Dalam kehidupan, kematian yang tak sempurna adalah karya besar yang jarang orang menemukannya. Sebuah keheningan yang terdalam dari hati seorang manusia.
Kamis, 23 September 2010
KEPADA WOOLF
Woolf, Penulis 'Gila', dan Kreativitas
Jumat, 7 Februari 1941. Virginia Woolf menulis di buku hariannya (belakangan dikumpulkan dalam A Writer's Diary): "Mengapa aku tertekan? Aku tak bisa mengingat...."
Hampir dua bulan sesudahnya, pada 28 Maret, penulis Inggris yang dianggap sebagai sosok terkemuka dalam sastra modern abad ke-20 itu menjejali saku bajunya dengan batu lalu menenggelamkan diri di Sungai Ouse di dekat rumahnya di Rodmell, Inggris.
Tak ada orang lain yang tahu. Ia tak tertolong. Woolf meninggalkan surat buat suaminya, Leonard, tentang keputusan nekatnya di usia 59 tahun itu: "Aku merasa pasti bahwa aku akan gila lagi: Aku merasa kita tak akan bisa melalui masa-masa buruk itu lagi.
Dan aku tak akan pulih lagi kali ini. Aku mulai mendengar suara-suara, dan sulit berkonsentrasi. Jadi aku melakukan apa yang kelihatannya paling baik aku lakukan. Kau telah memberiku kebahagiaan terbesar yang paling mungkin...."
Dua dasawarsa kemudian di belahan bumi lain, persisnya di Ketchum, Idaho, Amerika Serikat, Ernest Hemingway meledakkan pistol di kepalanya. Pagi itu, 2 Juli 1961, di usia 61 tahun, penulis beberapa novel yang kini dianggap klasik dalam kanon kesusastraan Amerika Serikat ini menambah deretan anggota keluarganya yang mengakhiri hidupnya sendiri -- termasuk ayahnya, Clarence Hemingway, dan dua saudara kandungnya, Ursula dan Leicester.
Dalam masa setahun terakhir sebelum kematiannya, Hemingway mengidap paranoia parah. Penerima Nobel bidang Sastra (1954) ini takut agen-agen Biro Penyelidik Federal (FBI) akan memburunya bila Kuba berpaling ke Rusia, bahwa Federal Reserve (bank sentral) akan memeriksa rekeningnya, dan bahwa mereka ingin menahannya karena imoralitas dan membawa- bawa minuman keras.
Dia sempat menjalani ECT (electroconvulsive therapy), satu cara perawatan untuk penderita penyakit mental berat, yang belakangan dia tuding sebagai penyebab paranoia pada dirinya. Woolf dan Hemingway sesungguhnya hanya bagian kecil dari sejarah yang mencatat riwayat penulis-penulis genius yang terus-menerus bergulat dengan gangguan mental.
Masuk dalam daftar panjang yang ada (sebagian berdasarkan dugaan) antara lain Edgar Allan Poe, Charles Dickens, Johann Goethe, dan Leo Tolstoy. Dibandingkan dengan yang lain, perjalanan hidup Woolf dan Hemingway tergolong yang berakhir dramatis -- mereka memilih bunuh diri untuk menghentikan penderitaan selamanya.
Mereka itu adalah orangorang kreatif yang sama-sama menderita bipolar disorder atau yang dikenal sebagai penyakit mania-depresi (manic-depression). Inilah penyakit yang mempengaruhi pikiran, perasaan, persepsi, dan perilaku...
bahkan bagaimana seseorang merasakan secara fisik (dikenal secara klinis sebagai psychosomatic presentation). Diduga penyebabnya adalah unsur-unsur elektrik dan kimia di otak yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, dan biasanya ditemukan pada orang dari keluarga yang punya riwayat penyakit mental.
Paling sering seorang penderita mania-depresi mengalami suasana hati (mood) yang berganti-ganti dari keadaan tinggike keadaan rendah dan kembali lagi, dengan derajat penderitaan yang bervariasi. Dua kutub bipolar disorder adalah mania dan depresi.
Keduanya adalah wujud paling sederhana dari penyakit ini. Woolf boleh dibilang contoh yang alami dan meyakinkan, terutama karena pada masanya perawatan secara khusus belum ada dan kebetulan catatan kondisi kesehatannya didokumentasikan dengan baik.
Ditambah buku hariannya sendiri, orang lalu bisa memperoleh gambaran tentang saat-saat ketika ia benar-benar limbung dan ketika enyakit-penyakit remehnya datang, bunuh dirinya, kepribadiannya, dan riwayat seksual dan keluarganya.
Dari buku hariannya, ia bukan saja mengatakan bahwa ia mengalami depresi, tapi juga akan "gila" lagi, dan mulai mendengar suara-suara. Ia tak bisa berkonsentrasi dan yakin ia tak bisa membaca atau menulis. Ia putus asa, merasa tak akan sembuh, dan berkeras bahwa keputusannya untuk mengakhiri hidupnya sendiri -- sebuah tindakan yang terencana dan dari tekad yang kuat (bukan impulsif) -- sangat beralasan.
Woolf, yang berasal dari keluarga dengan banyak penderita depresi, pertama kali mengalami gangguan kejiwaan parah pada usia 13 tahun. Sesudah itu ia beberapa kali mengalaminya lagi, pada usia 22, 28, 30 tahun. Antara 1913 dan 1915, dari usia 31 hingga 33 tahun, ia kerap sakit dan untuk waktu yang lama sampai ada kekhawatiran kegilaannya permanen.
Serangan-serangan ini membutuhkan perawatan medis berminggu-minggu, mengharuskannya istirahat total. Sepanjang sisa masa hidupnya ia mengalami perubahan suasana hati yang tak sampai ekstrem. Masa kanak-kanak Woolf memang tidak bahagia. Tapi para ahli berpendapat, kecil kemungkinan ada hubungan antara masa itu dan penyakit mania-depresinya.
Mereka lebih menduga riwayat keluarganya dan faktor genetis yang berperan. Apa pun, Woolf, Hemingway, Tolstoy, Poe, Dickens, dan lainlain adalah contoh gamblang betapa penyakit mania-depresi atau bipolar disorder lazim di kalangan penulis. Soal ini banyak terdapat dalam berbagai studi tentang kaitan antara kreativitas dan gangguan psikiatris.
Malah kreativitas ini tak selalu berarti sastra. Lewat studi selama 10 tahuh, Arnold M. Ludwig, peneliti Pusat Medis di University of Kentucky, menemukan antara 59-77 persen artis, penulis, dan musisi menderita penyakit mental (khususnya gangguan suasana hati) dibandingkan dengan hanya 18- 29 persen di kalangan profesional nonartis.
Dalam studi-studi yang ada sesudahnya, Woolf, seperti halnya para penulis lain yang dijadikan contoh, diketahui menghasilkan hanya sedikit karya atau malah nihil sama sekali sewaktu sakit, tapi justru produktif ketika mengalami serangan. Analisis Woolf sendiri mengenai kreativitasnya memperlihatkan bahwa penyakitnya -- periode-periode mania atau hipomania sesudahnya -- adalah sumber bahan untuk novel-novelnya.
Meski begitu, sebagaimana dikemukakan Kay Redfield Jamison, profesor psikiatri Sekolah Kedokteran di Johns Hopkins University, tidak berarti bisa disimpulkan bahwa orangorang kreatif ditakdirkan menjadi penderita depresi atau bahwa penyakit mental membuat orang lebih kreatif.
Dalam buku berjudul Touched With Fire: Manic Depressive Illness and the Artistic Temperament, Jamison menegaskan betapa mayoritas penderita depresi dan bipolar disorder sama sekali tak punya daya imajinasi yang luar biasa.
"Menganggap penyakit seperti itu biasanya menimbulkan bakat artistik secara keliru memperkuat pandangan serampangan tentang 'genius gila'," katanya. Jadi, mengapa persentase orang-orang kreatif yang menderita depresi dan bipolar disorder begitu tinggi? Apakah penyakit ini meningkatkan kreativitas pada orang-orang tertentu atau apakah karakteristik pikiran kreatif menambah kerentanan terhadap penyakit ini?
Tidak ada jawaban yang pasti. Teorinyalah yang banyak. Faktor dominan yang dikemukakan dalam teori-teori itu adalah emosi dan perilaku yang paralel dengan proses kreatif. Baik pada tahap mania maupun tahap depresi, keduanya -- antara lain berpikir orisinal, produktivitas yang meningkat, fokus, kemampuan bekerja keras dengan waktu tidur terbatas, introspeksi, dan penderitaan yang mendalam -- berperan meningkatkan kreativitas, dan memberinya kedalaman dan makna.
Barangkali karena itulah bahkan Woolf pun mengapresiasinya. Dalam surat kepada seorang temannya, ia menulis: "Sebagai pengalaman, kegilaan itu sangat menyenangkan, saya bisa jamin, dan bukan untuk dicibir."
----------dari Koran Tempo
SUARA-SUARA YANG MENGANCAM
Pada malam itu aku sangat gelisah karena beberapa bulan tak mampu menulis apa yang ingin aku tulis. Sebelumnya aku membiasakan diri menulis semua yang melintas dalam pikiran dan perasaanku ke dalam bentuk puisi dan cerpen. Namun entah mengapa suara-suara itu datang mengancam ketika aku menulis puisi. Setelah itu malam dan hari-hariku begitu mencekam. Penuh serangan yang mirip peperangan. Kepalaku mulai ramai dengan ledakan.
Entah suara siapa itu aku tak mengenalnya. Pertama kali suara itu datang memulainya dengan sebuah perdebatan. Aku tak cukup referensi untuk melawannya tetapi setiap statemennya selalu aku bantah dan aku selalu menang. Semakin hari suara itu semakin bertambah banyak dan aku menghindar karena aku tak ingin mengganggu siapapun. Aku mulai tak betah lagi di kamarku sendiri. Aku pindah dari satu kamar temanku ke kamar temanku yang lain. Suara itu masih mengikuti ke manapun aku pergi dan malah mengancam akan merusak hubunnganku dengan orang yang aku kenal, teman-teman, dan sahabat-sahabatku. Dan lebih-lebih akan merusak isi kepala mereka. Aku ceritakan semua apa yang terjadi kepada beberapa teman dan sahabatku namun tak ada yang percaya. Aku selalu diburu dan tak ada yang tahu.
Malam dan hari-hariku terus berlalu tanpa ada perubahan sedikitpun. Suara-suara itu semakin gencar mengancam hingga tiba saatnya pada ujian terakhirku matakuliah filsafat nilai yang kebetulan dosennya, Robby Abror. Sebelum aku berangkat ke kampus suara-suara itu sudah ada di luar kamarku. Salah satu di antara suara tersebut menghubungi seseorang yang pernah aku beri sebuah puisi dan cerpen, Hida, untuk memfitnahku karena suara-suara itu mencurigai kalau aku dengan Hida saling jatuh cinta. Tetapi aku tak mempedulikan apa yang dilakukan oleh suara itu. Aku ambil semua keperluanku untuk berangkat ke kampus dan langsung ke tempat kakakku di Ngawi yang telah aku rencanakan sebelumnya. Dan sebelum sampai di kampus aku ke warnet terlebih dahulu untuk memberi tahu Hida melalui pesan singkat di facebooknya bahwa apa yang aku lakukan terhadapnya tak seperti apa yang dikatakan oleh suara itu.
Sesampainya di kampus aku menunggu jam masuk. Suara-suara itu mengancam-ngancam kejam. Lebih kejam dari sebelumnya. Suara-suara itu akan membunuhku secara perlahan-lahan dengan terlebih dahulu menghapus nilai-nilai matahuliah yang telah aku ambil sebelumnya. Aku mencarinya namun tak ada. Jam masuk telah tiba teman-teman sekelasku masuk dan aku sedikit terlambat karena mengejar suara-suara itu. Aku masuk ruangan dengan kegelisahan dan ketakutan. Lembar soal dam jawaban telah dibagikan. Aku pun mengisi bagian yang harus aku isi sebelumnya, seperti nama, nomor induk mahasiswa, jurusan, tanda tangan, dan nomor ujian.
“Cepat. Dia sekarang ada di ruang ujiannya. Cepat kalian ke godam. Nomor passwordnya pasti nomor induk mahasiswanya. Nomor induk mahasiswanya sudah kalian dapatkan?” kata suara yang menjagaku di pintu ruangan ujianku yang ada di lantai tiga.
“Beres bro…Kita telah mendapatkannya saat kita melihat absensinya. Dia semester ini rajin bro…Tetapi dia sekarang tak akan mampu berbuat apa-apa. Nilainya kita akan rubah menjadi D. Semuanya! Dia akan sia-sia kuliah bro…” kata suara yang lain di lantai dua.
“Cepat bro… dia akan ke lantai dua. Dia sekarang akan keluar. Lari bro…lari!” teriak suara yang ada di pintu.
Aku sangat marah, sangat marah. Bukan hanya aku yang terganggu tetapi juga semua ruangan yang ada di lantai tiga yang juga lagi ujian. Aku mencoba keluar dari ruang ujianku untuk bicara dengan mereka namun mereka tak mau. Mereka malah ketawa terbahak-bahak seraya mengejekku. Aku kejar hingga ke lantai satu mereka ada di lantai dua. Aku kejar ke lantai dua mereka ada di lantai tiga. Aku kejar ke lantai empat mereka bersembunyi dan sebagian yang lain ada di lantai dua bersiap-siap merubah nilai-nilai matakuliahku yang tersimpan di godam. Aku langsung menghubungi salah satu temanku, Acim yang ada di ruang ujian dan langsung ke lantai dua.
“Ada apa?” tanya Acim.
“Aku punya masalah. Ini serius,” jawabku.
“Masalah apa?” tanyanya lagi.
“Kamu tak usah banyak tanya. Sekarang juga kau rubah passwordku. Nilai-nilaiku akan dirubah oleh seseorang dan aku akan berjaga di sini,” aku teliti semua tempat di sekelingku yang memungkinkan mereka bersembunyi. Mereka tak ada. Passwordku telah diganti dan kita berduapun kembali ke ruang ujian.
Kita kembali pada tempat kita masing-masing. Acim meneruskan menjawab ujiannya. Dan aku terasa melayang. Aku tak mampu menjawan satupun soal ujian dari empat soal yang ada. Bukan karena aku tak tahu apa yang harus aku jawab tetapi karena kepalaku terasa berat dan tubuhku gemetar.
“Kau benar-benar kacau sekarang. Kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” kata suara yang kembali berada di pintu ruang ujianku. ”Rubahlah nilai-nilainya bro…Dia sekarang hanya mampu diam,” teriaknya kepada teman-temannya di lantai dua.
Kepalaku terasa berat. Dan aku tak peduli lagi dengan nilai-nilai matakuliahku. Aku tak peduli atas semua yang telah dan akan terjadi. Aku hanya ingin pergi menjauh dari suara-suara itu secepat-cepatnya.
