan dendam tak akan berguna apa-apa selain menyuburkan keegoisanku. Mereka mengatakan begitu kepadaku itu disebabkan mereka menyayangi dan mengasihiku.
Telah banyak waktu yang telah terbuang untuk sebuah tujuan, yang bagi banyak orang mungkin disebut kesia-siaan. Namun, bagiku tak ada yang sia-sia selama itu adalah perbuatanku sendiri demi sebuah jalan yang kutuju. Untuk mengenal jalanku aku harus melakukan apapun selama apa yang aku lakukan itu tak mengganggu orang lain. Meski aku harus sedih dan terluka, senang dan bahagia sebagai manusia aku tak mampu menolaknya. Semuanya akan dan harus terjadi.
Dalam proses memahami jalanku aku tak jarang bersikap ekstrim terhadap diri sendiri. Menolak keberadaan yang ada. Menentang segala yang datang. Melawan segala yang menantang. Pada akhirnya tak jarang aku terpojok di sudut hati dan pikiranku sendiri, menjadi asing dalam diri sendiri dan orang lain, lalu terkurung dalam labirin yang kelabu. Dan inilah yang harus dilakukan oleh seorang manusia, berada dalam lubang hitam semesta untuk menemukan dirinya. Sejauh-jauhnya. Sedalam-dalamnya. Pada awalnya orang tak tahu bahwa itu sangat mengasyikkan dan hingga kinipun tetap sangat mengasyikkan. Namun, yang aku sesalkan dan tak akan aku lakukan lagi adalah melakukan pembakaran terhadap buku catatan harian dan sebagian karyaku.
Kini, aku benar-benar sadar bahwa apa yang telah aku lakukan adalah pembunuhan hati dan pikiranku. Aku melakukan bunuh diri yang benar-benar menyakitkan. Dengan melakukannya aku telah mati, kematian yang benar-benar mati tanpa menyisakan satu jejakpun dalam hidup. Seharusnya jika aku ingin mati tak perlu seperti itu, aku hanya perlu minum racun saja dan itu sangat mengasyikkan daripada aku menghilangkan atau memusnahkan suara hati dan pikiranku.
Membakar sebuah buku catatan harian dan karya hanya dilakukan oleh seorang penakut. Aku tak akan membakar apapun yang telah aku tulis karena di sanalah tempat jejak-jejakku tersimpan selama dalam perjalanan menuju tujuanku. Sejelek apapun, sekotor apapun, seterhina apapun, itulah karya hidup dan hidup dalam berkarya. Adakalanya seseorang harus jatuh dalam proses perjalanannya namun sebelum sampai pada tujuannya ia harus berdiri dan berjalan lagi hingga sampai pada apa yang dituju. Akhirnya, lebih baik tak tahu daripada tahu tetapi tak pernah menjalaninya sendiri….
Telah banyak waktu yang telah terbuang untuk sebuah tujuan, yang bagi banyak orang mungkin disebut kesia-siaan. Namun, bagiku tak ada yang sia-sia selama itu adalah perbuatanku sendiri demi sebuah jalan yang kutuju. Untuk mengenal jalanku aku harus melakukan apapun selama apa yang aku lakukan itu tak mengganggu orang lain. Meski aku harus sedih dan terluka, senang dan bahagia sebagai manusia aku tak mampu menolaknya. Semuanya akan dan harus terjadi.
Dalam proses memahami jalanku aku tak jarang bersikap ekstrim terhadap diri sendiri. Menolak keberadaan yang ada. Menentang segala yang datang. Melawan segala yang menantang. Pada akhirnya tak jarang aku terpojok di sudut hati dan pikiranku sendiri, menjadi asing dalam diri sendiri dan orang lain, lalu terkurung dalam labirin yang kelabu. Dan inilah yang harus dilakukan oleh seorang manusia, berada dalam lubang hitam semesta untuk menemukan dirinya. Sejauh-jauhnya. Sedalam-dalamnya. Pada awalnya orang tak tahu bahwa itu sangat mengasyikkan dan hingga kinipun tetap sangat mengasyikkan. Namun, yang aku sesalkan dan tak akan aku lakukan lagi adalah melakukan pembakaran terhadap buku catatan harian dan sebagian karyaku.
Kini, aku benar-benar sadar bahwa apa yang telah aku lakukan adalah pembunuhan hati dan pikiranku. Aku melakukan bunuh diri yang benar-benar menyakitkan. Dengan melakukannya aku telah mati, kematian yang benar-benar mati tanpa menyisakan satu jejakpun dalam hidup. Seharusnya jika aku ingin mati tak perlu seperti itu, aku hanya perlu minum racun saja dan itu sangat mengasyikkan daripada aku menghilangkan atau memusnahkan suara hati dan pikiranku.
Membakar sebuah buku catatan harian dan karya hanya dilakukan oleh seorang penakut. Aku tak akan membakar apapun yang telah aku tulis karena di sanalah tempat jejak-jejakku tersimpan selama dalam perjalanan menuju tujuanku. Sejelek apapun, sekotor apapun, seterhina apapun, itulah karya hidup dan hidup dalam berkarya. Adakalanya seseorang harus jatuh dalam proses perjalanannya namun sebelum sampai pada tujuannya ia harus berdiri dan berjalan lagi hingga sampai pada apa yang dituju. Akhirnya, lebih baik tak tahu daripada tahu tetapi tak pernah menjalaninya sendiri….
Sabtu, 20 Maret 2010
CATATAN SEORANG WARAS YANG JATUH GILA
jika kusebut namamu, Nurul
yang ada hanya Cahaya
jika kusebut Cahaya
yang ada hanya tiada
jika kusebut namamu
jika kusebut Cahaya
jika kusebut tiada
kata kata tak bisa aku percaya
untuk menyebutnya
---Saat Pintu Terbuka
Hujan yang kesekian dan kekaguman yang tak terhinggga telah ada pada sebuah pintu. Menjadi apa pun yang ada di dunia ini. Dan aku telah menjadi dia, menjadi apa pun yang ada. Keluar masuk serupa miliknya, serupa dia yang nyata. Hingga kupahami segalanya adalah cinta.
Ada dan tiadanya, ada dan tiadaku adalah perpaduan yang tak terkira. Mungkin kelebihan dan kekurangan yang telah padu melalui sebuah pintu, siapa pun yang membuka dan menutupnya adalah rindu.
Pada saat pintumu terbuka. Pada saat pintuku terbuka kita tak akan saling meminta apa yang kita inginkan. Kita hadir apa adanya, terbebas dari segalanya.
---Seribu Nama adalah Satu Nama
Setiap nama adalah asal semua yang ada di dunia ini. Nama kita adalah tanda tentang dunia. Nama kita bisa jadi apa dan siapa pun, dimiliki dan diucapkan di mana-mana. Maka jangan salahkan jika aku sering menyebutmu adalah aku. Walau kutahu kau tak pernah menyebutku. Aku tak dapat menyalahkan hal itu karena memang tak ada yang harus. Aku hanya bisa menyebutmu di mana-mana. Di mana-mana…
---Perkenalan Kita
Apakah kita ingat kapan kita dilahirkan dan kapan kita diperkenalkan? Jika tak ada yang harus kita tandai mungkin kita tak akan mengenal angka dan nama hari dan kita tak akan tahu kapan kita lahir. Dengan angka dan nama hari itulah kita hanya bisa berpura-pura ingat bahwa kita lahir pada tanggal dan hari kesekian. Padahal ingatan kita tak ada tentang hal itu Sedangkan kapan kita berkenalan kita juga tak tahu. Kita tiba-tiba bicara dengan orang yang berada di sekitar kita, termasuk kita sendiri yang Cuma ngobrol sebentar. Perkenalan kita adalah kepura-puraan waktu yang coba kita kekalkan, agar kita benar-benar saling kenal karena terkadang manusia merasa takut kehilangan keabadian. Dan aku sekarang merasa bahwa kau adalah hal terkecil dalam hidup yang tak mungkin begitu saja aku hilangkan.