***
Bis jalur tujuh sangat mudah aku dapatkan di depan kampusku. Aku langsung segera meluncur ke terminal dengan kecepatan bis yang begitu lamban. Aku sedikit tenang karena suara itu tak ada lagi. Sesampainya di terminal suara-sauara itu samar adanya. Aku duduk di tempat tunggu penumpang dengan kebingunganku. Aku berpikir bagaimana melawan dan menemukannya.
“Dia tak tahu kalau kita ada di sini. Dia melihat kita tetapi tak tahu siapa kita sebenarnya. Yang mana kita dia tak akan tahu,” suara itu berbicara pada temannya di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuannya.
Mataku menelisik di antara kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuan mereka, memastikan siapa orang yang berbicara dan mengancam-ngancamku. Kulihat dua orang laki-laki di antara kerumunan itu, yang satu berbaju merah dan bercelana hitam dengan badan kekar dan satunya lagi merunduk di samping kanannya.
“Meski dia tahu kita ada di sini dia tak akan berbuat apa-apa. Di terminal ini semua orang adalah teman kita. Aku sudah ceritakan semuanya tentang orang yang kita kejar-kejar ini. Kalau dia menghampiri kita, kita tinggal ngebukin saja. Lalu kita seret di jalanan,” kata mereka. Dan tubuhku semakin gemetar dengan rasa takut yang entah.
Hari ini ada dua bis yang menuju ke Surabaya, bis Sumber Kencono dan Mira. Saat kedua orang itu lengah aku langsung mengnyembunyikan diri di bagian samping bis Sumber Kencono dan aku langsung pura-pura masuk biar mereka mengira aku naik bis Sumber Kencono karena kedua orang itu mampu bergerak sangat cepat sekali. Aku di dalam bis berpikir bagaimana untuk mengatasi kedua orang ini. Menghubungi teman-teman? Mereka tak ada yang percaya. Menghubungi Hida? Tak punya nomor HPnya. Semua orang telah dihasut oleh mereka. Aku bingung. Bingung. Keringatku semakin deras mengalir di seluruh tubuhku. Dan aku hanya diam.
Bis beberapa menit lagi akan berangkat. Tak disangka mereka mau naik juga ke bis yang aku ada di dalamnya. Aku dengan cepat keluar. Merunduk di antara kursi bis dengan persaan takut. Mereka masuk dan aku keluar. Sedikit ketakutanku hilang namun aku siap siaga dan hati-hati karena mereka cukup gesit penglihatannya. Aku sekarang berada dalam bis Mira. Aku sedikit lega karena mereka berada pada bis yang berbeda.
Bis yang mereka tumpangi berangkat sepuluh menit lebih awal dari bis yang aku tumpangi. Di tengah perjalan sebelum sampai Janti aku mengusap keringat yang ada di tubuhku, lalu merentangkan kedua tanganku. Kondektur mulai menanyakan kepada setiap penumpang satu-persatu ke mana tujuan mereka dan menarik ongkos sesuai tujuannya. Tiba giliranku suara itu ada lagi. Mereka ada di belakangku entah di kursi bagian mana.
“Kau mau ke mana? Kau mengira kita naik bis itu? Kau goblok! Ke manapun kau akan kita ikuti, setelah itu baru kau akan kita bunuh. Akan kita cincang-cincang tubuhmu,” kata salah satu di antara mereka kepadaku dengan geram sekali.
“Pak, kasih tahu kepada kita dia akan turun di mana?” pinta mereka kepada kondektur dan kondekturpun mengangguk.
“Mana mas?” tanya kondektur kepadaku.
“Ngawi,” aku bayar ongkosku dengan uang pas. Aku tak menghiraukan kondektur itu lagi karena mereka semakin berteriak-teriak ingin membunuhku. Kepalaku terasa ingin pecah.
“Dia ternyata mau turun di Ngawi,” kata salah satu di antara mereka.
Aku mencoba untuk bangkit dari dudukku. Aku ingin menghampiri kedua orang itu. Aku ingin melawannya sekuat yang aku bisa. Namun kepalaku sakit dan tubuhku terasa seringan kapas. Aku mengambang terbang. Tak ada lagi yang menyentuh tubuhku.
“Kau benar-benar akan kita bunuh karena kau telah menggagalkan semuanya. Ini masalah perasaan. Aku sangat mencintainya. Kau telah ceritakan semuanya kepada Hida bahwa aku yang memfitnahmu. Dia sekarang akan membenciku untuk selamanya. Goblok! Asu! Kau tahu alat apa yang kita bawa ini? Kau tak akan bisa ke mana-mana dengan alat ini selama cairan kimia itu masih ada di tubuhmu. Alat ini mampu mengetahui di mana keberadaanmu. Kita telah memasukkan cairan itu dengan menyuruh seseorang untuk menaruhnya ke dalam segelas kopi yang kau minum. Kau akan kita siksa sebelum mati!” gertaknya.
“Ternyata kau tak berkutik dengan alat ini.”
“Mau diskusi lagi? Mau melawan? Memorimu akan benar-benar rusak dengan alat ini. Coba kau ingat semua apa yang terjadi dalam hidupmu. Kau tak akan mampu untuk mengingatnya. Yang ada dipikiranmu adalah pikiranku. Apa yang kau perbuat adalah perbuatanku,” kata orang yang memegang alat itu.
“Isi kepalamu tak jelas lagi sekarang. Kau tak akan bisa membedakan yang mana pikiranmu dan mana pikiranku, yang mana pebuatanmu dan mana perbuatanku. Untuk sementara, kau akan kuat namun nanti sebelum kau kita bunuh, yang benar-benar ada hanya pikiran dan perbuatanku. Kau akan kita siksa sebelum mati,” lanjutnya.
Bis yang aku tumpangi melaju sangat cepat. Tubuhku semakin lama semakin lemas, gemetar, dan mengambang terbang. Dengan keaadaan tubuhku yang seperti itu, aku mencoba menghubungi seorang temanku, Imam, untuk minta nomor HP teman dekatnya Hida, Eta. Aku tak kuat untuk bicara. Aku beritahu semua yang terjadi melalui sms tetapi Eta tak mau ikut campur. Dia sedikit kesal dan marah.
Aku bingung. Aku takut. Apakah aku akan sampai di Ngawi tempat kakakku? Apakah ada orang yang akan menolongku dari masalah ini? Teman-temanku? Hida? Aku tak tahu. Aku hanya pasrah saja jika mereka benar-benar membunuhku. Kematian pasti akan datang menemui siapapun. Aku tahu inilah kematian yang tak sempurna. Tetapi aku berharap suatu saat nanti orang-orang yang aku kenal, teman-temanku, sahabat-sahabatku akan mengerti dan paham bahwa kematianku adalah kematian yang akan mereka hadapi juga pada waktunya.
Dan aku tak ingat apapun lagi selain apa yang aku ceritakan ini...
Yogyakarta, 2010.
PENARI DARI TIMUR
Lalu, dia mampir di kota ini untuk menghibur masyarakat. Semua yang menontonnya pasti terpana. Di atas panggung dia serupa gasing, berputar lambat dan semakin lama semakin cepat. Kemudian lambat kembali dan berhenti. Tepuk tangan orang-orang yang menontonnya menggantikan tariannya. Dan di tengah-tengah riuhnya tepuk tangan ada yang bertanya kepadanya, mengapa suka menari dan mengapa tak mau dibayar setiap dia selesai menari. Dia menjawab, ”aku bukan seorang penghibur. Aku adalah seorang yang kehilangan. Ke mana-mana aku menari hanya untuk menemukannya karena setiap aku menari dia akan menemuiku, dia akan hadir melebihi kenyataannya yang ada. Setiap aku bergerak adalah geraknya. Apalah artinya segala yang kumiliki kalau tak menemukannya. Jika kau bertanya kenapa aku harus mencari? Aku sama dengannya. Jiwaku berbicara kepadaku. Yang kucari adalah diriku sendiri.” Dan diapun menghilang entah pergi kemana. Mungkin ada di gurun-gurun, di bukit-bukit, di gunung-gunung, di desa-desa, di kota-kota, di rumah-rumah, di toko-toko, di super market-super market, atau di mall-mall. Mungkin pula dia ada di televisi yang sering kita tonton setiap hari.
JACKY
Jacky mempunyai kamar khusus untuk menulis di antara sepuluh kamar yang ada di rumahnya. Di kamar itulah semua karyanya dilahirkan. Kamar itu tak seperti kamar yang ada, bersih dan rapi. Kamar itu dibuat berantakan, buku tanpa rak berserakan di lantainya dan berdebu. Namun, ada dua jendela yang memang dibuat istimewa olehnya untuk menangkap inspirasi.
Pada suatu hari Boby memasuki kamarnya dengan kisah-kisah yang jauh di luar sana. Boby adalah orang miskin yang mempertahankan hidupnya dari mencuri. Bagi orang miskin mencuri bukanlah profesi melainkan salah satu cara untuk mempertahankan hidup. Boby tak mempunyai pekerjaan lain selain mencuri karena di mana dan ke manapun melamar pekerjaan ia selalu ditolak. Dan akhirnya, Boby memilih jalan hidupnya yang lebih dekat dengan penjara, kematiaan, dan keterasingan.
Boby pada saat yang sama sedang merampok sebuah bank. Ia menyandera seorang pegawai bank dengan menodongkan pistol kaliber 45 mm yang beratnya 1,3 kg yang penuh dengan peluru. Ia meminta kepada pegawai tersebut untuk menyerahkan uang yang ada di bank itu. Jika tidak, kepalanya akan ia ledakkan dengan pistolnya. Pegawai bank itu dengan tubuh gemetar dan berkeringat mencoba untuk mengambil dan mengeluarkan uang yang ada. Semua orang yang berada di bank ketakutan. Tak ada seorangpun yang bisa melawannya. Namun secara tiba-tiba sebuah pistol meletus dan peluru mengenai kepala Boby. Boby ambruk ke lantai dengan darah menglir di kepalanya.
Jacky dengan komputernya yang masih menyala. Kepalanya merunduk dan berdarah karena tertembak oleh penembak misterius melalui jendela kamarnya. Nyawanya telah menghembus. Jacky belum menyelesaikan ceritanya. Kamarnya hanya meninggalkan penggalan cerita yang ada di komputernya. Orang-orang pergi dengan ceritanya. Dan Boby menjadi asing pada mereka hingga masa berganti menemukannya di mana-mana.
PEREMPUAN RAHASIA
Setiap perempuan mempunyai aroma yang sama dan mempunyai wangi yang berbeda. Banyak parfum diciptakan untuk menandai wangi tubuh indahnya namun tak ada yang bisa menandai aromanya. Aromannya adalah sebuah rahasia dan aku tahu seperti apa aromanya. Kau percaya? Kau atau siapapun tak perlu mempercayainnya. Jika mempercayainya kau tak akan yakin lagi bahwa perempuan mempunyai aroma yang khas. Kau tak perlu percaya atau yakin karena aroma tubuhnya adalah rahasia sebagaimana dirinya juga rahasia. Aku tahu aroma tubuhnya karena aku juga rahasia.
Pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah tempat di mana aku dan dia belum dilahirkan tetapi aku dan dia telah benar-benar tercipta. Kukatakan padanya bahwa aku pernah bertemu dia dan dia pun mengatakan kepadaku bahwa dia bertemu juga denganku, di mana waktu kita berdua hanya sebagian yang ada. Dalam pertemuan itu kita berdua tak pernah bicara apalagi saling mengungkapkan suatu keinginan yang membuat kita sama-sama merasakan kebahagiaan. Pertemuan kita hanya diawali oleh bahasa yang tak pernah diucapkan.
Kita berdua sadar bahwa suatu saat akan meluas dalam waktu. Dari pertemuan hubungan kami berlanjut. Dia selalu mengajakku jalan-jalan ke tempat di mana dia suka. Dan akupun begitu, mengajaknya ke tempat yang aku suka. Dia pernah mengajakku menikmati panorama alam yang sangat indah sekali. Dan aku mengajaknya ke dalam tumpukan kata-kata yang penuh makna. Kita berdua saling memahami bahwa kita mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Jadi, kita berdua tak pernah mempunyai persoalan yang membuat kita harus marah dan kecewa.
Meski sering berduaan kita tak pernah menyebutkan nama kita masing-masing, apalagi berbicara. Semua berjalan apa adanya, mengalir serupa air. Namun, tak pernah disangka waktu begitu cepat meluaskan diri kita hingga kita berdua mempunyai sebuah nama dan tubuh yang berbeda. Lalu, sebagian kita pergi dan sebagian masih menjadi diri kita sendiri.
Kamis, 19 Agustus 2010
Selasa, 10 Agustus 2010
TENTANG CATATAN HARIAN DAN KARYA YANG DIBAKAR
Telah banyak waktu yang telah terbuang untuk sebuah tujuan, yang bagi banyak orang mungkin disebut kesia-siaan. Namun, bagiku tak ada yang sia-sia selama itu adalah perbuatanku sendiri demi sebuah jalan yang kutuju. Untuk mengenal jalanku aku harus melakukan apapun selama apa yang aku lakukan itu tak mengganggu orang lain. Meski aku harus sedih dan terluka, senang dan bahagia sebagai manusia aku tak mampu menolaknya. Semuanya akan dan harus terjadi.
Dalam proses memahami jalanku aku tak jarang bersikap ekstrim terhadap diri sendiri. Menolak keberadaan yang ada. Menentang segala yang datang. Melawan segala yang menantang. Pada akhirnya tak jarang aku terpojok di sudut hati dan pikiranku sendiri, menjadi asing dalam diri sendiri dan orang lain, lalu terkurung dalam labirin yang kelabu. Dan inilah yang harus dilakukan oleh seorang manusia, berada dalam lubang hitam semesta untuk menemukan dirinya. Sejauh-jauhnya. Sedalam-dalamnya. Pada awalnya orang tak tahu bahwa itu sangat mengasyikkan dan hingga kinipun tetap sangat mengasyikkan. Namun, yang aku sesalkan dan tak akan aku lakukan lagi adalah melakukan pembakaran terhadap buku catatan harian dan sebagian karyaku.
Kini, aku benar-benar sadar bahwa apa yang telah aku lakukan adalah pembunuhan hati dan pikiranku. Aku melakukan bunuh diri yang benar-benar menyakitkan. Dengan melakukannya aku telah mati, kematian yang benar-benar mati tanpa menyisakan satu jejakpun dalam hidup. Seharusnya jika aku ingin mati tak perlu seperti itu, aku hanya perlu minum racun saja dan itu sangat mengasyikkan daripada aku menghilangkan atau memusnahkan suara hati dan pikiranku.
Membakar sebuah buku catatan harian dan karya hanya dilakukan oleh seorang penakut. Aku tak akan membakar apapun yang telah aku tulis karena di sanalah tempat jejak-jejakku tersimpan selama dalam perjalanan menuju tujuanku. Sejelek apapun, sekotor apapun, seterhina apapun, itulah karya hidup dan hidup dalam berkarya. Adakalanya seseorang harus jatuh dalam proses perjalanannya namun sebelum sampai pada tujuannya ia harus berdiri dan berjalan lagi hingga sampai pada apa yang dituju. Akhirnya, lebih baik tak tahu daripada tahu tetapi tak pernah menjalaninya sendiri….