---Datang dan Pergimu
Terlalu sombong jika aku tahu tentang datang dan pergimu. Namun, dalam tubuh ini ada isyarat bahwa aku bukan seorang pembohong apalagi membohongimu. Dalam tubuh ini banyak menyimpan kenangan tentang dirimu, baik yang sadar dan tidak sadar telah mengakar dan tak bisa lepas begitu saja. Sehingga dalam keseharianku ia berdetak sesuai gerakmu. Jika kau tak mempercayainya aku juga tak mempercayainya. Dan jika kau mempercayainya aku juga mempercayainya. Aku yakin kita sama-sama merasa dan memikirkan semua itu tetapi tersembunyi entah di mana.
---Foto-fotomu
Saat kau melihat foto-fotomu, kau akan kembali pada masa itu, di mana kau siap-siap untuk mengekalkan wajahmu yang cantik dan manis itu dengan gaya yang kau inginkan dan kau kagumi sendiri sebelum dikagumi banyak lelaki termasuk diriku. Kau berpose dari jiwamu yang terpancar dan kamera menyatukannya dalam seberkas gambar. Indah. Gambar itu indah. Tentunya kesesuaian hati yang membuatnya Menjadi gambar hidup yang kau abadikan, entah di mana-mana karena aku tak tahu pastinya selain di facebookmu.
Aku mempunyai beberapa foto-fotomu dari berbagai foto yang kau miliki. Tetapi sayang, foto itu kau telah menciptanya di kamarmu sendiri atau di kamar lain. Setiap aku melihat satu-persatu foto-fotomu yang aku lihat bukan tubuhmu yang diam melainkan tubuhmu yang bergerak seakan-akan aku tahu apa yang kau lakukan dari sebagian kegiatanmu. Aku tahu isi kamarmu dari mulai catatanmu hingga hal-hal yang tak kau hiraukan. Aku tak akan ceritakan semua tentang foto itu. Aku sangat menyukai fotomu yang memakai kerudung putih tipis dan baju berwarna merah muda yang terlihat lucu dan manja sekali. Dan aku tahu kau begitu dewasa.
---Semua Apa yang Kau Tulis
Kau tulis apa saja yang kau rasa dan pikirkan dengan bahasa yang sangat sederhana. Dari menu makanan hingga hal-hal yang membuat orang membacanya ketawa. Aku menyukai itu dan aku lupa mencatatnya. Suatu saat aku akan mencatat semuanya hingga tak terpinggirkan dari arus logika. Karena kita begitu berdekatan serupa angin dan api bergerak dalam kegelapan.
---Gerak-gerakmu Telah Kutangkap
Semuanya telah aku cium sedalam-dalamnya. Aku sentuh semuanya meski kau tak mengizinkannya. Termasuk yang kau larang. Dan aku tak perlu minta maaf kepadamu atau kepada siapa pun saja karena aku tak benar-benar melakukannya. Setiap orang yang tahu bahwa dirimu adalah perempuan yang patut dicintai dan dirindukan, ia akan mengatakan: perempuan ingin dicintai dan dirindukan sebagaimana mestinya. Sehingga aku juga tergila-gila kepadamu yang selebihnya adalah kebohongan.
yang ada hanya Cahaya
jika kusebut Cahaya
yang ada hanya tiada
jika kusebut namamu
jika kusebut Cahaya
jika kusebut tiada
kata kata tak bisa aku percaya
untuk menyebutnya
---Saat Pintu Terbuka
Hujan yang kesekian dan kekaguman yang tak terhinggga telah ada pada sebuah pintu. Menjadi apa pun yang ada di dunia ini. Dan aku telah menjadi dia, menjadi apa pun yang ada. Keluar masuk serupa miliknya, serupa dia yang nyata. Hingga kupahami segalanya adalah cinta.
Ada dan tiadanya, ada dan tiadaku adalah perpaduan yang tak terkira. Mungkin kelebihan dan kekurangan yang telah padu melalui sebuah pintu, siapa pun yang membuka dan menutupnya adalah rindu.
Pada saat pintumu terbuka. Pada saat pintuku terbuka kita tak akan saling meminta apa yang kita inginkan. Kita hadir apa adanya, terbebas dari segalanya.
---Seribu Nama adalah Satu Nama
Setiap nama adalah asal semua yang ada di dunia ini. Nama kita adalah tanda tentang dunia. Nama kita bisa jadi apa dan siapa pun, dimiliki dan diucapkan di mana-mana. Maka jangan salahkan jika aku sering menyebutmu adalah aku. Walau kutahu kau tak pernah menyebutku. Aku tak dapat menyalahkan hal itu karena memang tak ada yang harus. Aku hanya bisa menyebutmu di mana-mana. Di mana-mana…
---Perkenalan Kita
Apakah kita ingat kapan kita dilahirkan dan kapan kita diperkenalkan? Jika tak ada yang harus kita tandai mungkin kita tak akan mengenal angka dan nama hari dan kita tak akan tahu kapan kita lahir. Dengan angka dan nama hari itulah kita hanya bisa berpura-pura ingat bahwa kita lahir pada tanggal dan hari kesekian. Padahal ingatan kita tak ada tentang hal itu Sedangkan kapan kita berkenalan kita juga tak tahu. Kita tiba-tiba bicara dengan orang yang berada di sekitar kita, termasuk kita sendiri yang Cuma ngobrol sebentar. Perkenalan kita adalah kepura-puraan waktu yang coba kita kekalkan, agar kita benar-benar saling kenal karena terkadang manusia merasa takut kehilangan keabadian. Dan aku sekarang merasa bahwa kau adalah hal terkecil dalam hidup yang tak mungkin begitu saja aku hilangkan.
---Datang dan Pergimu
Terlalu sombong jika aku tahu tentang datang dan pergimu. Namun, dalam tubuh ini ada isyarat bahwa aku bukan seorang pembohong apalagi membohongimu. Dalam tubuh ini banyak menyimpan kenangan tentang dirimu, baik yang sadar dan tidak sadar telah mengakar dan tak bisa lepas begitu saja. Sehingga dalam keseharianku ia berdetak sesuai gerakmu. Jika kau tak mempercayainya aku juga tak mempercayainya. Dan jika kau mempercayainya aku juga mempercayainya. Aku yakin kita sama-sama merasa dan memikirkan semua itu tetapi tersembunyi entah di mana.
---Foto-fotomu
Saat kau melihat foto-fotomu, kau akan kembali pada masa itu, di mana kau siap-siap untuk mengekalkan wajahmu yang cantik dan manis itu dengan gaya yang kau inginkan dan kau kagumi sendiri sebelum dikagumi banyak lelaki termasuk diriku. Kau berpose dari jiwamu yang terpancar dan kamera menyatukannya dalam seberkas gambar. Indah. Gambar itu indah. Tentunya kesesuaian hati yang membuatnya Menjadi gambar hidup yang kau abadikan, entah di mana-mana karena aku tak tahu pastinya selain di facebookmu.
Aku mempunyai beberapa foto-fotomu dari berbagai foto yang kau miliki. Tetapi sayang, foto itu kau telah menciptanya di kamarmu sendiri atau di kamar lain. Setiap aku melihat satu-persatu foto-fotomu yang aku lihat bukan tubuhmu yang diam melainkan tubuhmu yang bergerak seakan-akan aku tahu apa yang kau lakukan dari sebagian kegiatanmu. Aku tahu isi kamarmu dari mulai catatanmu hingga hal-hal yang tak kau hiraukan. Aku tak akan ceritakan semua tentang foto itu. Aku sangat menyukai fotomu yang memakai kerudung putih tipis dan baju berwarna merah muda yang terlihat lucu dan manja sekali. Dan aku tahu kau begitu dewasa.