Sabtu, 20 Maret 2010
CATATAN SEORANG WARAS YANG JATUH GILA
yang ada hanya Cahaya
jika kusebut Cahaya
yang ada hanya tiada
jika kusebut namamu
jika kusebut Cahaya
jika kusebut tiada
kata kata tak bisa aku percaya
untuk menyebutnya
---Saat Pintu Terbuka
Hujan yang kesekian dan kekaguman yang tak terhinggga telah ada pada sebuah pintu. Menjadi apa pun yang ada di dunia ini. Dan aku telah menjadi dia, menjadi apa pun yang ada. Keluar masuk serupa miliknya, serupa dia yang nyata. Hingga kupahami segalanya adalah cinta.
Ada dan tiadanya, ada dan tiadaku adalah perpaduan yang tak terkira. Mungkin kelebihan dan kekurangan yang telah padu melalui sebuah pintu, siapa pun yang membuka dan menutupnya adalah rindu.
Pada saat pintumu terbuka. Pada saat pintuku terbuka kita tak akan saling meminta apa yang kita inginkan. Kita hadir apa adanya, terbebas dari segalanya.
---Seribu Nama adalah Satu Nama
Setiap nama adalah asal semua yang ada di dunia ini. Nama kita adalah tanda tentang dunia. Nama kita bisa jadi apa dan siapa pun, dimiliki dan diucapkan di mana-mana. Maka jangan salahkan jika aku sering menyebutmu adalah aku. Walau kutahu kau tak pernah menyebutku. Aku tak dapat menyalahkan hal itu karena memang tak ada yang harus. Aku hanya bisa menyebutmu di mana-mana. Di mana-mana…
---Perkenalan Kita
Apakah kita ingat kapan kita dilahirkan dan kapan kita diperkenalkan? Jika tak ada yang harus kita tandai mungkin kita tak akan mengenal angka dan nama hari dan kita tak akan tahu kapan kita lahir. Dengan angka dan nama hari itulah kita hanya bisa berpura-pura ingat bahwa kita lahir pada tanggal dan hari kesekian. Padahal ingatan kita tak ada tentang hal itu Sedangkan kapan kita berkenalan kita juga tak tahu. Kita tiba-tiba bicara dengan orang yang berada di sekitar kita, termasuk kita sendiri yang Cuma ngobrol sebentar. Perkenalan kita adalah kepura-puraan waktu yang coba kita kekalkan, agar kita benar-benar saling kenal karena terkadang manusia merasa takut kehilangan keabadian. Dan aku sekarang merasa bahwa kau adalah hal terkecil dalam hidup yang tak mungkin begitu saja aku hilangkan.
---Datang dan Pergimu
Terlalu sombong jika aku tahu tentang datang dan pergimu. Namun, dalam tubuh ini ada isyarat bahwa aku bukan seorang pembohong apalagi membohongimu. Dalam tubuh ini banyak menyimpan kenangan tentang dirimu, baik yang sadar dan tidak sadar telah mengakar dan tak bisa lepas begitu saja. Sehingga dalam keseharianku ia berdetak sesuai gerakmu. Jika kau tak mempercayainya aku juga tak mempercayainya. Dan jika kau mempercayainya aku juga mempercayainya. Aku yakin kita sama-sama merasa dan memikirkan semua itu tetapi tersembunyi entah di mana.
---Foto-fotomu
Saat kau melihat foto-fotomu, kau akan kembali pada masa itu, di mana kau siap-siap untuk mengekalkan wajahmu yang cantik dan manis itu dengan gaya yang kau inginkan dan kau kagumi sendiri sebelum dikagumi banyak lelaki termasuk diriku. Kau berpose dari jiwamu yang terpancar dan kamera menyatukannya dalam seberkas gambar. Indah. Gambar itu indah. Tentunya kesesuaian hati yang membuatnya Menjadi gambar hidup yang kau abadikan, entah di mana-mana karena aku tak tahu pastinya selain di facebookmu.
Aku mempunyai beberapa foto-fotomu dari berbagai foto yang kau miliki. Tetapi sayang, foto itu kau telah menciptanya di kamarmu sendiri atau di kamar lain. Setiap aku melihat satu-persatu foto-fotomu yang aku lihat bukan tubuhmu yang diam melainkan tubuhmu yang bergerak seakan-akan aku tahu apa yang kau lakukan dari sebagian kegiatanmu. Aku tahu isi kamarmu dari mulai catatanmu hingga hal-hal yang tak kau hiraukan. Aku tak akan ceritakan semua tentang foto itu. Aku sangat menyukai fotomu yang memakai kerudung putih tipis dan baju berwarna merah muda yang terlihat lucu dan manja sekali. Dan aku tahu kau begitu dewasa.
---Semua Apa yang Kau Tulis
Kau tulis apa saja yang kau rasa dan pikirkan dengan bahasa yang sangat sederhana. Dari menu makanan hingga hal-hal yang membuat orang membacanya ketawa. Aku menyukai itu dan aku lupa mencatatnya. Suatu saat aku akan mencatat semuanya hingga tak terpinggirkan dari arus logika. Karena kita begitu berdekatan serupa angin dan api bergerak dalam kegelapan.
---Gerak-gerakmu Telah Kutangkap
Semuanya telah aku cium sedalam-dalamnya. Aku sentuh semuanya meski kau tak mengizinkannya. Termasuk yang kau larang. Dan aku tak perlu minta maaf kepadamu atau kepada siapa pun saja karena aku tak benar-benar melakukannya. Setiap orang yang tahu bahwa dirimu adalah perempuan yang patut dicintai dan dirindukan, ia akan mengatakan: perempuan ingin dicintai dan dirindukan sebagaimana mestinya. Sehingga aku juga tergila-gila kepadamu yang selebihnya adalah kebohongan.
Minggu, 14 Maret 2010
Sajak Ala
setiap kudiam padamu temanku
kupercikkan dirimu jadi bintang bintang
bintang bintang yang diam
pada langit yang kupunya
dalam diam rahasia
melebihi rahasia alam semesta
diamlah aku di sana menyendiri
diamnya bintang bintang yang memercik
percikan diriku yang terkecil
percikan seutas kedip yang terpencil
membentang menepis tangis
membentang menerjang kegelapan
memercik bening embun
memercik malam penuh kilauan
di tengah tengah kita hanya bayangan
mencipta ketiadaan yang ada
mencipta bayangan yang semakin jauh
ketiadaan yang selalu luruh
meskipun mata menyimpannya
percikku setiap malam adalah bayangan yang terluka
menghampiri tubuh dalam sinarnya
bayangan tertatih pada gersang tanah
bayangan malam yang tersiksa
percikku setiap malam adalah bayangan yang sedih
menghampiri hari hari dalam sinarnya
bayangan yang lumpuh antara deru kota
bayangan malam yang nista
bayangan hanyalah bayangan
dunia keindahan yang percuma
keindahan yang menolak ketiadaan
menolak keindahan dunia kemanusiaan
o bintang bintang yang bersinar
o aku yang diam
sungguh ini luka dan sedih yang garang
sungguh garang percikan di langit
sungguh garang semua yang ditentang
ada yang memercik
memanggil dalam diamku
ada yang diam
memanggil dalam percikku
patah di mulutku
o bintang bintang yang bersinar
o aku yang diam
tak ada jalan menuju ke sana
menuju gemercik sinar
menuju diamku yang bersinar
selain keberanian hidup tak ingin aku jalani
selain perjuangan tak ingin aku persembahkan
selain kebahagiaan tak ingin aku katakan
diamku memercik di langit
bintang bintang yang berkedip
bunuh luka dan sedihku dengan sinarmu
sebab tanpa bayangan
aku ingin mati tenang di dadamu
yogyakarta, 2009
Minggu, 28 Februari 2010
CATATAN KECIL FEBRUARI 2010
Sebelum di Jogja aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Namun ketika aku sedikit sadar aku curhat kepada semua orang termasuk keluarga dan teman-temanku. Jawaban keluarga sangat sederhana: “stabilkan apa yang ada pada dirimu sendiri. Kan kau pernah bilang bahwa dalam diri seseorang ada tiga kekuatan, yang pertama spiritual, intelektul dan emosional. Seimbangkan tiga kekayaan itu kau akan sembuh”. Sedangkan sebagian dari teman-teman jawabannya sama dan ada yang beda. Affan adalah adik seorang penyair M. Faizi (Faizi Elkaelan) yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumahku, kira-kira 30 meter. Aku ceritakan semuannya dan dia menyimpulkan bahwa aku mengalami skizofrenia tetapi belum parah.
/2/
Banyak orang (teman-teman) yang meganjurkanku untuk tidak membaca dan menulis sementara waktu. Karena kalau aku memaksa melakukan kebiasaan-kebiasaanku, aku akan mengalami halusinasi dan delusi lagi dan akhirnya aku akan skizofrenia. Tetapi kalau aku tidak membaca dan menulis logikaku tidak jalan, stagnan. Kalau membaca dan menulis aku juga tidak akan sembuh. Untuk sementara aku akan mengikuti anjuran-anjuran teman-temanku karena mereka juga pernah mengalami apa yang aku alami saat ini. Aku harus istirahat 3 atan 4 bulan. Setelah itu aku akan melakukan kebiasaan-kebiasaanku dan mengatur ruang dan waktunya. Sekarang aku ingin benar-benar memahami apa terjadi pada diriku tanpa membaca dan menulis kecuali hal-hal yang menyenangkan diriku termasuk menulis catatan kecil ini.
/3/
Aku hanya ingin ketawa dengan obrolan-obrolan yang membangkitkanku dari keterlemparanku dari realitas yang sebenarnya. Kini, aku berada dalam dunia yang entah. Mungkin antara sadar dan tidak sadar. Aku akan menhadapinya melalui kata yang sangat sederhana: “lawan!”, “semuanya tidak ada!”, dan “selamat tinggal untukmu!”.
/4/
Jika aku ingat semua ketidaksadaranku, betapa lucu, ngeri, dan menakutkan ketidaksadaran itu. Semua orang pasti mengalaminya…dan dalam ketidaksadaranku hanya kaulah yang benar-benar nyata. Mungkin karena kau adalah cahaya hidayahku yang terangkat pada lubuk labirinku yang hanya akulah juga yang tahu.
Jumat, 08 Januari 2010
AYAT-AYAT HIDUP PADA HIDUPKU YANG ANEH
“Sejak kecil kau jarang bisa diatur. Kau suka melakukan sesuatu yang aku tidak sukai. Kau pindah-pindah sekolah. Kau pindah-pindah kampus. Sekarang kau sudah bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Pilihlah jalanmu agar kau bisa mengerti seperti apa hidupmu ini. Kehidupan yang sebenarnya bukan yang ada di kepalamu. Ingat hormati dan hargai orang lain.”
Mas Zainal Arifin Thoha:
“Jalanmu terkadang cepat, terkadang lambat. Doakanlah kedua orang tuamu karena dengan kau mendoakannya jalanmu akan seimbang.”
Mbak Maya Oktaviani:
“Jalinlah kebersamaan di mana pun kau berada. Anggap semua orang adalah keluargamu.”
Kak Kuswaidi Syafi’ei:
“Jangan pernah memaksakan sesuatu yang berada dalam dirimu. Biarkan semuanya mengalir saja.”
Faisal Kamandobat:
“Jadilah dirimu sendiri. Jangan terlalu obsesif dan kompulsif. Dunia tidak selebar daun kelor dan sedalam gelas.”
Salman Rusydie Anwar:
“Kau seorang anak kecil yang suka bermain layang-layang. Jika putus kau mengejarnya hingga kau tersesat. Kau lurus dalam ketersesatanmu.”
Ahmad Muchlis Amrin:
“Ide ditemukan bukan dari realitas nyata saja tetapi juga realitas yang tidak nyata. Temukan semua itu dalam dirimu. Pertahankan karyamu!”
Loye:
“Aku tahu puisimu pernah dimuat di tempo dan jawa pos. Tetapi sayang kau tidak jujur kepada dirimu sendiri. Kau selalu menutup diri dengan merubah-rubah namamu atau memberi jarak terhadap orang lain, terutama perempuan. Kau takut disebut penyair. Keberanian terbuka itu harus ada. Penyair sejati harus terbuka dan jujur pada dirinya sendiri.”
Indrian Koto:
“Ah, itu hanya bayang-bayangmu saja. Tulis… tulis… Menjadi sesuatu yang bukan bayang-bayang.”
Mutia Sukma:
“Dasar orang aneh! Bagus itu puisi!”
Retno Iswandari:
“Semuanya akan selesai. Semangat. Semangat…”
Rumianti:
“Kau selalu bermain-main dengan imajinasimu hingga dunia ini terasa fiktif bagimu. Bagus. Tetapi jangan tersesat.”
Bernando J Sujibto:
“Bagus kalau kau sudah menentukan jalanmu dalam kematian. Namun, alangkah baiknya jika kau belajar ciuman dengan seorang perempuan.”
Yusriyanto Elga:
“Kegelisahan dan kegilaanmu yang akan menentukan dunia dan arah hidupmu. Maka, jangan pernah menyia-nyiakannya.”
Hilal Alifi:
“Peggat (gila) atau mati!”
Ridwan Munawar:
“Kau adalah kengerian dunia. Seperti yang kau katakan, menulis adalah sebuah ketidaknormalan. Ngeri bung!”
Dwi Cipta:
“Jika menulis puisi macet. Banyaklah membaca puisi. Aku adalah penulis yang malas.”
Farah Tamami:
“Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Jangan pernah takut untuk memulai.”
Muhamad Basyir:
“Hidup seperti apa pun harus dijalani seperti juga berkarya. Maka hidup dan berkaryalah selagi kau bisa.”
Muchlis Zya Aufa:
“Karya apa pun adalah perjalanan spiritual penulisnya. Teruslah menulis suatu saat kau akan menemukan apa yang kau cari atau sesuatu yang tak ingin kau cari yang benar-benar berarti bagi drimu.”
Mahfud Sayuti:
“Kau jangan berhenti menulis. Kau berbakat. Aku akan selalu membaca karya-karyamu.”
Arif Muhamad:
“Mulai dulu kau tidak pernah berhenti gelisah. Bagus itu puisi.”
Mahwi Air Tawar:
“Karya itu adalah apa yang kau rasakan dan terjadi dalam hidupmu. Jika kau takut tulilah tentang ketakutan. Pokoknya semuanya yang terjadi dalam hidupmu, tulis.”
Muhamad Ali Fakih Ar:
“Aku takut kau bunuh diri dengan kegilaanmu. Menulis puisi saja. Mungkin semuanya akan selesai.”
Muhibuddin:
“Kau manusia absurd. Super gelisah. Hidup antara nyata dan tidak nyata. Aku suka jika seperti kamu.”
Nick Rasyid:
“Kegelisahanmu selalu tidak nyata. Cobalah sekali-kali kau sentuh payudara perempuan. Jangan habiskan waktumu untuk menulis puisi. Adakalanya kau benar-benar kembali pada realitas yang nyata.”
Valentina Febriani:
“Kau lucu dan gila. Mungkin karena itu kau bisa menulis puisi.”
Fathollah Elsyaf:
“Yang tidak dipunyai teman-teman adalah kegilaanmu dalam menulis puisi. Kau gila man!”
Fajri Andika:
“Kau gila. Benar-benar gila. Makanya sering tidak nyambung dengan realitas. Mungkin begitu proses pencarian diksi untuk puisimu.”
Rocky:
“Pertama kali bertemu denganmu, satu sisi aku merasa risih karena ketawa terus, pada sisi lain aku merasa damai karena kata-katamu.”
Rahem:
“Kau orang gila yang baik hati dan tidak sombong. Jika ada orang yang mengatakan kau tidak baik dan sombong berarti mereka belum tahu logika tawa. Jelaslah mereka belum kreatif.”
Najamuddin Muhamad:
“Antara karya dan kehidupan sesuai dan sejalan. Kau jujur bukan dalam berkarya tetapi juga hidup.”
Selendang Sulaiman:
“Kau orang aneh yang muter-muter di kepalaku. Seperti aku menulis cerpen saja.”
Adikusno:
“Kau adalah sastra. Tidak usah resah kalau hanya tidak bisa nulis.”
Juma’ Darma Putra:
“Kau benar-benar peggat (gila) dan itu sastra. Jangan putus asa hanya untuk kata-kata.”
Rusdi Punk:
“Tuhan, telah menciptakanmu dengan keanehan dan kegilaan. Jadi, syukuri saja.”
Zen:
“Bang, hidupmu aneh dan penuh kegilaan. Tidak banyak orang sepertimu.”
As’adi M Samilona:
“Jika kegilaanmu mengajakmu untuk bunuh diri, mendingan jangan nulis puisi. Menulis yang lain saja, seperti cerpen, esai, atau resensi.”
M Sanusi:
“Hidupmu seperti tokoh novel atau film. Jadikan itu kekuatan untuk karya-karyamu.”
Fathor Rasyid:
“Sering kali kau ingin bunuh diri gara-gara hanya tidak bisa konsen baca buku dan tidak bisa menulis kau akan bunuh diri. Kau tahu, aku hanya tersenyum melihatmu. Sebab kau terlalu berambisi untuk bersentuhan dengan Tuhan.”
Rahmat Fajar:
“Aku suka tawamu yang menggila. Lebis puitis dari puisimu. Maka ketawalah!”
Wian:
“Aku tidak bisa mengobatimu. Menulislah mungkin itu obat penyakit jiwamu.”
Sunlie Thomas Alexander:
“Suaramu bergetar. Dahsyat.”
M Yunus BS:
“ Lanjutkan kegilaanmu. Biarkan orang tidak mengerti. Itu bukan urusanmu.”
Kamis, 07 Januari 2010
TAK ADA BAHASA, YANG ADA HANYA KAMU
Tuhan, aku ingin memahami Dirimu dengan memahami ciptaanMu tetapi bukan begini caranya. Aku punya cara sendiri tetapi sekarang Kamu malah menggantinya dengan mengharuskanku untuk merasakan dan memikirkan Dirimu. Pikiranku hanya Dirimu. Hatiku hanya Dirimu. Aku tidak mampu membuangnya. Aku tidak mampu lepas dari Dirimu seperti dulu. Aku tidak mampu memberontak pada Dirimu lagi.
Banyak orang yang memberontakMu. Mereka menganggap dirinya kuat, padahal tidak. Karena yang menciptakan dirinya adalah Dirimu. Aku tahu itu karena pikiranku pernah memberontakMu dan aku tidak menemukan jalan keluarnya kecuali harus meredam ego untuk disesuaikan dengan perjalan di langit dan di bumi. Aku serahkan semuanya padamu karena aku lemah di hadapanMu. Tuhan, dunia ini absurd, Kamu juga absurd. Dan kini aku hanya bisa menciptakan sajak yang tidak aku sukai.
Kupanggil Engkau dalam Diriku
segala yang mati segala yang hidup
segala yang menyusup pada diriku
segalanya yang engkau berdetak dalam tubuhku
segalanya padaku
padamu aku tak menemukan arah dan jalanku
karena segalanya adalah engkau
kupanggil engkau dalam diriku
namun segalanya hanyalah aku
kupanggil engkau dalam diriku berkali kali
tetap saja yang ada hanyalah aku
Yogyakarta, 03-01-10
Jumat, 01 Januari 2010
CATATAN KECIL DESEMBER 09
Jika apa yang ada di hatiku salah dan tidak ada berarti Tuhan juga salah dan tidak ada. Aku tidak akan mempercayainya lagi sebelum Dia menunjukkan kebenarannya di hatiku.
2.
Perubahan di mulai dari dalam diri sendiri. Dan harus diingat setiap perubahan akan mendapatkan sanjungan dan kebencian.
3.
Orang lain boleh menyalahkan dan membenarkanku. Orang lain boleh membenci dan menyukaiku. Tetapi jangan pernah menyimpulkan apa yang pernah aku pikirkan dan apa yang aku lakukan karena ia akan menemukan kekacauan.
4.
Kita dilahirkan sebagai manusia. Maka, hidup dan belajarlah jadi manusia.
5.
Jika ada yang bertanya kepadaku, apakah dunia ini realistis? Aku akan jawab, dunia ini menampakkan dirinya tidak begitu realistis.
6.
Aku hanya petasan. Jika aku meledak orang-orang mencari sisa ledakanku. Oh, betapa bingungnya mereka dan aku selalu ingin ketawa.
7.
Aku memaklumi kalau banyak orang tidak mempercayaiku, karena aku orang hebat.
8.
Perempuan selalu memberi jalan bagaimana aku bisa seimbang dalam hidup. Dan kuanggap dia sebagai teman spiritualku.
9.
Dunia hanya pentas musik. Aku ingin memainkan sebuah lagu agar aku mengerti kemanusianku.
10.
Dalam menulis aku benar-benar merasakan apa yang sedang aku tulis. Setelah aku selesai menulisnya, aku merasakan ketakutan dan kelucuan yang membuat aku selalu ketawa.
11.
Orang mengalah bukan berarti kalah melainkan karena dia telah menemukan sesuatu yang sangat berarti daripada harus berperang.
12.
Telah aku berikan apa yang telah aku mampu berikan padamu. Jika kau belum puas kekurangan itu ada padamu.
13.
Jika aku melebihi pikiran dan materi, lalu apa yang nyata?
14.
Hidup ini tujuh puluh lima persen adalah dibentuk oleh perkiraan-perkiraan kita sendiri.
15.
Aku selalu bersenang-senang dengan imajinasiku. Kau boleh percaya dan tidak mempercayainya. Karena terkadang aku menginginkan dunia ini nampak fiktif.
16.
Saat ini pahamilah tubuh sebagai media, kau akan tahu seperti apa makhluk kebohongan itu.
17.
Intertaimen adalah aktifitas yang membosankan dan membodohkan tapi masih banyak juga orang yang menyukainya.
18.
Dunia ini begitu absurd dan banyak orang menjalaninya dengan harus bunuh diri tapi aku beruntung masih punya hati yang bisa memahaminya.
19.
Ketika kau menertawakan orang lain kau tak pernah menyadarinya kalau kau menertawakan dirimu sendiri. Kau menganggap dirimu sempurna padahal untuk melakukan apa yang kau inginkan saja kau tak mampu apa-apa. Apa yang kau nilai tentang orang lain itulah dirimu. Kelemahanmu adalah kau tak pernah mengetahui dirimu sendiri kecuali pakaiaanmu.
20.
Mereka selalu mempercayai apa yang aku katakan dan tak pernah bertanya apa maksudnya. Bahasa adalah kebohongan meski aku bukan pembohong. Dan mereka mengejek dirinya sendiri.
21.
Orang waras adalah orang gila yang tahu bahwa dirinya gila sedangkan orang yang benar-benar gila adalah orang yang tidak tahu bahwa dirinya gila.
22.
Apa yang berlalu berarti telah luput dan yang pergi berarti telah mati. Maka aku tak akan memikirkan semua yang telah berlalu karena ia telah pergi dan berakhir.
Spiritualitas Eksistensialisme Ahmad Wahib
Keyakinan sehari-hari dalam masyarakat berpendidikan, kita telah mendengar dan menjadi perbincangan bahwa spiritualitas dan eksistensialisme merupakan hal yang berbeda. Spiritualitas adalah sebuah jangkauan kerohanian yang dilakukan oleh kaum sufi atau kaum rohaniawan yang berkecimpung dalam ilmu keagamaan. Sedangkan eksistensialisme adalah sebuah aliran kefilsafatan yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Di mana ia bebas memilih menerima dan menolak segala hal yang berada di luar dan dalam dirinya. Namun, dalam perjalanannya seperti apa yang dikatakan oleh tokoh eksistensialisme, Kierkegaar, cara manusia bereksistensi meliputi tiga sikap yaitu, estetis, etis dan religius. Nah, Wahib sebagaimana yang telah terangkum dalam keseluruhan catatan hariannya meliputi hal tersebut.
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas sikap estetis dan etisnya akan tetapi pada sikap religiusnya yang mana telah melahirkan ide-ide yang sangat brilian dalam kancah pemikiran Islam Indonesia. Tema penting untuk memahami Wahib dalam konteks pemikiran Islam adalah pada sikap religiusitasnya. Penentangan Wahib terhadap agama sebenarnya bukan penentangan terhadap agama itu sendiri. Akan tetapi, penentangannya terhadap agama dalam artian sosiologis di mana agama itu hidup dan berkembang. Dan catatan kecil di atas adalah merupakan gambaran Wahib sebagai sosok esksistensialis yang mencari kebenaran spiritualnya, baik dalam nilai teoritis dan praksisnya. Mungkin ini yang saya sebut dengan spiritualitas eksistesialisme, di mana seseorang mencari kebenaran tentang keagamaannya dalam realitas sosialnya melalui pertanyaan menyangkut tentang keberadaan keberagamaan dan kediriannya.
Wahib dalam pencariannya menyangkut hal tersebut dapat dilihat dalam bagaimana ia membangun kerangka epistemologinya. Ia memahami Islam sebagai yang universal atau ideal dan kondisional. Menurutnya Islam universal atau ideal adalah Islam yang terangkum dalam keseluruhan pesan Tuhan (wahyu), sedangkan Islam kondisional adalah Islam yang berada dalam kondisi masa dan masyarakat tertentu. Dari sini, ia merumuskan beberapa rumusan yang pernah didiskusikannya dengan kelompok diskusinya di rumah Dawam Raharjo. Pertama, tidak mengidentikkan Islam dengan al-Quran. Kedua, al-Quran adalah abstrak. Ketiga, al-Quran adalah wajah Islam terbaik untuk zamannya. Keempat, sumber memahami Islam adalah sejarah Muhammad.
Dari konsepnya di atas banyak orang mengatakan bahwa konsepnya tersebut adalah merupakan pembaruan Islam di Indonesia karena ia beruhasa untuk merombak, menyegarkan, dan memperbaharuhi pemikiran Islam di Indonesia. Dan Greg Barton yang dalam bukunya telah mengklasifikasikan beberapa pemikir neo-modernisme di Indonesia, yang salah satunya adalah Wahib. Bahkan sebagian pakar ada yang menyetarakannya dengan Muhammad Iqbal dan Muhammad Abduh.
Namun, bagi saya apa yang dilakukan oleh Wahib adalah sebuah langkah penyelesaian seorang manusia dalam mencari kebenaran yang absolut dengan potensinya yaitu, berpikir. Seperti apa yang dikatakan oleh Gabriel Marcel bahwa kebenaran sebagai sebuah nilai hanya ada pada sebuah layar dalam akal untuk memasuki dunia transenden. Ini telah dilakukan oleh Wahib, yang dimulainya dengan pemikiran absurdnya serupa dengan tokoh yang diciptakan oleh Albert Camus, Meursault dalam novelnya “Orang Asing”, yang segalanya dipertanyakan. Sedikit berbeda dengan Albert Camus, Wahib tidak mempertanyakan Tuhan, ia mempertanyakan apa yang diciptakan oleh Tuhan dalam lingkup kemanusiaan dengan jalan memberikan sebuah celah pemikiran demi berkembangnya spiritual dan eksistensinya. Mungkin dari situ apa yang dilakukan oleh Wahib pantas saya sebut spritualitas eksistensialisme dari seorang manusia. Wassalam!
Selasa, 27 Oktober 2009
CATATAN KECIL JANUARI 09
1.
Kebanyakan orang menganggab kata-kata yang puitis dan romantis adalah gombal karena menggunakan metafora-metafora. Tetapi bagi orang yang tahu, puitis dan romantis adalah hal lain yakni sebuah pemahaman yang tidak hanya memakai pikiran tetapi juga perasaan.
2.
Kehidupan seperti sebuah buku siapa pun boleh membacanya dan mengambil apa yang terdapat di dalamnya. Setelah itu ia boleh mengingat dan melupakannya sesuai masanya.
3.
Cinta adalah sebuah prinsip. Jika ada prinsip lain itu tak penting.
4.
Dunia ini khanyalan, tetapi tidak, ketika kita bisa berbagi sambil minum kopi, merokok dan ngobrol hal-hal yang tidak penting bagi orang lain.
5.
Telah banyak yang datang dan pergi. Di antaranya aku hanya bisa mengerti bahwa begitulah seharusnya. Karena aku takut akan kehilangan.
6.
Bagi para politikus hidup seperti bermain catur di pagi hari.
7.
Hidup ini adalah ketidaknormalan seperti Tuhan itu sendiri.
8.
Sebuah lagu yang aku dengarkan adalah usaha bagaimana memahami gerak pikiran dan hatiku.
9.
Setiap orang mempunyai cara bagaimana menyelesaikan masalahnya. Dan aku menyelesaikan masalahku dengan berpikir dan kerendahan hati yang aku punyai.
10.
Orang bijak tak akan melupakan janjinya sedangkan orang bodoh tak pernah berjanji sama sekali.
11.
Sastra adalah kemanusiaan. Dan pemimpin yang tak menyukainya adalah pemimpin yang buta mata hatinya.
12.
Menilai yang baik adalah menilai nilai itu sendiri.
13.
Yang ditulis seorang penyair adalah sesuatu yang menuju luka atau luka itu sendiri.
14.
Ada orang mengatakan persoalan hidup adalah persoalan agama. Tetapi bagi diriku persoalan hidup adalah persoalan hidup. Karena hidup adalah persoalan aku dengan orang lain. Agama adalah persoalanku dengan Tuhan karena agama adalah kepercayaan. Jika ada orang yang mengatakan agama telah mengajarkan bagaimana belajar hidup baik, bagiku orang bisa berbuat baik bukan karena ia beragama. Orang bisa damai di dunia karena ia mengerti arti kemanusiaannya.