---Semua Apa yang Kau Tulis
Kau tulis apa saja yang kau rasa dan pikirkan dengan bahasa yang sangat sederhana. Dari menu makanan hingga hal-hal yang membuat orang membacanya ketawa. Aku menyukai itu dan aku lupa mencatatnya. Suatu saat aku akan mencatat semuanya hingga tak terpinggirkan dari arus logika. Karena kita begitu berdekatan serupa angin dan api bergerak dalam kegelapan.
---Gerak-gerakmu Telah Kutangkap
Semuanya telah aku cium sedalam-dalamnya. Aku sentuh semuanya meski kau tak mengizinkannya. Termasuk yang kau larang. Dan aku tak perlu minta maaf kepadamu atau kepada siapa pun saja karena aku tak benar-benar melakukannya. Setiap orang yang tahu bahwa dirimu adalah perempuan yang patut dicintai dan dirindukan, ia akan mengatakan: perempuan ingin dicintai dan dirindukan sebagaimana mestinya. Sehingga aku juga tergila-gila kepadamu yang selebihnya adalah kebohongan.
Minggu, 14 Maret 2010
Sajak Ala
SETIAP KUDIAM PADAMU TEMANKU
setiap kudiam padamu temanku
kupercikkan dirimu jadi bintang bintang
bintang bintang yang diam
pada langit yang kupunya
dalam diam rahasia
melebihi rahasia alam semesta
diamlah aku di sana menyendiri
diamnya bintang bintang yang memercik
percikan diriku yang terkecil
percikan seutas kedip yang terpencil
membentang menepis tangis
membentang menerjang kegelapan
memercik bening embun
memercik malam penuh kilauan
di tengah tengah kita hanya bayangan
mencipta ketiadaan yang ada
mencipta bayangan yang semakin jauh
ketiadaan yang selalu luruh
meskipun mata menyimpannya
percikku setiap malam adalah bayangan yang terluka
menghampiri tubuh dalam sinarnya
bayangan tertatih pada gersang tanah
bayangan malam yang tersiksa
percikku setiap malam adalah bayangan yang sedih
menghampiri hari hari dalam sinarnya
bayangan yang lumpuh antara deru kota
bayangan malam yang nista
bayangan hanyalah bayangan
dunia keindahan yang percuma
keindahan yang menolak ketiadaan
menolak keindahan dunia kemanusiaan
o bintang bintang yang bersinar
o aku yang diam
sungguh ini luka dan sedih yang garang
sungguh garang percikan di langit
sungguh garang semua yang ditentang
ada yang memercik
memanggil dalam diamku
ada yang diam
memanggil dalam percikku
patah di mulutku
o bintang bintang yang bersinar
o aku yang diam
tak ada jalan menuju ke sana
menuju gemercik sinar
menuju diamku yang bersinar
selain keberanian hidup tak ingin aku jalani
selain perjuangan tak ingin aku persembahkan
selain kebahagiaan tak ingin aku katakan
diamku memercik di langit
bintang bintang yang berkedip
bunuh luka dan sedihku dengan sinarmu
sebab tanpa bayangan
aku ingin mati tenang di dadamu
yogyakarta, 2009
setiap kudiam padamu temanku
kupercikkan dirimu jadi bintang bintang
bintang bintang yang diam
pada langit yang kupunya
dalam diam rahasia
melebihi rahasia alam semesta
diamlah aku di sana menyendiri
diamnya bintang bintang yang memercik
percikan diriku yang terkecil
percikan seutas kedip yang terpencil
membentang menepis tangis
membentang menerjang kegelapan
memercik bening embun
memercik malam penuh kilauan
di tengah tengah kita hanya bayangan
mencipta ketiadaan yang ada
mencipta bayangan yang semakin jauh
ketiadaan yang selalu luruh
meskipun mata menyimpannya
percikku setiap malam adalah bayangan yang terluka
menghampiri tubuh dalam sinarnya
bayangan tertatih pada gersang tanah
bayangan malam yang tersiksa
percikku setiap malam adalah bayangan yang sedih
menghampiri hari hari dalam sinarnya
bayangan yang lumpuh antara deru kota
bayangan malam yang nista
bayangan hanyalah bayangan
dunia keindahan yang percuma
keindahan yang menolak ketiadaan
menolak keindahan dunia kemanusiaan
o bintang bintang yang bersinar
o aku yang diam
sungguh ini luka dan sedih yang garang
sungguh garang percikan di langit
sungguh garang semua yang ditentang
ada yang memercik
memanggil dalam diamku
ada yang diam
memanggil dalam percikku
patah di mulutku
o bintang bintang yang bersinar
o aku yang diam
tak ada jalan menuju ke sana
menuju gemercik sinar
menuju diamku yang bersinar
selain keberanian hidup tak ingin aku jalani
selain perjuangan tak ingin aku persembahkan
selain kebahagiaan tak ingin aku katakan
diamku memercik di langit
bintang bintang yang berkedip
bunuh luka dan sedihku dengan sinarmu
sebab tanpa bayangan
aku ingin mati tenang di dadamu
yogyakarta, 2009
Minggu, 28 Februari 2010
CATATAN KECIL FEBRUARI 2010
/1/
Sebelum di Jogja aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Namun ketika aku sedikit sadar aku curhat kepada semua orang termasuk keluarga dan teman-temanku. Jawaban keluarga sangat sederhana: “stabilkan apa yang ada pada dirimu sendiri. Kan kau pernah bilang bahwa dalam diri seseorang ada tiga kekuatan, yang pertama spiritual, intelektul dan emosional. Seimbangkan tiga kekayaan itu kau akan sembuh”. Sedangkan sebagian dari teman-teman jawabannya sama dan ada yang beda. Affan adalah adik seorang penyair M. Faizi (Faizi Elkaelan) yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumahku, kira-kira 30 meter. Aku ceritakan semuannya dan dia menyimpulkan bahwa aku mengalami skizofrenia tetapi belum parah.
/2/
Banyak orang (teman-teman) yang meganjurkanku untuk tidak membaca dan menulis sementara waktu. Karena kalau aku memaksa melakukan kebiasaan-kebiasaanku, aku akan mengalami halusinasi dan delusi lagi dan akhirnya aku akan skizofrenia. Tetapi kalau aku tidak membaca dan menulis logikaku tidak jalan, stagnan. Kalau membaca dan menulis aku juga tidak akan sembuh. Untuk sementara aku akan mengikuti anjuran-anjuran teman-temanku karena mereka juga pernah mengalami apa yang aku alami saat ini. Aku harus istirahat 3 atan 4 bulan. Setelah itu aku akan melakukan kebiasaan-kebiasaanku dan mengatur ruang dan waktunya. Sekarang aku ingin benar-benar memahami apa terjadi pada diriku tanpa membaca dan menulis kecuali hal-hal yang menyenangkan diriku termasuk menulis catatan kecil ini.
/3/
Aku hanya ingin ketawa dengan obrolan-obrolan yang membangkitkanku dari keterlemparanku dari realitas yang sebenarnya. Kini, aku berada dalam dunia yang entah. Mungkin antara sadar dan tidak sadar. Aku akan menhadapinya melalui kata yang sangat sederhana: “lawan!”, “semuanya tidak ada!”, dan “selamat tinggal untukmu!”.
/4/
Jika aku ingat semua ketidaksadaranku, betapa lucu, ngeri, dan menakutkan ketidaksadaran itu. Semua orang pasti mengalaminya…dan dalam ketidaksadaranku hanya kaulah yang benar-benar nyata. Mungkin karena kau adalah cahaya hidayahku yang terangkat pada lubuk labirinku yang hanya akulah juga yang tahu.
Sebelum di Jogja aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Namun ketika aku sedikit sadar aku curhat kepada semua orang termasuk keluarga dan teman-temanku. Jawaban keluarga sangat sederhana: “stabilkan apa yang ada pada dirimu sendiri. Kan kau pernah bilang bahwa dalam diri seseorang ada tiga kekuatan, yang pertama spiritual, intelektul dan emosional. Seimbangkan tiga kekayaan itu kau akan sembuh”. Sedangkan sebagian dari teman-teman jawabannya sama dan ada yang beda. Affan adalah adik seorang penyair M. Faizi (Faizi Elkaelan) yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumahku, kira-kira 30 meter. Aku ceritakan semuannya dan dia menyimpulkan bahwa aku mengalami skizofrenia tetapi belum parah.
/2/
Banyak orang (teman-teman) yang meganjurkanku untuk tidak membaca dan menulis sementara waktu. Karena kalau aku memaksa melakukan kebiasaan-kebiasaanku, aku akan mengalami halusinasi dan delusi lagi dan akhirnya aku akan skizofrenia. Tetapi kalau aku tidak membaca dan menulis logikaku tidak jalan, stagnan. Kalau membaca dan menulis aku juga tidak akan sembuh. Untuk sementara aku akan mengikuti anjuran-anjuran teman-temanku karena mereka juga pernah mengalami apa yang aku alami saat ini. Aku harus istirahat 3 atan 4 bulan. Setelah itu aku akan melakukan kebiasaan-kebiasaanku dan mengatur ruang dan waktunya. Sekarang aku ingin benar-benar memahami apa terjadi pada diriku tanpa membaca dan menulis kecuali hal-hal yang menyenangkan diriku termasuk menulis catatan kecil ini.
/3/
Aku hanya ingin ketawa dengan obrolan-obrolan yang membangkitkanku dari keterlemparanku dari realitas yang sebenarnya. Kini, aku berada dalam dunia yang entah. Mungkin antara sadar dan tidak sadar. Aku akan menhadapinya melalui kata yang sangat sederhana: “lawan!”, “semuanya tidak ada!”, dan “selamat tinggal untukmu!”.
/4/
Jika aku ingat semua ketidaksadaranku, betapa lucu, ngeri, dan menakutkan ketidaksadaran itu. Semua orang pasti mengalaminya…dan dalam ketidaksadaranku hanya kaulah yang benar-benar nyata. Mungkin karena kau adalah cahaya hidayahku yang terangkat pada lubuk labirinku yang hanya akulah juga yang tahu.
Jumat, 08 Januari 2010
AYAT-AYAT HIDUP PADA HIDUPKU YANG ANEH
Orang Tuaku:
“Sejak kecil kau jarang bisa diatur. Kau suka melakukan sesuatu yang aku tidak sukai. Kau pindah-pindah sekolah. Kau pindah-pindah kampus. Sekarang kau sudah bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Pilihlah jalanmu agar kau bisa mengerti seperti apa hidupmu ini. Kehidupan yang sebenarnya bukan yang ada di kepalamu. Ingat hormati dan hargai orang lain.”
Mas Zainal Arifin Thoha:
“Jalanmu terkadang cepat, terkadang lambat. Doakanlah kedua orang tuamu karena dengan kau mendoakannya jalanmu akan seimbang.”
Mbak Maya Oktaviani:
“Jalinlah kebersamaan di mana pun kau berada. Anggap semua orang adalah keluargamu.”
Kak Kuswaidi Syafi’ei:
“Jangan pernah memaksakan sesuatu yang berada dalam dirimu. Biarkan semuanya mengalir saja.”
Faisal Kamandobat:
“Jadilah dirimu sendiri. Jangan terlalu obsesif dan kompulsif. Dunia tidak selebar daun kelor dan sedalam gelas.”
Salman Rusydie Anwar:
“Kau seorang anak kecil yang suka bermain layang-layang. Jika putus kau mengejarnya hingga kau tersesat. Kau lurus dalam ketersesatanmu.”
Ahmad Muchlis Amrin:
“Ide ditemukan bukan dari realitas nyata saja tetapi juga realitas yang tidak nyata. Temukan semua itu dalam dirimu. Pertahankan karyamu!”
Loye:
“Aku tahu puisimu pernah dimuat di tempo dan jawa pos. Tetapi sayang kau tidak jujur kepada dirimu sendiri. Kau selalu menutup diri dengan merubah-rubah namamu atau memberi jarak terhadap orang lain, terutama perempuan. Kau takut disebut penyair. Keberanian terbuka itu harus ada. Penyair sejati harus terbuka dan jujur pada dirinya sendiri.”
Indrian Koto:
“Ah, itu hanya bayang-bayangmu saja. Tulis… tulis… Menjadi sesuatu yang bukan bayang-bayang.”
Mutia Sukma:
“Dasar orang aneh! Bagus itu puisi!”
Retno Iswandari:
“Semuanya akan selesai. Semangat. Semangat…”
Rumianti:
“Kau selalu bermain-main dengan imajinasimu hingga dunia ini terasa fiktif bagimu. Bagus. Tetapi jangan tersesat.”
Bernando J Sujibto:
“Bagus kalau kau sudah menentukan jalanmu dalam kematian. Namun, alangkah baiknya jika kau belajar ciuman dengan seorang perempuan.”
Yusriyanto Elga:
“Kegelisahan dan kegilaanmu yang akan menentukan dunia dan arah hidupmu. Maka, jangan pernah menyia-nyiakannya.”
Hilal Alifi:
“Peggat (gila) atau mati!”
Ridwan Munawar:
“Kau adalah kengerian dunia. Seperti yang kau katakan, menulis adalah sebuah ketidaknormalan. Ngeri bung!”
Dwi Cipta:
“Jika menulis puisi macet. Banyaklah membaca puisi. Aku adalah penulis yang malas.”
Farah Tamami:
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Jangan pernah takut untuk memulai.”
Muhamad Basyir:
“Hidup seperti apa pun harus dijalani seperti juga berkarya. Maka hidup dan berkaryalah selagi kau bisa.”
Muchlis Zya Aufa:
“Karya apa pun adalah perjalanan spiritual penulisnya. Teruslah menulis suatu saat kau akan menemukan apa yang kau cari atau sesuatu yang tak ingin kau cari yang benar-benar berarti bagi drimu.”
Mahfud Sayuti:
“Kau jangan berhenti menulis. Kau berbakat. Aku akan selalu membaca karya-karyamu.”
Arif Muhamad:
“Mulai dulu kau tidak pernah berhenti gelisah. Bagus itu puisi.”
Mahwi Air Tawar:
“Karya itu adalah apa yang kau rasakan dan terjadi dalam hidupmu. Jika kau takut tulilah tentang ketakutan. Pokoknya semuanya yang terjadi dalam hidupmu, tulis.”
Muhamad Ali Fakih Ar:
“Aku takut kau bunuh diri dengan kegilaanmu. Menulis puisi saja. Mungkin semuanya akan selesai.”
Muhibuddin:
“Kau manusia absurd. Super gelisah. Hidup antara nyata dan tidak nyata. Aku suka jika seperti kamu.”
Nick Rasyid:
“Kegelisahanmu selalu tidak nyata. Cobalah sekali-kali kau sentuh payudara perempuan. Jangan habiskan waktumu untuk menulis puisi. Adakalanya kau benar-benar kembali pada realitas yang nyata.”