15.
Tuhan mencipta cinta agar manusia mengerti betapa gilanya Tuhan.
DI MANA KAMU SAJAK?
Di mana? Di mana semua yang aku tahu? Di mana? Oh, siapa yang tahu tentang diriku? Siapa yang tahu tentang yang aku tahu? Aku di mana? Aku ingin tahu. Aku ingin tahu siapa aku dan apa yang terjadi dalam hidupku. Mungkin setiap orang merasakan apa yang aku rasakan, mungkin juga tidak pernah sama sekali. Rasanya aku ingin bunuh diri saja. Menghabiskan seluruh hidupku dalam kematian.
Sajak. Di mana sajak? Di mana kamu? Sajak adalah aku. Aku adalah sajak. Semua yang terjadi dalam hidupku hari ini adalah sajak. Tetapi di mana kamu? Aku telah bosan menjalani hidup yang seperti ini tanpa arah dan tujuan. Sajak, tanpa dirimu aku tak berarti. Tolonglah aku! Apakah aku kurang membaca? Kurasa tidak. Apakah aku kurang mencintaimu? Apakah aku yang kurang mencintai diriku sendiri? Atau aku yang kurang mencintai orang lain? Kurasa juga tidak. Sajak, kau bukan Tuhan namun kamu adalah sebuah jalan menuju cinta. Aku yakin dengan kehadiranmu hidupku dan dunia ini akan yang selalu damai.
Tuhan….. Ah, aku selalu bosan dengan diriMu jika aku terus begini. Aku merasa tak berarti apa-apa. Berbulan-bulan lamanya pikiranku mampet tak mampu menangkap apa yang terjadi dalam dan di luar diriku. Aku hanya selalu ingin berdoa kepadaMu sedangkan aku mempunyai kewajiban untuk memikirkan apa yang terjadi di sekelilingku dengan pikiran. Apakah Kamu menginginkan aku selalu memberontak? Apakah memang beginilah takdir yang Kamu berikan kepadaku? Ayolah jangan buat aku selalu berdoa, aku juga ingin seperti kebanyakan orang mampu berbuat dengan pikirannya. Tuhan, yang aku rasa bisa di dunia ini hanya menulis sajak. Tolong kembalikan pikiranku seperti sebelumnya agar aku bisa menulis sajak karena sajak adalah jalan satu-satunya aku memberikan sesuatu kepada orang lain. Demi diriMu aku tak ingin sebuah penghargaan. Aku tak ingin dihormati. Diasingkan pun dari dunia ini tak ada masalah. Aku tak butuh surga. Aku hanya ingin kembali seperti sebelumnya, menulis sajak untuk dunia.
Waktu yogyakarta yang kacau. 08-10-2009.
MENCARI SEBUAH KETENANGAN
Sebulan ini aku tak merasakan ketenangan sedikit pun dalam hari-hariku. Selalu rame ada di mana-mana. Penuh benturan-benturan batin. Ketika tidak merasakan ketenangan siapa yang bisa berpikir dan merenung? Padahal aku ingin berpikir dan merenungkan semua yang terjadi dalam hidupku. Inilah persoalan hidupku di mana aku diharuskan mencari ketenangan di tengah-tengah gaduhnya segala suasana.
Aku tak mempunyai cara bagaimana mengatasi masalah ini. Sebagai seorang penulis seharusnya aku mempunyai sebuah cara untuk mengatasi masalahku ini. Bagiku tak punya uang, tak punya pacar, tak punya apa pun yang bersifat materi sebenarnya tak akan menjadi masalah yang begitu berarti. Aku ingin belajar dan menulis dengan tenang. Itu saja. Namun, bagaimana caranya? Sebagai manusia aku mempunyai dua ruang yang aku tempati, pertama, ruang privat di mana yang ada hanyalah aku sendiri, belajar dan menulis dengan tenang. Kedua, adalah ruang publik, di mana aku harus bergaul dengan semua orang, bertukar pengetahuan dan lain sebagainya.
Dalam keseharianku rasanya aku tak mempunyai semua itu. Antara ruang privat dan publik bercampur aduk tak jelas di mana. Untuk itu, aku harus memperjelas kedudukan keduanya. Namun, ini adalah sebuah teori dan semua teori tak akan mampu bisa menyelesaikan semua persoalan yang ada. Teori hanya kerangka cara yang bersifat mengikat dan jarang menyelesaikan masalalah dengan baik. Jadi teori bukan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah ini.
Persoalan yang sedang aku hadapi sangat sederhana yakni, aku selalu diramekan oleh teman-temanku yang ada di kamarku, aku tak bisa menikmati buku yang aku baca, aku tak mampu menulis dengan baik karena imajinasiku tersekat oleh kehdiran mereka. Aku merasa tenang ketika mampu beraktivitas dengan bebas di kamarku. Berbuat kegilaan demi kegilaan. Haruskah aku mengusir mereka? Aku rasa tidak. Aku juga mengerti bagaimana keadaan mereka. Mereka adalah teman-temanku yang patut aku acungi jempol. Mereka telah mengajari aku banyak hal tentang bagaimana menjalani hidup yang begitu rumit kujalani selama ini. Aku salut dengan kedewasaan mereka walaupun rata-rata umurnya masih lebih muda dariku.
Aku mencoba menghubungi tiga orang temanku. Aku tanyakan bagaimana cara meneyelesaikan permasalahan ini. Aku tanyakan kepada mereka: bagaimana ya caranya agar orang lain mengerti kalau aku butuh juga ketenangan? Teman pertamaku namanya Bernando J. Sujibto, ia menjawab: mengertilah mereka juga. Najamuddin Muhammad adalah teman kedua yang aku hubungi, jawabannya; buat mereka terangsang hingga tak ada lagi dunia selain menyelesaikan sebuah perjalanan yang nikmat, jawaban ini intinya sama dengan temanku B.J. Dan temanku yang ketiga, Denar F Daniar tak menjawab apa-apa.
Setelah aku renungkan jawaban-jawaban temanku. Pengertian adalah cara terbaik yang mampu memecahkan masalah ini. Aku kurang mengerti orang lain. Aku harus lebih mengerti mereka. Semua teori yang tercipta sebenarnya adalah untuk mengerti orang lain dari pada diri sendiri, entah bagaimana konsepnya semua teori adalah untuk mempermudah menemukan sebuah ketenangan dan kedamaain.
13-10-2009
Kamis, 08 Oktober 2009
Selasa, 08 September 2009
MENJANGKAU NAMAMU
Rasanya aku ingin menerkam ketakutanku ini. Ketakutan yang serupa binatang buas yang ingin aku mangsa hingga mati sensara. Aku sangat benci ketakutan ini. Ketakutan yang berawal dari diriku sendiri yang entah. Apa yang paling berharga dari seorang manusia kalau tak memaknai hidupnya? Aku benar-benar tak berdaya saat ini. Lalu, siapa yang mampu mendengarkan semua ini?
Meski, aku tak sendiri di dunia ini yang mengalami hal yang sama dengan diriku, aku tak yakin ada yang akan mendengarkannya. Manusia dalam hidupnya selalu bertujuan untuk bahagia tetapi sangat jarang yang memahami keberadaannya. Dan apa yang terjadi pada diriku bukanlah kebahagiaan. Ini adalah suasana sadis yang membuat orang bisa bunuh diri.
Jika ada yang tahu apa yang ada dalam kepalaku mungkin yang ada dalam kepalaku itu adalah semacam teror ketakutan bagi orang lain. Mengapa tidak, toh yang ada di kepalaku hanya kepalaku yang terpenggal atau dadaku yang sobek oleh belati yang berada ditanganku sendiri. Atau seluruh tubuhku berwarna biru dan mulutku berbusa oleh segelas racun yang aku minum. Setelah itu, apa yang diketahui? Tak ada. Sungguh tak ada yang berarti. Semuanya akan berlalu begitu saja tanpa bekas kecuali ketakutan.
Banyak orang akan mengatakan semua ini hanya akibat kekosongan diri yang begitu lama dan sangat dalam hingga kesedihan dan ketakutan melampaui makna-maknanya sendiri untuk mengkristal menjadi kebahagiaan dan cinta. Aku tak percaya. Sungguh tak percaya. Aku bahagia bersama orang-orang yang berada di sekelilingku dan aku mencintai mereka. Jika ini sebuah kekosongan, lalu, apa yang harus aku lakukan? Tuhan pun menghindar dari ketakutan ini apalagi manusia. Semuanya hanya datang dan pergi tanpa menyisakan apa-apa.
Mungkinkah kekosongan adalah dunia di mana Tuhan berdiam diri untuk asing pada manusia? Namun, apa bedanya manusia dengan Tuhan? Dia hanya pandai bermain petak umpet dan manusia mencarinya. Dan aku tak akan mencari-Nya. Tuhan terlalu pintar untuk aku temukan. Aku akan biarkan Dia datang kalau memang suka. Kalau tidak, biarlah.
Sudahlah, aku akan berusaha sabar dan jujur dalam menjalani segala yang terjadi ini. Walaupun aku sendiri asing dengan diriku sendiri. Hidup dalam dunia yang penuh dengan horor. Toh dalam hidup aku tak pernah berkeinginan mencari atau malah menjadi Tuhan. Aku manusia yang ingin benar-benar menjadi manusia. Aku yakin sebuah nama akan menjadikanku manusia. Entah itu nama apa dan siapa. Sekarang akan aku katakan nama itu adalah namamu yang entah.
Kekosongan hanya kekasatmataan, ketidakjelasan, ketidaktahuan tentang sesuatu hal. Seperti sekadar namamu yang tak bisa aku jangkau. Aku merasakan kekosongan seperti yang diyakini setiap orang. Namun, aku tak pernah meyakini itu. Aku tak merasakan kekosongan. Hidupku tak pernah kosong. Sebab, aku tahu walau tanganku tak mampu sekadar menjangkau namamu, sesuatu yang disebut misteri selalu hadir dari hati ke mimpi atau dari getar ke bunyi.
Aku dan dunia seperti salah satu penggalan sajak Dorothea:
Dunia menuju sekarat
Nurani mengabur dalam segala tanda
Menggumpal dalam rahasia
Tak dapat dibaca lewat segala bahasa
Ah, tetapi kuyakin suatu saat semuanya akan pasti!
Yogyakarta, 06-09-2009
Selasa, 25 Agustus 2009
SAJAK-SAJAKKU YANG LALU
RUMAHKU RAHIMMU
Ibu
Maafkanlah aku tidak bisa pulang ke rumah
Rumah pertama yang memberikanku bahagia
Rumah pertama yang mengenalkanku asal mula
Rumahku rahimmu
Ibu
Rumah itu tak cukup lagi bagi duniaku
Tapi bukan tak cukup bagi hidupku
Kini terlalu bodoh untuk kembali
Tapi bukan terlalu bodoh untuk kuhayati
Rahimmu cahaya nurani
Ibu
Apakah engkau marah?
Rumahku kini berwarna biru, kuning, hijau
Coklat dan merah
Aku tahu rumah yang dulu tak berwarna
Karena itu dunia pertama
Ibu
Aku tak ingin pulang ke rumah
Aku bermain lincah hingga aku punya rumah sendiri
Seperti rumah pertama kali
Ibu
Izinkanlah aku tak pulang ke rumah
Kutahu rahimmu yang abadi
Memancar arti untuk aku kembali suci
Yogayakarta, 2005
PERTEMUAN DALAM HUJAN
Dalam hujan kita berdiri tak berjarak
Menahan ingin yang semakin dingin
Hujan terus menandi mata angina
Mengabari kata yang tersembunyi di balik hati
Hujan mereda tiba-tiba
Tubuh kita sama basahnya
Aku pergi engkau pergi
Tapi ingin menghentikannya;
Belajar isyarat yang tak bersyarat
Yogyakarta, 2005
TUBUH KATA
Kulepas gaunmu perlahan
Di hamparan sunyi
Tubuhmu halus mulus
Sesekali bernyanyi dan menari
Tapi suaramu tak terdengar
Gerakmu tak terlihat
Kuberi gari tepi jadi puisi
Yogyakarta, 2005
KALIMAT DI TUBUHMU
Di Koran halaman pertama
Setiap jengkal tubuhmu
Ada kalimat tak terbaca
Mereka tertawa ingin merobeknya
Ada pula yang ingin mengabadikannya
Ke masa purba;
Mata mereka terlalu buta untuk seorang hawa
Kecuali pada sebagian tubuhnya
Di tubuhmu
Kini kalimat itu tinggal rangka
Mereka mengira itu adalah surga
Yogyakarta, 2005
BAYANG DI BELAH WAKTU
Bayang yang dilemparkannya
Sendiri di langit itu
Membaca kata-kata di belah waktu
Aku sendiri menemukan kata hati
Berganti jadi mimpi
Yogyakarta, 2005
BUNGA BERSAYAP
Engkau hidup dalam musim
Dua musim bersayap
Satu berbulu matahari
Satu lagi berbulu bulan
Engkau mampu mumian hati
Menyobek pelangi
Di mana terbangmu berhenti
Beranikah engkau mencari
Sedang setiap hanya ilusi
Oh, engkau bunga bersayap
Yogyakarta, 2005
DALAM SUNYI
Dalam sunyi kutemukan nada
Yang tak kau dengar
Dikuti cericit camar
Menatap ombak menemukan pantai
Senyummu bermesraan dengan ikan-ikan
Dan daun-daun mulai ketakutan
Angin datang menyesatkan
Dalam sunyi
Not nada kuatur dan kurapikan
Dalam partitur malam
Esok konyanyikan
Hingga kuakhiri sunyiku di sunyimu
Terkulai lemas dalam pertemuan
Yogyakarta, 2005
SAJAKKU
Kutitipkan pada tubuh kata
Segala jawaban pertanyanmu
Jika kelak aku tak bisa menemuimu secara abadi
Yang kini kau pun menemukanku dalam sajakku
Sajakku hanya angin
Tak menyimpan apa-apa; hampa
Tapi kau tahu laut tak tenang karenanya
Jika suka katakan padanya tanpa kata-kata
Angina tak memerlukannya
Selain apa yang tak bisa kau mengucapkannya
Yogyakarta, 2005
TUBUH CINTA
Kita dahaga dalam tubuh cinta
Minta segelas rasa yang dipunya
Saling mengarungi laut lepas
Deru kita semakin terkuras
Dahaga tuntas
Gelas pecah
Usailah sudah
Tubuh cinta ada pada-Nya
Yogyakarta, 2005
MENULIS SURAT CINTA UNTUKMU
Karena aku bukan orang kaya
Kutulis surat buatmu
Tintanya kuambil dari cahaya;
Separuh cahaya malam dan
Separuh cahayamu
Kata pertama aku tak bisa apa-apa
Kata terakhir Cuma merasa
Saat pertemuan kuberikan surat itu kepadamu
Karena begitulah suratku
Buat apa yang berada pada dirimu
Yogyakarta, 2005
DI KEDALAMAN HATIMU
Di kedalaman hatimu tolonglah aku
Terkepung saat denyut mengajakku ikut
Kita serupa laut
Perlahan mengombak
Ketika tepi dalam sepi
Kembali sepi
Diuji mimpi
Hatimu mencariku
Engkau sendiri adalah aku
Yogyakarta, 2005
AKU DAN TUBUH
Engkau tubuh bau amis
Tegak berlekuk menyelipkan pemburu
Sedetak rahasiamu
Sepanjang sejarah mereka tahu aku satu
Aku dan tubuh mengaku-ngaku
Lalu, Tuhan di mana yang kau perlu
Ada yang belum tahu bermain batu dan peluru
Yogyakarta, 2005
ITULAH AKU
Engkau tahu daun berguguran
Itulah aku diganti musimmu
Siap terbakar menjadi abu
Engkau tahu rintik hujan
Itulah aku diganti musimmu
Siap menyemikan kehidupan
Itulah aku berganti karenamu
Kekal setiap perubahan
Yogyakarta, 2005
PERTEMUAN
Pertemuan kita tanpa tanda
Engkau minta aku menandainya dengan puisi
Puisi tak dapat menyimpan apa pun kecuali jejakmu
Jejakmu kata puisiku yang ada pada debu itu
Setiap engkau berlalu
Jangan paksa puisiku dalam pertemuan engkau temukan
Karena engkau puisiku yang tak mampu aku tuliskan
Yogyakarta, 2005
CINTA
Aku kata yang diberi tanda
Ditulis laut dan gelombang
Disuarakan angin dan desirnya
Sampai pada makna
Aku disebut cinta
Yogyakarta, 2006
TATAPANMU
Entah seperti apa cinta
Dan seperti apa rindu
Aku tidak tahu
Malam ini mengapa aku mengingatmu?