Valentina Febriani:
“Kau lucu dan gila. Mungkin karena itu kau bisa menulis puisi.”
Fathollah Elsyaf:
“Yang tidak dipunyai teman-teman adalah kegilaanmu dalam menulis puisi. Kau gila man!”
Fajri Andika:
“Kau gila. Benar-benar gila. Makanya sering tidak nyambung dengan realitas. Mungkin begitu proses pencarian diksi untuk puisimu.”
Rocky:
“Pertama kali bertemu denganmu, satu sisi aku merasa risih karena ketawa terus, pada sisi lain aku merasa damai karena kata-katamu.”
Rahem:
“Kau orang gila yang baik hati dan tidak sombong. Jika ada orang yang mengatakan kau tidak baik dan sombong berarti mereka belum tahu logika tawa. Jelaslah mereka belum kreatif.”
Najamuddin Muhamad:
“Antara karya dan kehidupan sesuai dan sejalan. Kau jujur bukan dalam berkarya tetapi juga hidup.”
Selendang Sulaiman:
“Kau orang aneh yang muter-muter di kepalaku. Seperti aku menulis cerpen saja.”
Adikusno:
“Kau adalah sastra. Tidak usah resah kalau hanya tidak bisa nulis.”
Juma’ Darma Putra:
“Kau benar-benar peggat (gila) dan itu sastra. Jangan putus asa hanya untuk kata-kata.”
Rusdi Punk:
“Tuhan, telah menciptakanmu dengan keanehan dan kegilaan. Jadi, syukuri saja.”
Zen:
“Bang, hidupmu aneh dan penuh kegilaan. Tidak banyak orang sepertimu.”
As’adi M Samilona:
“Jika kegilaanmu mengajakmu untuk bunuh diri, mendingan jangan nulis puisi. Menulis yang lain saja, seperti cerpen, esai, atau resensi.”
M Sanusi:
“Hidupmu seperti tokoh novel atau film. Jadikan itu kekuatan untuk karya-karyamu.”
Fathor Rasyid:
“Sering kali kau ingin bunuh diri gara-gara hanya tidak bisa konsen baca buku dan tidak bisa menulis kau akan bunuh diri. Kau tahu, aku hanya tersenyum melihatmu. Sebab kau terlalu berambisi untuk bersentuhan dengan Tuhan.”
Rahmat Fajar:
“Aku suka tawamu yang menggila. Lebis puitis dari puisimu. Maka ketawalah!”
Wian:
“Aku tidak bisa mengobatimu. Menulislah mungkin itu obat penyakit jiwamu.”
Sunlie Thomas Alexander:
“Suaramu bergetar. Dahsyat.”
M Yunus BS:
“ Lanjutkan kegilaanmu. Biarkan orang tidak mengerti. Itu bukan urusanmu.”
“Sejak kecil kau jarang bisa diatur. Kau suka melakukan sesuatu yang aku tidak sukai. Kau pindah-pindah sekolah. Kau pindah-pindah kampus. Sekarang kau sudah bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Pilihlah jalanmu agar kau bisa mengerti seperti apa hidupmu ini. Kehidupan yang sebenarnya bukan yang ada di kepalamu. Ingat hormati dan hargai orang lain.”
Mas Zainal Arifin Thoha:
“Jalanmu terkadang cepat, terkadang lambat. Doakanlah kedua orang tuamu karena dengan kau mendoakannya jalanmu akan seimbang.”
Mbak Maya Oktaviani:
“Jalinlah kebersamaan di mana pun kau berada. Anggap semua orang adalah keluargamu.”
Kak Kuswaidi Syafi’ei:
“Jangan pernah memaksakan sesuatu yang berada dalam dirimu. Biarkan semuanya mengalir saja.”
Faisal Kamandobat:
“Jadilah dirimu sendiri. Jangan terlalu obsesif dan kompulsif. Dunia tidak selebar daun kelor dan sedalam gelas.”
Salman Rusydie Anwar:
“Kau seorang anak kecil yang suka bermain layang-layang. Jika putus kau mengejarnya hingga kau tersesat. Kau lurus dalam ketersesatanmu.”
Ahmad Muchlis Amrin:
“Ide ditemukan bukan dari realitas nyata saja tetapi juga realitas yang tidak nyata. Temukan semua itu dalam dirimu. Pertahankan karyamu!”
Loye:
“Aku tahu puisimu pernah dimuat di tempo dan jawa pos. Tetapi sayang kau tidak jujur kepada dirimu sendiri. Kau selalu menutup diri dengan merubah-rubah namamu atau memberi jarak terhadap orang lain, terutama perempuan. Kau takut disebut penyair. Keberanian terbuka itu harus ada. Penyair sejati harus terbuka dan jujur pada dirinya sendiri.”
Indrian Koto:
“Ah, itu hanya bayang-bayangmu saja. Tulis… tulis… Menjadi sesuatu yang bukan bayang-bayang.”
Mutia Sukma:
“Dasar orang aneh! Bagus itu puisi!”
Retno Iswandari:
“Semuanya akan selesai. Semangat. Semangat…”
Rumianti:
“Kau selalu bermain-main dengan imajinasimu hingga dunia ini terasa fiktif bagimu. Bagus. Tetapi jangan tersesat.”
Bernando J Sujibto:
“Bagus kalau kau sudah menentukan jalanmu dalam kematian. Namun, alangkah baiknya jika kau belajar ciuman dengan seorang perempuan.”
Yusriyanto Elga:
“Kegelisahan dan kegilaanmu yang akan menentukan dunia dan arah hidupmu. Maka, jangan pernah menyia-nyiakannya.”
Hilal Alifi:
“Peggat (gila) atau mati!”
Ridwan Munawar:
“Kau adalah kengerian dunia. Seperti yang kau katakan, menulis adalah sebuah ketidaknormalan. Ngeri bung!”
Dwi Cipta:
“Jika menulis puisi macet. Banyaklah membaca puisi. Aku adalah penulis yang malas.”
Farah Tamami:
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Jangan pernah takut untuk memulai.”
Muhamad Basyir:
“Hidup seperti apa pun harus dijalani seperti juga berkarya. Maka hidup dan berkaryalah selagi kau bisa.”
Muchlis Zya Aufa:
“Karya apa pun adalah perjalanan spiritual penulisnya. Teruslah menulis suatu saat kau akan menemukan apa yang kau cari atau sesuatu yang tak ingin kau cari yang benar-benar berarti bagi drimu.”
Mahfud Sayuti:
“Kau jangan berhenti menulis. Kau berbakat. Aku akan selalu membaca karya-karyamu.”
Arif Muhamad:
“Mulai dulu kau tidak pernah berhenti gelisah. Bagus itu puisi.”
Mahwi Air Tawar:
“Karya itu adalah apa yang kau rasakan dan terjadi dalam hidupmu. Jika kau takut tulilah tentang ketakutan. Pokoknya semuanya yang terjadi dalam hidupmu, tulis.”
Muhamad Ali Fakih Ar:
“Aku takut kau bunuh diri dengan kegilaanmu. Menulis puisi saja. Mungkin semuanya akan selesai.”
Muhibuddin:
“Kau manusia absurd. Super gelisah. Hidup antara nyata dan tidak nyata. Aku suka jika seperti kamu.”
Nick Rasyid:
“Kegelisahanmu selalu tidak nyata. Cobalah sekali-kali kau sentuh payudara perempuan. Jangan habiskan waktumu untuk menulis puisi. Adakalanya kau benar-benar kembali pada realitas yang nyata.”
Valentina Febriani:
“Kau lucu dan gila. Mungkin karena itu kau bisa menulis puisi.”
Fathollah Elsyaf:
“Yang tidak dipunyai teman-teman adalah kegilaanmu dalam menulis puisi. Kau gila man!”
Fajri Andika:
“Kau gila. Benar-benar gila. Makanya sering tidak nyambung dengan realitas. Mungkin begitu proses pencarian diksi untuk puisimu.”
Rocky:
“Pertama kali bertemu denganmu, satu sisi aku merasa risih karena ketawa terus, pada sisi lain aku merasa damai karena kata-katamu.”
Rahem:
“Kau orang gila yang baik hati dan tidak sombong. Jika ada orang yang mengatakan kau tidak baik dan sombong berarti mereka belum tahu logika tawa. Jelaslah mereka belum kreatif.”
Najamuddin Muhamad:
“Antara karya dan kehidupan sesuai dan sejalan. Kau jujur bukan dalam berkarya tetapi juga hidup.”
Selendang Sulaiman:
“Kau orang aneh yang muter-muter di kepalaku. Seperti aku menulis cerpen saja.”
Adikusno:
“Kau adalah sastra. Tidak usah resah kalau hanya tidak bisa nulis.”
Juma’ Darma Putra:
“Kau benar-benar peggat (gila) dan itu sastra. Jangan putus asa hanya untuk kata-kata.”
Rusdi Punk:
“Tuhan, telah menciptakanmu dengan keanehan dan kegilaan. Jadi, syukuri saja.”
Zen:
“Bang, hidupmu aneh dan penuh kegilaan. Tidak banyak orang sepertimu.”
As’adi M Samilona:
“Jika kegilaanmu mengajakmu untuk bunuh diri, mendingan jangan nulis puisi. Menulis yang lain saja, seperti cerpen, esai, atau resensi.”
M Sanusi:
“Hidupmu seperti tokoh novel atau film. Jadikan itu kekuatan untuk karya-karyamu.”
Fathor Rasyid:
“Sering kali kau ingin bunuh diri gara-gara hanya tidak bisa konsen baca buku dan tidak bisa menulis kau akan bunuh diri. Kau tahu, aku hanya tersenyum melihatmu. Sebab kau terlalu berambisi untuk bersentuhan dengan Tuhan.”
Rahmat Fajar:
“Aku suka tawamu yang menggila. Lebis puitis dari puisimu. Maka ketawalah!”
Wian:
“Aku tidak bisa mengobatimu. Menulislah mungkin itu obat penyakit jiwamu.”
Sunlie Thomas Alexander:
“Suaramu bergetar. Dahsyat.”
M Yunus BS:
“ Lanjutkan kegilaanmu. Biarkan orang tidak mengerti. Itu bukan urusanmu.”
Kamis, 07 Januari 2010
TAK ADA BAHASA, YANG ADA HANYA KAMU
Tuhan, saat ini aku membencimu lagi. Karena aku tak bisa menulis apa yang ingin aku tulis. Bahasa hilang karena hanya Dirimu yang mampu aku rasakan. Sudah banyak buku yang aku baca. Sudah sering aku berbaur dengan orang yang ada di sekelilingku. Sudah sering pula aku belajar pada orang lain dalam setiap keadaan namun yang ada hanya Kamu. Mengapa Kamu selalu berada dalam teka-teki dan ingin menjadi teka-teki dalam hidupku? Jika Kamu yang menciptakan bahasa mengapa Kamu menciptakanku? Apakah Kamu memberi potensiku hanya untuk memahami Dirimu? Ke mana pun yang ada hanya Kamu.
Tuhan, aku ingin memahami Dirimu dengan memahami ciptaanMu tetapi bukan begini caranya. Aku punya cara sendiri tetapi sekarang Kamu malah menggantinya dengan mengharuskanku untuk merasakan dan memikirkan Dirimu. Pikiranku hanya Dirimu. Hatiku hanya Dirimu. Aku tidak mampu membuangnya. Aku tidak mampu lepas dari Dirimu seperti dulu. Aku tidak mampu memberontak pada Dirimu lagi.
Banyak orang yang memberontakMu. Mereka menganggap dirinya kuat, padahal tidak. Karena yang menciptakan dirinya adalah Dirimu. Aku tahu itu karena pikiranku pernah memberontakMu dan aku tidak menemukan jalan keluarnya kecuali harus meredam ego untuk disesuaikan dengan perjalan di langit dan di bumi. Aku serahkan semuanya padamu karena aku lemah di hadapanMu. Tuhan, dunia ini absurd, Kamu juga absurd. Dan kini aku hanya bisa menciptakan sajak yang tidak aku sukai.
Kupanggil Engkau dalam Diriku
segala yang mati segala yang hidup
segala yang menyusup pada diriku
segalanya yang engkau berdetak dalam tubuhku
segalanya padaku
padamu aku tak menemukan arah dan jalanku
karena segalanya adalah engkau
kupanggil engkau dalam diriku
namun segalanya hanyalah aku
kupanggil engkau dalam diriku berkali kali
tetap saja yang ada hanyalah aku
Yogyakarta, 03-01-10
Tuhan, aku ingin memahami Dirimu dengan memahami ciptaanMu tetapi bukan begini caranya. Aku punya cara sendiri tetapi sekarang Kamu malah menggantinya dengan mengharuskanku untuk merasakan dan memikirkan Dirimu. Pikiranku hanya Dirimu. Hatiku hanya Dirimu. Aku tidak mampu membuangnya. Aku tidak mampu lepas dari Dirimu seperti dulu. Aku tidak mampu memberontak pada Dirimu lagi.
Banyak orang yang memberontakMu. Mereka menganggap dirinya kuat, padahal tidak. Karena yang menciptakan dirinya adalah Dirimu. Aku tahu itu karena pikiranku pernah memberontakMu dan aku tidak menemukan jalan keluarnya kecuali harus meredam ego untuk disesuaikan dengan perjalan di langit dan di bumi. Aku serahkan semuanya padamu karena aku lemah di hadapanMu. Tuhan, dunia ini absurd, Kamu juga absurd. Dan kini aku hanya bisa menciptakan sajak yang tidak aku sukai.
Kupanggil Engkau dalam Diriku
segala yang mati segala yang hidup
segala yang menyusup pada diriku
segalanya yang engkau berdetak dalam tubuhku
segalanya padaku
padamu aku tak menemukan arah dan jalanku
karena segalanya adalah engkau
kupanggil engkau dalam diriku
namun segalanya hanyalah aku
kupanggil engkau dalam diriku berkali kali
tetap saja yang ada hanyalah aku
Yogyakarta, 03-01-10
Jumat, 01 Januari 2010
CATATAN KECIL DESEMBER 09
1.
Jika apa yang ada di hatiku salah dan tidak ada berarti Tuhan juga salah dan tidak ada. Aku tidak akan mempercayainya lagi sebelum Dia menunjukkan kebenarannya di hatiku.
2.
Perubahan di mulai dari dalam diri sendiri. Dan harus diingat setiap perubahan akan mendapatkan sanjungan dan kebencian.
3.
Orang lain boleh menyalahkan dan membenarkanku. Orang lain boleh membenci dan menyukaiku. Tetapi jangan pernah menyimpulkan apa yang pernah aku pikirkan dan apa yang aku lakukan karena ia akan menemukan kekacauan.
4.
Kita dilahirkan sebagai manusia. Maka, hidup dan belajarlah jadi manusia.
5.
Jika ada yang bertanya kepadaku, apakah dunia ini realistis? Aku akan jawab, dunia ini menampakkan dirinya tidak begitu realistis.
6.
Aku hanya petasan. Jika aku meledak orang-orang mencari sisa ledakanku. Oh, betapa bingungnya mereka dan aku selalu ingin ketawa.
7.