Jawabannya hanya satu
Karena tatapanmu menjaga tatapanku
Malam ini juga
Aku ingin menghentikannya
Membutakan mata:
Menatap hatiku dengan hatimu
Yogyakarta, 2006
DUA GELAS DI ATAS MEJA
Sangat lama sapa terdampar dalam
Lupa berkepanjangan
Kubiarkan cuaca bicara
Dingin dan panas bertarung,
Kenangan terbit dan tenggelam
Bunga yang tertanam di jantung
Semakin ranum
Hanya pada gelas di atas gelas ini aku percaya
Babwa kita masih ada dan lupa
Semenjak jarak tercipta
Dan aku cukup tahu banyak yang belum
Kita pastikan untuk sebuah jalan panjang
Selain sisa kisah yang kita jamah
Mengirim jenazah
Dua gelas di atas meja ini tak akan aku kubur
Nisan dan kafan fana
Aku tak ingin membuang atau meniadakannya
Yogyakarta, 2006
MALAM YANG KUBATASI
Karena dingin
Malam memasuki celah-celah mimpiku
Membisikkan zikir yang kuukir di langit yang ke tujuh
Tiada batas meretas diucapkan nafas menderu
Rembulan satu adalah rinduku
Bintang-gemintang adalah cintaku
Kubatasi malam begitu saja
Dalam pejam menuju kelam
Yogyakarta, 2006
SEPASANG BAYANG SEHABIS HUJAN
hujan telah berani membasahi kita
berpesan untuk berteduh sebelum tiada
ku tak tahu ke mana harus mencari tempat
hujan selalu menemukan celah tak padat;
bisik dada yang berani kita bicara
dalam hujan seharusnya kita gemetar
seperti tubuh dedaun
dan reranting yang terpintal
sebelum terkubur lumpur
namun di matamu
ku tak merasa dingin dan gemetar
mungkin karena menyimpan matahari
dan sebuah labirin yang hanya kita bisa jelaskan
kupun tahu kau tak pernah berbeda
menghindar dari hujan
diam rebah di alis mataku
berselimut rindu
dan tak ingin pergi jauh-jauh
sebelum tatapanmu utuh tentang aku
cinta, kini hujan mulai reda
aku masih saja dalam tanya
apakah ada jalan untuk sepasang bayang
pada genangan air keruh di bawah telapak kaki kita?
Yogyakarta, 2006
SELEMBAR GAMBAR ANAK KECIL
(pada lomba menggambar dan mewarnai
2006 se-Yogyakarta)
Ada langit ada bumi
Langit berwarna putih
Bumi berwarna hitam
Hutan berwarna hitam
Hewan berwarna putih
Ada jalan berliku-liku
Warnanya abu-abu
“Inilh gambarku pasti dapat juara satu”
katanya kepada ibu tercinta
Orang yang berada di sekitarnya tersenyum
Sang ibu mengambilnya dan disetor ke panitia
“Ini gambar cerita manusia” kata penitia
Sang ibu menatap tajam pada anaknya
Dan meneteskan air mata
“Ibu, aku telah menggambar dunia”
Katanya bahagia
Sang ibu diam saja dan memeluknya
Menyatukan getar yang berada di dada
Yogayakarta, 2006
ZIARAH ANGIN PADA TANAH
:Pramoedya Ananta Toer
I/
Angin tubuhmu bicara
Pada tanah yang kau injak
Tak seperti laut yang mengombak
Juga tak seperti api yang membakar
Menjadikan sesuatu ada lalu tiada
Ziarah angin pada tanah
Ziarah yang sebentar tak lebih dari sedetik
Untuk mengatakan tidak
Pada sebuah jejak
Ziarah angin pada tanah
Hanya perjanjian dan pesan
Untuk ditanam dan dikenang
Sebab angin akan selalu bertiup
Tanah akan selalu berdebu
Dan kau nurani yang kembali
Mengembalikan yang tak harus dimiliki
II/
“Bakarlah aku! Taburlah abuku!” sebelumnya katamu
Namun kami tak mampu membakar angin
Denyut nadi dan detak jantung kami
Tak ingin berhenti
“Berbaringlah di hamparan tanah-Nya
dan bertiuplah di bawah langit-Nya” kata kami
Membiarkan angin berziarah pada tanah
Dan air mata kami hapus di lancip mata
Lalu kita pulang sama
III/
Angin bertiup tak mengenal penjara
Dari arah mana saja
Namun pada tanah kulihat kisahnya
Debu-debu yang berterbangan
Dan jejak-jejak seorang manusia
Yogyakarta, 2006
TANYA DALAM KALENG
Bertanya tentang malam bertanya keelapan
Bulan menyimpan kebisuan dan kebekuan
Bertanya tentang siang
Bertanya terang benderang
Matahari menyimpan kekacauan dan kemiskinan
Tanya dalam kaleng tak ada
Hanya suara kaleng nyaring bunyinya
Yogyakarta, 2006
DALAM DOA
Dalam doa ada cahaya
Sebagian penuh dosa
Karena doa dipercaya untuk sejahtera
Jangan salahkan doa
Jika ada yang sibuk memangsa
Karena doa bukan manusia
Yogyakarta, 2006
RANJANG SUNYI
Kulihat ranjang sepi tak berbunyi: sunyi
Menunggu mati
Dalam tubuhku api
Kau belum juga datang
Menghiburku di atas ranjang
Dengan tarian dan nyanyian
Kayaknya aku tak bisa bertahan
Api semakin tak sabar membakar
Saat kau datang api padam
Berganti gerak dan bisikan tak beraturan
Ranjang diam sendirian
Selamanya sunyi
Sebelum dan sesudah kita padamkan api
Yang orang lain tak mengerti
Yogyakarta, 2006
MATAMU
Laut tak lagi biru jika malam
Juga sisa matamu yang dalam
Pada matamu mata bulan
Kuingin matamu mengganti mataku
Agar laut dan mataku biru
Sepanjang malam tak ada petang dalam tatapan
Yogyakarta, 2006
HUJAN
Tanpa dikira hujan pun jatuh
Langit gelap membawanya darimu
Saat kau bermimpi dan membayangkan aku
Tanah bukan hanya basah
Ada laut di setiap celah
Setitik hujan tanda hidup
Mungkin juga tanda tiada
Laut adalah raut dan hujan basahnya kita
Kita masih bertahan untuk setia
Yogyakarta, 2006
ANAK KATA
Kita kawin karena cinta
Bersetubuh dengan tinta
Menggelinjang di atas angin
Mendesah di atas bumi
Di antara keduanya kita lahirkan anak kata
Anak kata suka pada lelaki dan wanita
Namun ia tak suka memperkosa
Ia ada di setiap mata siap dibaca
Seperti ayah dan ibunya pada pertemuan pertama
Membaca yang ada tanpa kata
Yogyakarta, 2006
KAU MENGGARISKU
Pada setiap tepi pertemuan
Tatapanmu menggarisku dengan huruf hijaiyah
Memilah dan memisah
Angin dan daun yang gelisah
Lalu, sering kubayangkan matamu adalah huruf
Dan mataku adalah harkat
Sebab aku yakin kita adalah ayat
Jika kau belum percaya
Masuklah kedalam mataku
Kau akan temukan tetesan yang siap mengalir
Saat perpisahan
Di mana saat aku tak bisa menahan
Dan kau terasa hilang
Jika kau percaya
Bekukan saja mataku yang kau garis
Sebelum dihapus gerimis
Yogyakarta, 2006
DALAM LUBANG MISTERI
Asal usulnya adalah sepi
Melingkar sendiri
Menjadi mataku dan matamu
Bertanya rindu
Namun kini masih sangsi
Lantaran kau dan aku tak memberi arti
Sesuatu yang pech dan gelisah
Pada segaris mimpi
Yogyakarta, 2006
BUNYIMU YANG TAK PERNAH MATI
Bunyi sengaja aku matikan
Agar pesanmu tak diketahui
Apa dan siapa pun
Kecuali detak di dadaku
Sinyal-sinyal yang datang bukan darimu
Terpental dalam sepi
Hidup dan mati
Tapi bunyimu tak pernah mati
Dan kuketahui ini bukan hanya sekali
Bunyi yang tak pernah mati adalah rindu
Apakah kau juga mendengarnya?
Mengirim pesan yang tak mampu lagi aku ingat
Karena bayangmu tak samara lagi
Pada sebuah perjalanan sinyal padat
Yogyakarta, 2006
AKU DAN CAHAYA
Aku bertanya pada cahaya
“Siapa yang sama atau mirip denganku?”
“Bayangmu” jawabnya
“Mengapa ketika kau tiada
bayangmu pun tiada?” tanyaku kembali
Cahaya tersenyum melihatku tanpanya
Dan aku tak melihat apa-apa
Yogyakarta, 2006
SETIAP TAK BERTEMU
Setiap tak bertemu kubayangkan
Aku adalah cermin di kamarmu
Yang setiap kau berada di depannya
Menemukan kebeningan rinduku
Yogyakarta, 2006
KUBERDUKA ATAS LUKAMU
Kau pun tahu zaman telajang
Tertanggal pada detik dan jam
Kalimat Tuhan terbang
Ombak menerjang
Tanah retak gemertak
Air mata
Berbutir-butir permata di ulu luka
Tetesan darah
Samudra di arungi perahu duka
Kuberduka atas lukamu!
Yogyakarta, 2006
BISAKAH KAU KIRIM KATA
Bisakah kau kirim kata
Sebab aku tak punya untuk sesuatu yang tiada
Kirimlah untuk yang tak pernah bercakap
Kirimlah melalui kesiur angina
Agar cuaca tak hanya dingin
Kau tak usah sibuk menerka
Aku selalu mencatatnya
Seperti kau menandainya
Yogyakarta, 2006
KOSONG
Bayang yang jauh semakin jatuh
Jam yang kau kirimkan semakin bergetar
Aku menoleh tak ada yang tertoreh
Aku maju tak ada yang berlalu
Aku tuding sejumput kabut
Menyelusup dalam sepatu
Tak sampai aku mengenalnya
Yogyakarta, 2006
USIA KITA
Pada lantai rumahmu usia nampak merangkak
Sesekali tersenyum menyerupai kita
Yang mungkin lupa
Mungkin juga tidak
Setelah ia berjalan menyebut nama
Menyebut asal kenangan yang kita punya
Kita tahu ia tak mengenal bunga apalagi cinta
Tapi kita bahagia
Kita juga tahu ia hanya angka-angka yang berjarak
Masihkah kita tak mengingatnya
Meski bayang yang kita punya?
Usiaku usiamu
Bening di lantai rumahmu
Yogyakarta, 2006
ANGIN YANG KAU KIRIM
Angin yang kau kirim
Sampai pada kuncup bunga di halaman
Dan terdengar seru desahmu
Cuaca mengisyaratkanya luruh satu-satu
Sebelum layu dan kering
Kukirim kembali
Bersama segala yang kumiliki
Meski waktu berhenti
Dan tak ada mimpi lagi
Begitulah aku melepas ayat-ayat
Yang kaurasa
Yang kubaca
Hingga nanti sepertimu jua
Yogayakarta, 2006
TANGISAN KATA
saat katamu aku baca
kataku mengalirkan air mata
bukan sedih atau luka
tapi rindu ini tak kau baca
:jarak semakin jauh
semakin dekat terbaca
Yogyakarta, 101106
SEBELUM KALIMAT
sebelum kalimat
teriakan anak kecil tanpa ibu
menggema di jantung malam
berserakan di bawah rembulan
:ingin menemui Tuhan
anak kecil itu
mungkin telah lama kehilangan
ibu kesayangannya
yang selalu mendongengkan
yusuf dan zulaikha
makanya, malaikat sibuk mengantarnya
lengkap dengan jubahnya
bertuliskan bismillah
namun ada yang terlebih dahulu menggores
di cerlang matanya;
ibumu masih bercinta di kamar 16
dengan lelaki tampan
mirip wajahmu
anak kecil itu berhenti berteriak
menghapus kalimat di cerlang matanya
dengan air mata
dan malaikat menulisnya sebagai kalimat
pada catatan hariannya.