Aku memaklumi kalau banyak orang tidak mempercayaiku, karena aku orang hebat.
8.
Perempuan selalu memberi jalan bagaimana aku bisa seimbang dalam hidup. Dan kuanggap dia sebagai teman spiritualku.
9.
Dunia hanya pentas musik. Aku ingin memainkan sebuah lagu agar aku mengerti kemanusianku.
10.
Dalam menulis aku benar-benar merasakan apa yang sedang aku tulis. Setelah aku selesai menulisnya, aku merasakan ketakutan dan kelucuan yang membuat aku selalu ketawa.
11.
Orang mengalah bukan berarti kalah melainkan karena dia telah menemukan sesuatu yang sangat berarti daripada harus berperang.
12.
Telah aku berikan apa yang telah aku mampu berikan padamu. Jika kau belum puas kekurangan itu ada padamu.
13.
Jika aku melebihi pikiran dan materi, lalu apa yang nyata?
14.
Hidup ini tujuh puluh lima persen adalah dibentuk oleh perkiraan-perkiraan kita sendiri.
15.
Aku selalu bersenang-senang dengan imajinasiku. Kau boleh percaya dan tidak mempercayainya. Karena terkadang aku menginginkan dunia ini nampak fiktif.
16.
Saat ini pahamilah tubuh sebagai media, kau akan tahu seperti apa makhluk kebohongan itu.
17.
Intertaimen adalah aktifitas yang membosankan dan membodohkan tapi masih banyak juga orang yang menyukainya.
18.
Dunia ini begitu absurd dan banyak orang menjalaninya dengan harus bunuh diri tapi aku beruntung masih punya hati yang bisa memahaminya.
19.
Ketika kau menertawakan orang lain kau tak pernah menyadarinya kalau kau menertawakan dirimu sendiri. Kau menganggap dirimu sempurna padahal untuk melakukan apa yang kau inginkan saja kau tak mampu apa-apa. Apa yang kau nilai tentang orang lain itulah dirimu. Kelemahanmu adalah kau tak pernah mengetahui dirimu sendiri kecuali pakaiaanmu.
20.
Mereka selalu mempercayai apa yang aku katakan dan tak pernah bertanya apa maksudnya. Bahasa adalah kebohongan meski aku bukan pembohong. Dan mereka mengejek dirinya sendiri.
21.
Orang waras adalah orang gila yang tahu bahwa dirinya gila sedangkan orang yang benar-benar gila adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya gila.
22.
Apa yang berlalu berarti telah luput dan yang pergi berarti telah mati. Maka aku tak akan memikirkan semua yang telah berlalu karena ia telah pergi dan berakhir.
Jika apa yang ada di hatiku salah dan tidak ada berarti Tuhan juga salah dan tidak ada. Aku tidak akan mempercayainya lagi sebelum Dia menunjukkan kebenarannya di hatiku.
2.
Perubahan di mulai dari dalam diri sendiri. Dan harus diingat setiap perubahan akan mendapatkan sanjungan dan kebencian.
3.
Orang lain boleh menyalahkan dan membenarkanku. Orang lain boleh membenci dan menyukaiku. Tetapi jangan pernah menyimpulkan apa yang pernah aku pikirkan dan apa yang aku lakukan karena ia akan menemukan kekacauan.
4.
Kita dilahirkan sebagai manusia. Maka, hidup dan belajarlah jadi manusia.
5.
Jika ada yang bertanya kepadaku, apakah dunia ini realistis? Aku akan jawab, dunia ini menampakkan dirinya tidak begitu realistis.
6.
Aku hanya petasan. Jika aku meledak orang-orang mencari sisa ledakanku. Oh, betapa bingungnya mereka dan aku selalu ingin ketawa.
7.
Aku memaklumi kalau banyak orang tidak mempercayaiku, karena aku orang hebat.
8.
Perempuan selalu memberi jalan bagaimana aku bisa seimbang dalam hidup. Dan kuanggap dia sebagai teman spiritualku.
9.
Dunia hanya pentas musik. Aku ingin memainkan sebuah lagu agar aku mengerti kemanusianku.
10.
Dalam menulis aku benar-benar merasakan apa yang sedang aku tulis. Setelah aku selesai menulisnya, aku merasakan ketakutan dan kelucuan yang membuat aku selalu ketawa.
11.
Orang mengalah bukan berarti kalah melainkan karena dia telah menemukan sesuatu yang sangat berarti daripada harus berperang.
12.
Telah aku berikan apa yang telah aku mampu berikan padamu. Jika kau belum puas kekurangan itu ada padamu.
13.
Jika aku melebihi pikiran dan materi, lalu apa yang nyata?
14.
Hidup ini tujuh puluh lima persen adalah dibentuk oleh perkiraan-perkiraan kita sendiri.
15.
Aku selalu bersenang-senang dengan imajinasiku. Kau boleh percaya dan tidak mempercayainya. Karena terkadang aku menginginkan dunia ini nampak fiktif.
16.
Saat ini pahamilah tubuh sebagai media, kau akan tahu seperti apa makhluk kebohongan itu.
17.
Intertaimen adalah aktifitas yang membosankan dan membodohkan tapi masih banyak juga orang yang menyukainya.
18.
Dunia ini begitu absurd dan banyak orang menjalaninya dengan harus bunuh diri tapi aku beruntung masih punya hati yang bisa memahaminya.
19.
Ketika kau menertawakan orang lain kau tak pernah menyadarinya kalau kau menertawakan dirimu sendiri. Kau menganggap dirimu sempurna padahal untuk melakukan apa yang kau inginkan saja kau tak mampu apa-apa. Apa yang kau nilai tentang orang lain itulah dirimu. Kelemahanmu adalah kau tak pernah mengetahui dirimu sendiri kecuali pakaiaanmu.
20.
Mereka selalu mempercayai apa yang aku katakan dan tak pernah bertanya apa maksudnya. Bahasa adalah kebohongan meski aku bukan pembohong. Dan mereka mengejek dirinya sendiri.
21.
Orang waras adalah orang gila yang tahu bahwa dirinya gila sedangkan orang yang benar-benar gila adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya gila.
22.
Apa yang berlalu berarti telah luput dan yang pergi berarti telah mati. Maka aku tak akan memikirkan semua yang telah berlalu karena ia telah pergi dan berakhir.
Spiritualitas Eksistensialisme Ahmad Wahib
“Aku belum tahu Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Nastir, Islam menurut Abduh, Islam menurut ulama-ulama kuno, Islam menurut Djohan, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain-lain. Dan terus terang aku tidak puas. Yang kucari belum kutemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah pembuatnya. Bagaimana? Langsung studi dari al-Quran dan as-Sunah? Akan kucoba. Tetapi orang-orang lain pun akan beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!.”
Keyakinan sehari-hari dalam masyarakat berpendidikan, kita telah mendengar dan menjadi perbincangan bahwa spiritualitas dan eksistensialisme merupakan hal yang berbeda. Spiritualitas adalah sebuah jangkauan kerohanian yang dilakukan oleh kaum sufi atau kaum rohaniawan yang berkecimpung dalam ilmu keagamaan. Sedangkan eksistensialisme adalah sebuah aliran kefilsafatan yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Di mana ia bebas memilih menerima dan menolak segala hal yang berada di luar dan dalam dirinya. Namun, dalam perjalanannya seperti apa yang dikatakan oleh tokoh eksistensialisme, Kierkegaar, cara manusia bereksistensi meliputi tiga sikap yaitu, estetis, etis dan religius. Nah, Wahib sebagaimana yang telah terangkum dalam keseluruhan catatan hariannya meliputi hal tersebut.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas sikap estetis dan etisnya akan tetapi pada sikap religiusnya yang mana telah melahirkan ide-ide yang sangat brilian dalam kancah pemikiran Islam Indonesia. Tema penting untuk memahami Wahib dalam konteks pemikiran Islam adalah pada sikap religiusitasnya. Penentangan Wahib terhadap agama sebenarnya bukan penentangan terhadap agama itu sendiri. Akan tetapi, penentangannya terhadap agama dalam artian sosiologis di mana agama itu hidup dan berkembang. Dan catatan kecil di atas adalah merupakan gambaran Wahib sebagai sosok esksistensialis yang mencari kebenaran spiritualnya, baik dalam nilai teoritis dan praksisnya. Mungkin ini yang saya sebut dengan spiritualitas eksistesialisme, di mana seseorang mencari kebenaran tentang keagamaannya dalam realitas sosialnya melalui pertanyaan menyangkut tentang keberadaan keberagamaan dan kediriannya.
Wahib dalam pencariannya menyangkut hal tersebut dapat dilihat dalam bagaimana ia membangun kerangka epistemologinya. Ia memahami Islam sebagai yang universal atau ideal dan kondisional. Menurutnya Islam universal atau ideal adalah Islam yang terangkum dalam keseluruhan pesan Tuhan (wahyu), sedangkan Islam kondisional adalah Islam yang berada dalam kondisi masa dan masyarakat tertentu. Dari sini, ia merumuskan beberapa rumusan yang pernah didiskusikannya dengan kelompok diskusinya di rumah Dawam Raharjo. Pertama, tidak mengidentikkan Islam dengan al-Quran. Kedua, al-Quran adalah abstrak. Ketiga, al-Quran adalah wajah Islam terbaik untuk zamannya. Keempat, sumber memahami Islam adalah sejarah Muhammad.
Dari konsepnya di atas banyak orang mengatakan bahwa konsepnya tersebut adalah merupakan pembaruan Islam di Indonesia karena ia beruhasa untuk merombak, menyegarkan, dan memperbaharuhi pemikiran Islam di Indonesia. Dan Greg Barton yang dalam bukunya telah mengklasifikasikan beberapa pemikir neo-modernisme di Indonesia, yang salah satunya adalah Wahib. Bahkan sebagian pakar ada yang menyetarakannya dengan Muhammad Iqbal dan Muhammad Abduh.
Namun, bagi saya apa yang dilakukan oleh Wahib adalah sebuah langkah penyelesaian seorang manusia dalam mencari kebenaran yang absolut dengan potensinya yaitu, berpikir. Seperti apa yang dikatakan oleh Gabriel Marcel bahwa kebenaran sebagai sebuah nilai hanya ada pada sebuah layar dalam akal untuk memasuki dunia transenden. Ini telah dilakukan oleh Wahib, yang dimulainya dengan pemikiran absurdnya serupa dengan tokoh yang diciptakan oleh Albert Camus, Meursault dalam novelnya “Orang Asing”, yang segalanya dipertanyakan. Sedikit berbeda dengan Albert Camus, Wahib tidak mempertanyakan Tuhan, ia mempertanyakan apa yang diciptakan oleh Tuhan dalam lingkup kemanusiaan dengan jalan memberikan sebuah celah pemikiran demi berkembangnya spiritual dan eksistensinya. Mungkin dari situ apa yang dilakukan oleh Wahib pantas saya sebut spritualitas eksistensialisme dari seorang manusia. Wassalam!
Keyakinan sehari-hari dalam masyarakat berpendidikan, kita telah mendengar dan menjadi perbincangan bahwa spiritualitas dan eksistensialisme merupakan hal yang berbeda. Spiritualitas adalah sebuah jangkauan kerohanian yang dilakukan oleh kaum sufi atau kaum rohaniawan yang berkecimpung dalam ilmu keagamaan. Sedangkan eksistensialisme adalah sebuah aliran kefilsafatan yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Di mana ia bebas memilih menerima dan menolak segala hal yang berada di luar dan dalam dirinya. Namun, dalam perjalanannya seperti apa yang dikatakan oleh tokoh eksistensialisme, Kierkegaar, cara manusia bereksistensi meliputi tiga sikap yaitu, estetis, etis dan religius. Nah, Wahib sebagaimana yang telah terangkum dalam keseluruhan catatan hariannya meliputi hal tersebut.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas sikap estetis dan etisnya akan tetapi pada sikap religiusnya yang mana telah melahirkan ide-ide yang sangat brilian dalam kancah pemikiran Islam Indonesia. Tema penting untuk memahami Wahib dalam konteks pemikiran Islam adalah pada sikap religiusitasnya. Penentangan Wahib terhadap agama sebenarnya bukan penentangan terhadap agama itu sendiri. Akan tetapi, penentangannya terhadap agama dalam artian sosiologis di mana agama itu hidup dan berkembang. Dan catatan kecil di atas adalah merupakan gambaran Wahib sebagai sosok esksistensialis yang mencari kebenaran spiritualnya, baik dalam nilai teoritis dan praksisnya. Mungkin ini yang saya sebut dengan spiritualitas eksistesialisme, di mana seseorang mencari kebenaran tentang keagamaannya dalam realitas sosialnya melalui pertanyaan menyangkut tentang keberadaan keberagamaan dan kediriannya.
Wahib dalam pencariannya menyangkut hal tersebut dapat dilihat dalam bagaimana ia membangun kerangka epistemologinya. Ia memahami Islam sebagai yang universal atau ideal dan kondisional. Menurutnya Islam universal atau ideal adalah Islam yang terangkum dalam keseluruhan pesan Tuhan (wahyu), sedangkan Islam kondisional adalah Islam yang berada dalam kondisi masa dan masyarakat tertentu. Dari sini, ia merumuskan beberapa rumusan yang pernah didiskusikannya dengan kelompok diskusinya di rumah Dawam Raharjo. Pertama, tidak mengidentikkan Islam dengan al-Quran. Kedua, al-Quran adalah abstrak. Ketiga, al-Quran adalah wajah Islam terbaik untuk zamannya. Keempat, sumber memahami Islam adalah sejarah Muhammad.
Dari konsepnya di atas banyak orang mengatakan bahwa konsepnya tersebut adalah merupakan pembaruan Islam di Indonesia karena ia beruhasa untuk merombak, menyegarkan, dan memperbaharuhi pemikiran Islam di Indonesia. Dan Greg Barton yang dalam bukunya telah mengklasifikasikan beberapa pemikir neo-modernisme di Indonesia, yang salah satunya adalah Wahib. Bahkan sebagian pakar ada yang menyetarakannya dengan Muhammad Iqbal dan Muhammad Abduh.
Namun, bagi saya apa yang dilakukan oleh Wahib adalah sebuah langkah penyelesaian seorang manusia dalam mencari kebenaran yang absolut dengan potensinya yaitu, berpikir. Seperti apa yang dikatakan oleh Gabriel Marcel bahwa kebenaran sebagai sebuah nilai hanya ada pada sebuah layar dalam akal untuk memasuki dunia transenden. Ini telah dilakukan oleh Wahib, yang dimulainya dengan pemikiran absurdnya serupa dengan tokoh yang diciptakan oleh Albert Camus, Meursault dalam novelnya “Orang Asing”, yang segalanya dipertanyakan. Sedikit berbeda dengan Albert Camus, Wahib tidak mempertanyakan Tuhan, ia mempertanyakan apa yang diciptakan oleh Tuhan dalam lingkup kemanusiaan dengan jalan memberikan sebuah celah pemikiran demi berkembangnya spiritual dan eksistensinya. Mungkin dari situ apa yang dilakukan oleh Wahib pantas saya sebut spritualitas eksistensialisme dari seorang manusia. Wassalam!
Langganan:
Postingan (Atom)