Sarkem, 081106
UTOPIA BAYANG DAN LILIN
:Ratih
setiap malam aku duduk setia dalam sunyi
lilinmusik mengalun-ngalun
kau menari mengikuti gerak api
terpantul pada dinding dan lantai
:mataku mencari ceruk gerakmu
meski bayang dan lilin mementaskanmu
malam aku dan kau
hanya sketsa tak berwarna
:ada pada bahasa
yang belum ditemukan tanda bacanya
andai bayang dan lilin beku dalam kalimat
aku ingin selalu membacanya
namun masih saja sia-sia
:utopia
Yogyakarta, 031106
EPISODE GANGGA
masih saja angin mengirim harum kenanga
yang tumbuh di antara lekuk tubuhmu
bertaburan di atas mejaberganti-ganti warna
:mataku jadi gangga
Yogyakarta, 011106
KURSI PANJANG
:Sarkem
entah berapa lembut pantat dan keras otot
menggesek berganti-ganti
hanya untuk mengantri sunyi
di dasar hati
lalu, sedikit senyum sapa bertukar ruang
melepas lelah di antara kursi panjang
tanpa nama dan selamat tinggal
;mengukur langkah dan bayang-bayang
Kamar 18A, 101106
PIRING PUASA
gesekan denting pelan tak nyaring
waktu terpelanting pada titik angka
ruang mendesing pada tanda hampa;
cukup lapar aksara dengan titik koma
Yogyakarta, 2006
MANGKOK PUASA
sebelum kau lihat bulan dan matahari
dalam mangkok berisi kulak
wajahmu bersinar terlebih dahulu
mengejar rindu;
kisah kanak-kanak yang menulis batu
yang pernah diajari bapak-ibu
Yogyakarta, 2006
GELAS PUASA
terasa tubuh panas
dan tenaga terkuras
aku menunggu tandaNya dilepas
menghilangkan dahaga hingga tuntas
Yogyakarta, 2006
SENDOK PUASA
mengaduk-ngaduk
kopi, teh, dan susu
memainkannya serupa pena
adalah menulis surat untukNya
Yogyakarta, 2006
MEJA PUASA
semua berkumpul dalam satu
menuju arah yang satu
meski selesai satu-satu
Yogyakarta, 2006
BUKA PUASA
senja mengendap-ngendap
memasuki kamar makan
mengabarkan cerita cinta adam dan hawa
yang sejak pertama mengenal kurma
memenuhi santapan di atas meja
selesai, senja pergi;
ada sedikit slilit surga yang melekat pada giginya
Yogyakarta, 2006
SAHUR PUASA
tepat dini hari kuhentikan segala mimpimu
untuk menghampiri mimpi yang lain
mimpi yang belum ditemukan
di setiap jalan persimpangan;
mimpi tentang sesuatu yang telah membatu
sekeras cinta dan rindu
Yogyakarta, 2006
MAKANAN PUASA
pada matamu mutiara
pada mataku fajar dan senja
kutelah menahannya
sesuai dengan yang kupunya
hanya untuk sebulan lamanya
Yogyakarta, 2006
TUBUH PUASA
seliar apa pun gerak pada garis penglihatanmu
kau harus mengikatnya pada waktu
karena aku masih harus menyelesaikan
pemburuan demi pemburuan
pada dua hutan dalam satu bulan
Yogyakarta, 2006
Ramadhan
1/
kini kutahan getar dalam tubuhku
karena aku menuju rumahmu;
getar yang merontokkan dedaun dan cecabang
getar yang menghapus tanda jalanmu
kutahan getar dalam tubuhku
kubiarkan tubuhku gemetar dalam getar;
getar tangis yang meritmis
getar tipis yang melagukan bunyimu
2/
bulan ini kulepas sebagian burung
peliharaanku
menyebrangi lautan dan pegunungan
setelah setahun di penjara
di layar televisi dan koran-koran
jangan tanya
ke mana burungku sampai
dan ke mana kepaknya tertinggal
aku tak pernah tahu
hanya Tuhan
pada bulan ini kulepas sebagian burungku
untuk tidak kembali
biarlah di layar televisi dan koran-koran
sepi dari kicaunya setiap pagi
Yogyakarta, september, 2006
ANGIN MALAM
siapa yang berada di matamu
ketika kau terpejam
di luar tidurmu
tangan-tangan membelai
ingin merebut lelapmu
datang dari berbagai arah dan penjuru
dengan darah mendidih
seharum mawar
aku tak pernah tertidur
menemani angin malam
yang berulang-ulang kau hirup
yang meresap ke jantungmu
angin malam adalah temanku
setelah kau menemaniku
menggasing di kepala
ingin berucap
: gagu
aku tak tahu bagaimana caranya
rasaku pecah takut melukaimu
yang ada tanpa bahasa
yang bergerak tanpa aba-aba
siapa yang berada di matamu
dan merebut lelapmu
adalah jalan sajakku
angin malam kubiarkan
menyampaikannya kepadamu
jika kau melihatku
jatuh bersamaan dengan mimpimu
di kedalaman matamu yang sayu
yogyakarta, 2007
KAU BAGIKU
bagaimana aku harus menuturkan
lindap cahaya dan kelebat bayang
aku seorang cacat
yang tak mampu mencatat
apalagi melihat yang tersirat
tetapi aku harus kuat
mengambil bunyi tersembunyi
darimu di latar waktu
merangkai sebaris kalimat
untuk kubaca di dasar hati
dan kau bagiku kata yang kucari
hadir di setiap sepi
menggantikan warna monalisa
yang berabad-abad
di tembok masa mengabadikan cinta
kau bagiku cahaya dan bayang itu
merangkai sunyaku sebagai rindu
yogyakarta, 2007
GENGGAMAN TANGANMU
aku tak ingin pergi
tanpa genggaman tanganmu
meski cemara dan pasir dapat kutafsir
di sepanjang pantai
:melamunkan wajah surya secerah warnanya
melesatkan anak panah di setiap cuaca
tetapi apalah daya
aku harus pergi meninggalkan pantai
dengan sampan yang kita buat bersama
di bukit-bukit hijau
mengujinya di luas laut yang menyimpan maut
maka berilah di tanganku sebuah peta dunia
untuk kugenggam
:tanganmu dunia yang menyimpan rindu
sebab aku tak dapat memastikan
di mana kelak aku tinggal
dan akhirnya kau atau cinta yang kuberi mawar
untukmu kusisakan lembut nafas malam
dan setangkai bayang
dari setipis tatapan dalam ingatan
jika kau terpejam
dan kau melihat segalanya kelam
yogyakarta, 050207
ZIARAH MEJA
meja-meja kosong tanpa bunga dan menu makanan
di mana meja kita?
kududuk seperti dulu
ketika kumendengar denting gelas
dan kaubacakan sajak yang kautulis;
menetapkan tangga desir angin
memperbaiki arah sebagai jalan untuk singgah
kini, masa lalu atau setumpuk kayu
tak ada bedanya
debu menebal menunggu seorang pelayan
dan yang ada di mataku hanya rongsokan
meja-meja kosong tanpa bunga dan menu makanan
di mana meja kita?
di antara meja-meja
kuingin singgah sebentar mengenalmu
mengulang yang tiada dengan segala bahasa
sebab aku terlalu suka pada bunyi yang kaucipta
dan meja kita terlalu kusebut cinta
walau tanpa bunga, menu makanan dan seorang pelayan
di atas salah satu meja kuberi pesan agar kaudatang
sesuatu yang tak pernah selesai kuucapkan
yogyakarta, 2006-2007
KETIDAKHADIRAN
di ruang ini
pintu dan jendela
masih saja terbuka
sebenarnya apa yang ada
bunyi tutup mulut
menyembunyikan
yang tersangkut pada angin
aku ingin bicara
mengepakkan sayap
dari kedalaman jiwa
tetapi cermin di tenggorokanku
memecahkan makna kata
mengaburkan batas kesempurnaan
dan yang ada hanya luka
tak ada yang tahu
tak ada yang terharu
semuanya
jadi lebih sepi dari sepi
jadi lebih sunyi dari sunyi
aku ingin bicara
saat ini seperti dulu
melebihi senyum dan tawa
meski tak kau tahu
mulutku mengucap apa
seperti bunyi
menyembunyikan
yang tersangkut pada angin
yang masuk
melalui pintu dan jendela
yogyakarta, 2007
RUANG 1
biarlah ruangku terasa kosong
lengang melenggang
hingga dapat kugenggam
biarlah ruangku terasa apa adanya
menangkap bahasa sebagai makna
biarlah ruangku
genggam makna
kuingin hidup di dalamnya
melebihi yang nyata
yogyakarta, 2007
INGATANKU
begitu sulit melupakan ingatan
sedang ia hanya bayang-bayang;
sebentuk wajah baru dari wajahku
ke mana pun kulemparkan
termasuk ke wajahmu
ia adalah aku
jika kupenggal
ingatanku tetap wajahmu
yogyakarta, 2007
SAAT KUSAKIT
saat kusakit tubuh ini bukan milik siapa pun;
bukan milikku dan yang merawatku
bagaimana jika kau membesukku
agar aku tahu merah putih matamu
untuk kumasuki ajal di situ
yogyakarta, 2007
UNTUK PENGUNJUNG SUNYIKU
di rumah aku sendiri menunggumu
pintu kubuka sepanjang waktu
berkunjunglah
kusediakan ruang tamu seadanya
kita bisa ngobrol apa saja
sambil minum segelas teh atau kopi
syaratnya hanya jangan ngobrol
tentang ingatan
isi rumahku adalah ingatan
yang penuh tanda pengenal
aku tak akan melarangmu membawa oleh-oleh
kau boleh membawa rasa sakit, bahagia dan cinta
bahkan kau boleh datang membawa pisau,
selembar kain kafan
lalu, membunuh dan menguburku
:rumahku adalah rumahmu juga
tempat semuanya terlahir
dan terbuang
jika kunjunganmu selesai
pulanglah dengan sunyiku
tetapi tolong pejamkan mata angin
yang selalu menatapku sebagai salam
sebab aku masih mengingatmu
seperti isi rumahku
yogyakarta, 2007
KATA TANPA MATA
1/
adalah udara
yang rindu, dendam, dan cinta
mengincir setiap gerhana
oh, malam yang malang
mimpi semakin berkurang
embun semakin jernih
mengetuk lambai daun lirih
oh, siang yang panas
keringat semakin terkuras
udara menyandra sketsa
masuk dalam rumah-rumah kaca
mata adalah cuaca
berbisik pada telinga semesta.
2/
kulihat jalanan sesak dengan tanda seru
mesin-mesin menderu
cerobong pabrik mengeluarkan asap kelabu
kertas-kertas berterbangan menyatu dengan debu
tinta mengalir pada lembah mimpiku;
menulis tubuhku.
Jogja, agustus, 2006
TENTANG KENANGAN
hari dan umur telah satu
menyisakan dongeng kanak-kanakku
di gedek bambu
di atas tikar daun lontar
:mengarang arah tuju
di setiap hujan dan kemarau
kini kuberada di antara sajak-sajak
bermain derit pintu dan jendela
kibasan gorden pada kaca
dentingan piring dan garpu
manisnya segelas susu dan cappocino
terkadang bunyi gitar dan piano
:belajar sepi dan masa lalu
di sudut-sudut waktu
hingga aku ingat
semuanya bisa saja berlalu
Yogyakarta, 2006
DI LUAR KATA
sinar bulan
dan sinarmu
pecah bergetar di kamar tamu
aku masih selalu mengintipnya
dengan kertas dan tinta di tangan;
mungkin itu sebuah cerita
mungkin pula sajak cinta
yang belum tercipta
sebab berkali-kali kulemparkan tatap
grafis-grafis yang kudapat
dan berkali-kali pula kumenunggu kata
tintaku hanya menggores titik dan koma;
kusadar semuanya memang butuh waktu
untuk aku tangkap dan kutaruh dalam saku
tetapi aku ingin sering menyebutnya
meski tak cukup sekadar duka
Yogyakarta, 2006
SAJAK BATU
bila sesuatu tak lagi butuh kata
kau berhenti pada sebuah titik
semuanya akan beku serupa batu
dan ada seribu mata pada kerasnya
Yogyakarta, 2006
TATO KUPU-KUPU
melihat tato pantatmu
serupa menyaksikan kupu-kupu di taman
terbang bertasbih pada kuncup kembang
lalu di mataku ada kalimat yang tak ingin aku buang
sebagai doa sepanjang jalan
Yogyakarta, 2006
GAMBAR KABAR
pada sebuah gambar kau kirim senyum
dan lambaian tangan
di perempatan jalan di dadamu
;kabar ciptaan rasa yang dipintal masa
aku pun kirim gambar senyum
dan lambaian tanganku
karena kuingat kita pernah bermain bersama
di atas hamparan pasir
di bawah rindang cemara
tetapi entah apa kabarku juga sampai
karena angin tak pernah berpesan
bahwa ada luka di dada kita
Yogyakarta, 2006
BERITAHULAH KEMATIANKU
sebelum kutahu kuburku
kuingin tahu kematianku
di rekah bibirmu
saat kau memanggilku
sekarang kurasa semuanya masih
sedekat sajak
sehalus kulit malam dan
setajam mata samurai
yang menempel di wajah jam
jika kutahu kematianku
kutanam bunga di bibirmu
dan matiku bukan benalu
sebab yang kupunya
tak ada yang dapat kusebut abadi
seperti baju dan celana dalam lemari
kertas dan ballpain dalam laci
beritahulah kematianku!
aku hanya angka di bibirmu
belajar menjumlah angin yang memasuki
ruang kamarku
beritahulah kematianku!
nama hanya kata
kata hanya suara melata
sekalipun nama dan kata
adalah jantungku
napasku ada pada bibirmu
beritahulah kematianku!
panggillah aku
kutunggu dengan ukuran tubuhku
di senggang waktu
Yogyakarta, 2006
NYANYIANMU DAN TARIANKU
--perempuan kota dingin--
jejak sajak tak berkaki
dinyanyikan bibirmu, meme
kukenal itu dari burung-burung
yang terbang dari kedinginanmu
melewati lorong tanpa rambu
tetapi kuingin menari saja, meme
diiringi nyanyianmu berputar seperti rumi
mengikuti burung-burung dinginmu
melewati ruang tanpa mulut
sebelum kulit kita mengkerut, meme
bacalah sajak itu
aku akan menari;
kau akan menemukan kakimu
pada tarianku dan
aku menemukan mulutku
pada nyanyianmu
Yogyakarta, 2006
SAJAK AIR
air menuju celahmu
celahku terbelah-belah musim
menadah wajah matahari
dan tubuh lusuh
pada rangka sungai-sungai;
di mana yang kau masuki
dengan ketakmengertian kuhampiri
wajahku mengalir pada wajah lain
yang kau mengerti dalam abjadmu sendiri
Yogyakarta, 2006
KETAKUTANKU
hujan dan angin membuatku takut malam ini
tapi yang lebih aku takutkan lagi
adalah hilangnya wajahmu dari tatapanku
Sumenep, 2007
MATA API
entah siapa yang akan terbakar;
tubuhnya mengasingkan diri
setelah mulutnya mencicipi impian
dan pada matanya segalanya berharap jadi arang
yogyakarta, 2007
KEHENINGAN
kaubersayap di tulisanku
terbang ke sebuah samudra
dan menusuk langit kelam
kausisakan kepak-kepak sayapmu
dalam kesendirianku
kesendirian yang musykil kutangkap
jadi makna puisi
yogyakarta, 2007
ANGIN
entah apa yang kaubawa
dari segala penjuru tanpa indera
segalanya berharap untuk tidak ditinggalkan
menentukan kisah untuk diceritakan
yogyakarta, 2007
DUNIA HITAM
malam ini udara meletus
dan kelender meneteskan darah;
kuperbaiki selimut dalam tidurku
sebab aku tak ingin mati;
mataku terpejam—terlalu hitam
yogyakarta, 2007
DALAM SEBUAH KOTAK
tak ada kata-kata hanya tusukan:
iblis, malaikat, dan tuhan mengerammanusia menghilang
yogyakarta, 2007
SILSILAH WAHYU
muhammad hanya ada dalam gua
dan jibril entah di mana;
untuk menemukannya
ibu mengajariku syakal dan makna
di antara huruf hijaiyah dalam kitab tua;
tetapi apa yang kutemukan saat ini
hanya kesucian sunyi
di balik huruf hijaiyah
tak ada sepenggal nama atau kisah
yogyakarta, 2007
BUTA
pada denyut gema
yang buta meraba ruang getar;
setiap dindingnya ditulis cinta
bibirku undur kata-kata kuucapkan
semuanya bersarang hingga kaubertandang
mengaturkan selamat jalan
pada denyut gema
yang buta meraba
berkisah yang tiada
yogyakarta, 2006
SUARA
catat semua yang kautahu tentang aku
berilah jalan memantul di kertasmu
besok catatanmu hilang;
kau tak akan menemukan lagi di ruang tidurmu
—catatlah segala yang diam bungkam di dadamu
mengikuti goyang rerumput dan pepohonan
: aku kesunyianmu
yogyakarta, 2007
OBSESI
sering kuambil kalimat dari tubuhmu
kubiarkan tumbuh di halaman rumahku;
agar datang dan pergiku masih mengingatmu
jika kau tahu; hanya kata rindu
sayang, kau belum tahu
matahari terlalu cepat menjadikannya awan kelabu
yogyakarta, 2006
PERPISAHAN DENGAN LAUT
sengaja atau tidak kita telah berpisah;
aku perahu yang terdampar di setiap pantai
menjauhi bangkai
mencari nama di layar sobekku
yogyakarta, 2006
NAMAMU
kutulis namamu
kubaca menjelang tidurku
bukan doa
kuhanya ingin bertemu
Yogyakarta, 2006
DALAM KERTAS
dalam kertas kau ingin kupanggil
di tengah malam yang berinci-inci dinginnya;
kulakukan seperti apa yang kau inginkan
puisi tercipta;
dalam kertas kupanggil namamu walau samar-samar
karena yang di luar tak pantas mendengarnya
Yogyakarta, 2006
MALAM INI
hujan mengenalkanmu
dengan dingin
angin mengenalkanmu
dengan hembusan
rembulan yang separuh
mengenalkanmu dengan cahaya
dan aku menatapmu
menatap aku sendiri
yogyakarta, 2007
KAU YANG KUCARI
sejak aku
kau panggil dengan sebuah nama
kucari kau di mana-mana;
di lubang bahasa, di celah suku kata,
serta di balik huruf-huruf
yang ada hanya gema
kucari kau dalam gema
dalam segala ruang yang menyumbang
dalam segala isi yang membunyi
yang ada hanya sepi
kucari kau dalam sepi
agar aku sepenuhnya mengerti
tapi kau tak memanggilku lagi
yogya, 2007
MAYA
dalam abjad
jasad tergelimpang
di bunuh cuaca
—sepercik gelap di matanya
mematung bayang
tak ingin dikaburkan
berkali-kali menentukan pilihan
memberinya nafas
pada kalimat pendek dan panjang
tetapi cuaca enggan mengekalkannya
—sepercik terang di matanya
adalah jalan setia
kutahu itu maya
;malaikatpun hanya berani mengintipnya
yogyakarta, 2007
TAFSIR SUARA
di mana aku hidup menguncup
berinci-inci huruf menjadi mulut;
di mana kau mengenalku
ada yang membaca dan mendengarkan
meminta sedikit cinta dan rindu;
di mana setiap titik temu
di antara bibir dan lidah
menuju ruang dan waktu
beriringkan kisah-kisah;
ketika itulah nama suara
ditafsir menyala-nyala
yogya, 2007
BUNGA MATAHARI
bunga matahari
hati yang dipetik bumi
pada gundukan tanah ini
siapa yang akan menumbuhkanku?
bunga matahari
mimpi rontok berhari-hari
yogyakarta, 2007
TATAPAN KOSONG
bukan melihat mata ini
bukan buta mata ini
kau telah menciptanya
dari sisa gerak tari dan getar bunyi
dari tubuhmu
yang memancar dimainkan angin
dari tubuhmu
cermin angin yang dingin
bukan melihat mata ini
bukan buta mata ini
dan jika buta dan melihat mata ini
kau menetes pada mataku
dan jika melihat dan buta mata ini
kau adalah matahari pada mataku
yogyarkarta, 2007
CINTA SI BUTA
aku tak bisa melihat matahari
tapi malam ini
aku mencium
wanginya pada bunga ini
aku juga tak bisa melihatmu
tapi kau menuntunku
dengan tangan waktu
menuju rindu
bila aku tak bisa melihat apa-apa
tubuh kita bukan jeda
tanpa saling menunggu untuk bicara
tanpa saling mengungkap untuk ada
surabaya-ngawi, 2007
ZAHIR
bukan suara
yang terdengar saat kita bercakap
bukan bahasa
yang sebenarnya kita ucap
sinar-sinar benda telah padam
benda-benda sinar telah tenggelam
tubuh kita berbenturan
dalam sapa dengan gerak diam
dunia telah menetapkan pesannya
yang selalu kita impikan
mencipta dunia yang tak lagi nyata
dengan sepasang mata maya
dan ingatan yang nyaris sempurna
kini, kita sama-sama tahu
yang ada bukan suara
yang ada bukan bahasa
bukan apa-apa selain ilusi
tentang orang yang pergi
dan masih bertahan sebagai mimpi
yogyakarta, 2007
KITA ADALAH BAYANG-BAYANG
di tempat ini
kita adalah bayang-bayang
bercinta dengan tubuh telanjang
bergelinjang dari arah mana saja
tak mengenal rindu dan derita
kita sebagai bayang-bayang
mengiringi detak sunyi
pada arus bunyi yang samar
mengikat jawab dan tanya
pada sebatang lilin yang berkobar
kita sebagai bayang-bayang
mengarungi gelombang-gelombang
menyusuri lubang kosong bahasa
sebab aku gelap dan kau cahaya
yogyakarta, 2007
MALAM BAGI YANG MEMINTA SAJAK
malam yang tak bersosok
kumasukkan ke dalam mataku
untuk mengetuk pintu demi pintu nafasku
di sana kubentangkan jalan-jalan
dengan kenangan masa lampau
dan kenangan masa depan
pelan-pelan
pintu-pintu nafasku terbuka
membangun rumah kata
berdinding gelap
beratap embun
berlampu bulan
membangun
sebagai mata malam
membangun
sebagai malam mata
lalu,
mataku adalah malam
malamku adalah mata
malam sebentuk mata
mata yang melihat sunyi
mata yang melihat sepi
mata yang melihat luka
mata yang melihat suka
mata yang mengalirkan sesosok mimpi
mata sebentuk malam
malam adalah kata-kata yang dilagukan
malam adalah nada-nada yang dilantunkan
malam adalah sebaris gerak-gerak ritmis
malam adalah sepenggal sosok yang tertanggal
malam menjadi mataku
mata menjadi malamku
rumah segala asal-muasal
yogyakarta, 2007
UNTUK MAUT
YANG SELALU DATANG
maut selalu datang kepadaku
dengan parang di kedua tangannya
kubiarkan ia
dengan ketakutan dan keberaniannya
menusuk perutku
memenggal kepalaku
dan memotong-motong tubuhku
aku adalah angin
untuk tangan kanannya
aku adalah air
untuk tangan kirinya
yogyakarta, 2007
REDE
I.
kita berdiri bersebrangan
aku di utara dan kau di selatan
diam mengatur bunyi sendiri-sendiri
lalu ada kata selepas pergi
di setiap telapak kaki
II.
kau ada di antara kursi dan meja
kemudian menerobos pintu dan jendela
memintaku menangkapnya
dengan sebuah tandabaca
III.
dalam tidurmu aku punya matakata
mengenalmu tanpa rupa
setelah kau bangun bacalah
matakataku ingin mengenal matamu juga
IV.
ia yang selalu memainkan bunyi adalah sunyi
ditiup dari segala penjuru oleh waktu
menembus tubuhmu
mewarnai kertas putihku
sumenep, 2006-2007
SETELAH KEPERGIAN
setelah kepergian
kita sama-sama jauh
bayang pun tak tumbuh
ruang cahaya pertemuan kita
hanya menggoda sementara
demi segala sepi dan luka
demi sesuatu yang harus tiba-tiba ada
setelah kepergian
semua tak bisa dijelaskan
semua harus berlangsung
dengan kesendirian
seperti dulu
ketika kita belum mengenal rindu
yogya, 2007
BURUNG-BURUNG HANYA BERKICAU
di mana-mana
burung-burung itu terbang
memasuki tubuh si mati
berkicau-kicau dalam detak jantungnya
berkicau-kicau dalam hatinya
tetapi si mati matanya tetap tak terbuka
tetapi si mati tubuhnya tetap tak bergerak
burung-burung itu hanya berkicau
berkicau semerdu-merdunya
berharap bersarang di tubuhnya
yogyakarta, 2007
MALAM LEBARAN
takbir telah dikibarkan
malaikat-malaikat serupa kembang api
dan tubuh salah tak berdaya
ingin meletus di cakrawala
demi segala dosa
tapi, biar angin mengucap maaf kita
mengetuk rumah jantung kita
yogyakarta, 2007
ENIGMA MATA
Serumpun rupa
Membatas
Sketsa bayang terlepas
Selembar cinta
Digores mata pena
Yogyakarta, 2006
ENIGMA TELINGA
Bebunyi dalam jaring-jaring
Termasuk bunyi sepi
Menyalurkan arti
Melalui pipa udara dari langit
Mengisi jasad-jasad dengan alphabet
Di antara kosa kata yang hampir sekarat;
Aku menyebutnya ayat
Yogyakarta, 2006
ENIGMA MULUT
Pahit, manis, pedas, asin, kecut
Gelombang lidah tak berpisah
Luka, duka, jahat, sombong, rendah hati
Gelombang bibir hadir:
Gua yang menitip kasih
Gua yang mengintip sedih
Yogyakarta, 2006
ENIGMA HIDUNG
Pada dua cerobong
Adam, iblis, setan, dan malaikat
Berharap masuk dan keluar;
Lubang hitam cahaya
Lubang putih gelap gulita
Sedangkan pesan udara
Lubang putih cahaya
Lubang hitam gelap gulita
Yogyakarta, 2006
ENIGMA KAKI
Kuikuti arti
Bukan tapak kaki
Mengikuti arah matahari
Dan kembali malam nanti;
Bukan mimpi atau teka-teki
Aku tahu dalam hati
Yogyakarta, 2006
ENIGMA SAJAK
Sepi kata-kata tak tertidur
Ramai kata-kata tak hilang
Meletakkan tubuhku dalam lipatan kertas
Yogyakarta, 2006
ENIGMA TANGIS
Semuanya dalam rahasia
Bening dalam bintik air
Di sana ada yang tertawa
Di sini ada yang terluka
Mungkin karena manusia
Yogyakarta, 2006
ENIGMA MATAHARI
Menjelang pagi
Ada yang tiba-tiba tumbuh
Ada yang tiba-tiba luruh;
Pesannya pada lembah
Memasuki celah tanah
Yogyakarta, 2006
ENIGMA BULAN
Menjelang malam
Ada yang mencari sebagai sepi
Ada yang mencari sebagai mimpi;
Pesannya pada petang
Memasuki celah pintu dan jendela
Yogyakarta, 2006
JALAN SUNYI
:kekasih sunyi
I.
tak kulihat jejak apalagi jarak tempuh
bagaimana bisa tahu
kalau itu kau atau aku
meski ada matahari
tak ada bayang di situ
hanya debu memedihkan mata
dari langkah kaki kita
dan di sepanjang perjalanan
kita tak punya pertanyaan untuk itu
tetapi sama-sama berseru:
—engkaulah kekasihku!—
II.
apa yang harus dirapikan dalam keheningan
dari cinta yang kupunya adalah kerdip bintang
dan goyangan bulan yang di gantung malam
sedikit dari percaya menuju cahaya
III.
aku masih ingat jika kau terlupa
jalan menuju pulang
saat tiadanya suara di telinga
dan kau tertidur lelap di dada
IV.
seseorang telah mencuri peta
dan aku si buta hanya meraba
pada cermin kelam
V.
aku hanya sisa dua cinta yang terlewatkan
di ambang pejam yang merejam
yogyakarta, 2007
DINGIN
dalam gigil
bukan kulitku yang terkelupas
tetapi putih mataku pada mata sajakmu
yogyakarta, 2007
KAU DERU AKULAH ABU
kau deru
akulah abu
mendekatkan bayang dari bayangku
dan akhirnya membatu di tubuh bisu
yogyakarta, 2007
SAJAK
ketika kutahu semuanya hanya cahaya
sebuah patung yang disisakan angin kupercaya
seperti bayangku sendiri
hanya untuk mengatakan
—inilah sajak—
yogyakarta, 2007
MENEMBUS SENYUMMU
: R
I.
kautiup penglihatanku
kutembus senyummu
kutemui sepiku yang dulu
di kedua bibirmu
sebuah kalimat tak tuntas
dalam sajak bisu
II.
bibirmu fajar
dingin menusuk
di sela-sela tanaman
di halaman depan
dan seekor burung melintas samar
aku gemetar di luar pagar
ingin menembus pintu awan
yogyakarta, 2007
SEPENGGAL NAFASKU
sepenggal nafasku tercoret di kertas itu
tiba-tiba luntur merangkai wajahmu
kucoretkan kembali bertaburkan melati
dan aku selalu sepi
yogyakarta, 2007
MEMBUAT SAJAK
kuhirup nafas dalam-dalam
kutiupkan kepadamu
kudengar irama tubuhku
mengalun merdu
yogyakarta, 2007
GELOMBANG SUBUH
ada yang memanggil dari kehilanganku
sisa nganga mimpi dan kepakmu
ada yang bertemu dari kehilanganku
duduk dan berdiri memasuki sunyi
yogyakarta, april, 2007
KATA DI LUAR PINTU
kau menulis kata di luar pintu
aku bangun dari tidurku
lalu aku buka pintu
dan tak ingin bermimpi lagi
“bacalah kata-kataku” pintamu
maka aku baca
meski itu hanya udara
karena kau lebih nyata dari makna
yogyakarta, april, 2007
JIWA YANG BERNYANYI
batu menguap ke langit
bintang berkedip
tumbuh di antaranya bunga surga
terus mekar
terus layu
seperti juga aku
yogyakarta, april, 2007
SAJAK 2
pada tubuhku
kubuka banyak pintu
pada tubuhmu
anak kecil menangis kehilangan ibu
yogyakarta, maret, 2007
SAJAK AJAL
kuserahkan apa yang memancar darimu
langit dan tanah akan tumbuh di mataku
entah, tumbuh apa saja
aku akan segera tiada
seperti gema kata
dan kertas kosong di atas meja
yogyakarta, 2007
KEPERGIAN
di ruang ini
ada satu meja
ada dua kursi
dan sekarang hanya aku
kau telah pergi dan tak kembali
meski begini
kita memang dilahirkan begini
yogyakarta, 2007